Hampir satu jam Mary menilik penampilannya sendiri di depan cermin sebelum Jo datang menjemputnya dan mengajaknya kencan. Entah itu adalah baju yang ke berapa yang dia ambil dari dalam almari dan dipadankan dengan tubuhnya. Pada akhirnya—meskipun memerlukan waktu berjam-jam—Mary menyetujui pilihan terakhirnya mengambil baju itu. Dia menggigit bibir bawahnya melihat beberapa helai rambutnya tampak mencuat ke sana-sini. Dengan cepat jari-jarinya menyusup pada helaian rambutnya untuk merapikan bagian mencuat itu.
Ponselnya berdering detik setelah dia menarik napas dalam-dalam dan dihembuskan kasar. Tangannya meraih benda pipih di sebelah kotak make upnya. Nama Joseph terpampang di display menunggu balasan darinya. Lagi-lagi dia menggigit bawah bibirnya seraya mengumpat merasakan debaran jantungnya yang mendobrak rongga dadanya beberapa kali. Sekuat tenaga dia menahan kegirangan dan debaran di jantungnya. Begitu dia sudah mendapatkan ketenangan dari dirinya, Mary mengetukkan jarinya memilih tanda berwarna hijau dan berdehem pelan.
"Ya, Jo?" Untunglah nada itu tidak dikeluarkan dengan nada bergetar seperti lututnya saat ini.
"Aku sudah ada di depan rumahmu, Marylou Stewart."
Oh snap! Mary tersedak cairan lambungnya tiba-tiba membuat wajahnya memucat. Dia belum siap, dia belum sepenuhnya siap dipertemukan dengan Jo dalam keadaan berdebaran seperti itu. Rasanya Mary kehilangan setengah keberanian dan jiwa pemberontaknya mengingat tujuan utama mereka hari ini. Kencan. Hell, Mary, dia hanyalah Joseph. Pria eskimo introvet sialan yang membawamu kabur di hari pernikahanmu. Bersikaplah tenang seperti biasa! Pikirannya berulang kali memberontak mengabaikan perasaannya. Kini di dalam dirinya telah terjadi dua kubu antara pikiran dan perasaan yang memberikan konfrontasi saling bertolak belakang. Dan Marylou bingung harus menuruti siapa di antara kedua komponen abstrak itu.
Mengabaikan seruan-seruan di dalam kepalanya, Mary membuang napas panjang sekali lagi.
"Oke, tunggu aku." Dengan segera Mary memutuskan sambungan dan berlari cepat meraih tasnya. Hak sepatu sialannya tidak membantu kali ini. Dia tersandung karpet beberapa kali selama berlari menuju ke bawah dan mengumpat tertahan.
Pintu rumah dibuka kasar menampakkan Jo yang berdiri bersandar pada tiang teras rumahnya. Senyum lebar dipaksakan di bibir Mary menutupi debaran pada jantungnya yang bertindak melawan pikirannya. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sembari melangkah keluar dan menutup pintunya.
"Well, I'm ready to go."
Perhatian Jo yang awalnya diberikan pada ujung sepatunya sekarang dialihkan sepenuhnya untuk Mary. Matanya menelisik penampilan Mary dari atas hingga ke bawah dan berdecak memuji dalam hati akan kecantikan dan paras elok wanita itu. Bibirnya melengkung membentuk garis senyum begitu dia bergerak dari sandarannya pada tiang teras, lantas memberi kode pada Mary untuk mengikutinya.
Tetap dingin dan tidak ada perlakuan manis sama sekali. Hal itu membuat Mary memutar bola matanya jengkel dan mendengus kasar. Dihentakkan kakinya pada lapisan lantai marmer rumahnya menimbulkan bunyi ketukan kasar. Sudut matanya sempat disorotkan tatkala dia melenggang melewati Jo yang menyimpan tawa gelinya di dalam hati.
Sialnya, hak stilettonya yang tinggi membuatnya bernasib sial dengan membiarkan dia jatuh tersandung undakan. Tubuhnya melayang bebas terjerembab di atas jalanan aspal rumahnya dilanjutkan bunyi umpatan kasar berhamburan dari mulutnya.
"Shit, damn, fuck." Dia bangkit tertatih-tatih sedangkan di belakang Jo menyemburkan suara tawa kerasnya melihat ulah Mary yang menggelitik perutnya tak tertahankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanficthis story is NOT mine