Tidak. Apa yang didengar Elsie baru saja pasti sebuah bualan. Tidak mungkin. Dia yakin ini hanyalah akal-akalan Carter demi mendapatkan apa yang diinginkannya, dengan cara yang lebih mudah, yang instan, yang tidak akan ditolak oleh Elsie.
"Stop lying." Elsie mencengkeram pergelangan tangan Carter kuat. Alih-alih bisa menyingkirkan tangan itu darinya, Carter justru menguatkan jambakannya, menahan kepala Elsie lebih kuat di atas meja.
"I'm not, Honey." Dia membungkuk ke depan, berbisik di samping telinga gadis itu, "Your beloved grandma worked with me."
Kalimat terakhir Carter semakin membuat Elsie terkesiap. Matanya membeliak tak percaya, membayangkan neneknya sendiri bekerja sama dengan seorang musuh? Apa wanita tua itu sudah kehilangan akal sehat?! Yang hanya diketahui Elsie dari keterangan Kyler—berdasarkan penjelasan Miranda Cavren—bahwa saat dilakukannya operas itu, hanya ada satu bayi yang lahir dan meninggal beberapa detik selanjutnya. Mengapa Miranda tega melakukan itu pada keluarganya sendiri?
"You have mental trouble," Elsie mendesis, mencoba mendorong tubuh Carter. Wajahnya tampak merah menahan amarah. Dia tidak pernah membayangkan kehidupan seperti ini. Kehidupan di mana orangtuanya berpisah, ibunya seorang lesbian, ayahnya dibunuh, kedua kakaknya kabur entah kemana, saudaranya dibunuh, semua orang mengkhianatinya, dan sekarang... permainan apa lagi yang sedang disiapkan untuknya? Apakah Tuhan belum puas bermain-main dengan kehidupannya?
"Terima kasih banyak, aku hargai pujianmu." Carter tersenyum miring, melepaskan tangannya dari rambut Elsie dan membiarkan gadis itu terbatuk kecil.
Sepasang mata gelap Elsie dipicingkan tajam. Tangannya menyentuh lehernya yang kaku, sementara pandangan itu tak dilepaskan menuju Carter. Batinnya memberontak, mengakhiri konfrontasi pikirannya dengan mengambil satu jawaban. Dia tahu apa yang seharusnya dilakukan olehnya. Dia tahu harus membalas seperti apa. Dan semua itu tak akan dilakukannya secara gegabah.
Dia akan memulainya dari hal yang kecil.
"Apa yang kau mau?" tanyanya dengan nada sarkastis, lebih tepatnya, penuh ancaman.
"Bermain denganku sangat gampang, Honey." Carter mengambil tempat di sofa berlengan pendek dalam ruangannya seraya menaikkan kakinya di atas paha, menatap Elsie seperti seekor elang pada mangsanya. Juga sebaliknya. "Tidak ada aturan yang berat. Hanya ada satu aturan. Kau ikut bermain di dalamnya sebagai minion."
Minion. Really? Tidak ada yang berani memasukkan Elsie ke dalam sebuah permainan dengan menjadikannya seorang budak. Tapi untuk saat ini, jika dia menginginkan pembalasannya terbayar dengan nilai besar, apapun akan dilakukannya.
"Fine. Apa yang akan kudapatkan jika aku mengikuti permainanmu?" Dagu Elsie ditarik ke atas menantang. Kedua tangannya dilipat di depan dada, menunggu balasan Carter yang dia harap tidak akan menyulitkannya—meskipun dia tidak yakin pria itu memberikan bayaran yang bagus.
"You're free. Everyone you love are free."
Mustahil. Tipe-tipe seperti Carter tidak akan memberikan kebebasan bagi siapapun yang sudah berani terjun ke dalam permainannya. Elsie tahu dia akan mati di tangan Carter cepat atau lambat. Begitu mendapatkan keinginannya, iblis itu akan membunuh seluruh keluarganya, termasuk dia. Lantas, mengapa dia menerima tawaran Carter jika tahu konsekuensi yang akan dihadapinya?
Karena dia akan menyerang dari dalam.
"Oke." Elsie maju beberapa langkah ke depan, menyandarkan satu tangannya di atas meja sedangkan kakinya disilangkan. "Let's start the game."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine