#17 Hard To Face Reality

974 55 0
                                    

Sudah tampak lengang dan sepi, namun Mary masih terjaga di tempat tidurnya mendengar bunyi jangkrik yang samar. Matanya dikerjapkan beberapa kali, memandang lurus ke depan pada tembok yang mulai melumut. Dia berbaring resah, menunggu Jo yang belum datang.

Daun telinganya bergerak impulsif mendengar bunyi derakan pintu; pertanda ada yang masuk ke dalam kamarnya. Kepalanya digerakkan menuju pintu, bersamaan dengan munculnya Jo yang menatapnya sendu. Berjalan mendekat, dia menyandarkan jasnya pada sandaran kursi di sebelah meja baca, lantas menghampiri Mary ketika wanita itu mengangkat tubuhnya.

"You come back."

"You think I don't?" Jo tersenyum kecil. Dipandangnya Mary dengan sorotan hangat ketika ia duduk di atas ranjang, bersebelahan dengannya. Jo meraih telapak tangan Mary. Menggenggamnya lembut. Kemudian mengecup buku-buku jarinya.

"Can this ends faster?" Mary berbisik lagi. Dia tidak bisa terus-menerus berada dalam ketakutan dan ancaman. Benaknya berkata, kini dia tahu bagaimana rasanya merindukan sebuah kehidupan yang bahkan sebelumnya sangat dia benci. Dia merindukan kejaran paparzzi, menghadiri Tribeca, menghadiri Oscar, mengikuti premiere, mengikuti promosi film, konfrensi pers, jumpa fans, dan lain sebagainya.

Dunia seperti itu rasanya menjadi dunia yang indah bagi Mary, untuk saat ini. Dibandingkan hidup dalam bayang-bayang ancaman serta kematian.

"I promise. It'll ends faster."

Mary merangsek mendekati Jo. Tangannya yang jenjang dilingkarkan di pinggang Jo sementara pria itu membawanya lebih mendekat ke dalam dekapannya. Jo menghirup esensial mawar pada rambut Mary yang dia suka. Tangannya mengelus rambut Mary begitu lembut, sambil sesekali mengecup puncak kepalanya.

Tak hanya Mary, tentu saja. Jo ingin hal mengerikan ini segera berakhir. Tak ada hal lain yang diinginkannya kecuali menghirup udara dengan perasaan tenang, menikahi wanita yang dicintainya, berbulan madu di sebuah pulau pribadi, menenggak sampanye dan tertawa bersama seluruh keluarga besarnya.

Dia ingin menikmati itu semua. Menikmati hal-hal yang dia pikir, sangat sulit untuk dijangkau.

***

Elsie's Point of View

Aku seperti mumi sekarang. Apa yang terjadi malam lalu seperti jalinan kabel ruet di kepalaku yang pening. Yang kulakukan hanya duduk meringkuk di atas sofa, memeluk lututku dan menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa.

"You need something?"

Sudut mataku melirik Justin yang berjalan melintasi ruang santai sampai di sofaku. Di tangannya sudah terdapat secangkir coklat panas; asapnya masih mengepul di udara. Menjelang musim dingin, otomatis udara di sini semakin dingin.

Aku diam tidak membalas pertanyaannya. Dia duduk di sebelahku begitu meletakkan cangkir ke atas meja, lantas mengeratkan selimut di sekitar tubuhku. Sengaja, dia mengajakku ke rumahnya untuk tetap tinggal di sana sebagai pengawasan ketat. Yang kulakukan hanya diam tidak menjawab pertanyaan ataupun menanggapi pembicaraannya. Otakku serasa mati.

"I just need you," dengan berat, bibirku bergerak mengeluarkan suara kecil, nyaris seperti bisikan lirih yang serak. Kepalaku yang pening dan berat menoleh ke arahnya.

Ada senyum manis madu di bibirnya menanggapi permintaanku. Mengangguk, dia mendekap bahuku, menekan jari-jarinya pada daguku hingga membuatku menengadah ke arahnya. Mata kami saling bertubrukan satu sama lain, menghangatkan badanku yang dingin.

Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta ChenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang