Bab 10

1K 140 7
                                    


Prilly turun dari taksi dengan ekspresi lesu, jika tidak mengingat bagaimana sulitnya dulu ia melamar kerja disini mungkin hari ini Prilly akan memilih untuk membolos demi bergelung di bawah selimut kesayangannya.

Moodnya benar-benar tidak stabil hari ini namun dia tetap harus mengajar karena sudah menjadi kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Prilly berjalan menuju ruang kelas tanpa mampir ke ruang guru terlebih dahulu. Prilly terlalu malas jika harus bertemu dengan Arsen.

Ia masih menaruh benci pada laki-laki itu.

Prilly terus melangkah menuju kelas 3 yang letaknya di lorong paling ujung. Kelas ini merupakan kelas Prilly, dimana ia ditunjuk menjadi wali kelas dari murid-murid nakal ini. Sejujurnya, Prilly juga kesulitan menghadapi mereka namun Prilly juga tidak tega jika anak-anak ini terus berbuat onar dan mengabaikan kewajibannya sebagai seorang pelajar.

Prilly menerapkan metode pembelajaran yang santai namun tegas. Jika waktu belajar maka mereka harus belajar tetapi jika ingin bermain maka Prilly akan dengan senang hati memberikan mereka waktu untuk bermain.

Prilly merasa seperti mengajar di taman kanak-kanak alih-alih siswa SMA. Tetapi biarlah yang penting mereka semangat belajar.

"Selamat pagi semuanya." Sapa Prilly begitu menginjakkan kakinya di dalam ruangan. Jika anak-anak ruangan lain maka akan tenang dan segera berlari menuju meja dan kursi mereka maka kelas ini para murid laki-laki justru berlari menghampiri Prilly dan menyerahkan berbagai macam hadiah seperti bunga, coklat bahkan ada yang memberi Prilly bunga beserta potnya.

"Hari ini kami tidak ingin belajar Bu."

Mereka bermaksud menyogok Prilly dengan hadiah-hadiah itu namun sayangnya Prilly tidak semudah itu mereka manfaatkan.

"Kita tetap belajar dan hari ini Ibu akan memberikan contoh atau kisi-kisi pertanyaan yang mungkin akan kalian hadapi saat ujian kelulusan nanti." Prilly berbicara sambil meletakkan semua pemberian anak-anaknya ini diatas meja dekat dengan tas miliknya.

Wajah kuyu Prilly ternyata disadari oleh muridnya terutama sosok murid laki-laki yang selama ini selalu menjadi biang masalah dari kelas ini.

"Ibu Prilly sakit?" Suaranya yang keras terdengar membuat seluruh perhatian murid dikelas itu tertuju pada Prilly. "Benar, wajah Ibu pucat banget!" Tambah murid lain.

"Ibu baik-baik cuma sedikit capek aja." Jawab Prilly sambil membuka bulu latihannya. "Kenzio silahkan ke depan!" Panggil Prilly yang sontak membuat Kenzio menghela nafasnya.

"Kayaknya Ibu Prilly emang suka sama gue deh, liat aja baru masuk udah manggil gue aja." Celetuk Kenzio sambil berjalan menghampiri Prilly yang bersandar di mejanya.

"Kenzio!"

"Iya Sayang."

Prilly hampir melayangkan buku ditangannya ke kepala bocah ini namun dengan cepat Kenzio menjauhkan dirinya dari jangkauan wali kelasnya. "Ibu jangan marah-marah nanti ilang cantiknya." Goda Kenzio yang tidak pernah kapok meksipun telinganya dijewer sampai putus, Kenzio tidak akan pernah jera dan berhenti menggoda wali kelas kesayangannya itu.

Prilly hanya bisa menghela nafasnya sementara teman-teman Kenzio yang lain sudah tertawa terbahak-bahak terlebih saat pemuda tengil itu mengarahkan kedua tangannya menumpukan ujung jarinya di kepala membentuk hati yang ia tujukan untuk Prilly.

"Cepat kamu selesaikan soal ini atau Ibu tendang kamu ke pluto!" Marah Prilly menyerahkan buku serta spidol pada Kenzio.

"Kalau Ibu yang tendang mah saya nggak akan keberatan kok lagian saya berencana megang kali Ibu pas nendang jadi kita akan sama-sama terbang ke pluto." Sahut Kenzio dengan ekspresi tengil andalannya. Kembali kelas dihebohkan dengan tawa murid yang lain bahkan ada yang sampai bertepuk tangan memberikan semangat pada Kenzio yang dengan bangganya membungkuk didepan teman-temannya seolah-olah ia baru saja menunjukkan prestasinya.

"Diam semuanya atau Ibu jemur kalian di lapangan sampai sore!" Ancam Prilly yang sontak membuat kelas seketika hening begitupula dengan Kenzio yang mulai tenang mengerjakan soal yang Prilly perintahkan.

***

Sepanjang melewati hari ini, Prilly benar-benar mengasingkan dirinya dari interaksi dengan siapapun kecuali murid-muridnya. Prilly bahkan lebih memilih menghabiskan waktunya dengan beristirahat atau membaca buku di perpustakaan daripada memasuki ruang guru dan bertemu dengan rekan-rekan gurunya terutama Arsen.

Moodnya juga sedang tidak bagus jadi lebih baik Prilly menyendiri seperti ini.

Ia memilih meja paling sudut sehingga tidak menganggu dan terganggu dengan siswa-siswi yang ada disana. Setelah puas membaca buku yang ia sukai, Prilly memilih untuk mendengarkan musik menggunakan headset miliknya. Perasaan Prilly mulai membaik namun panggilan dari Rafael seketika membuat moodnya kembali memburuk.

081577546xxx calling...

Prilly memang sudah menghapus nomor itu dari ponselnya namun sayangnya nomor yang sudah ia hafal diluar kepala itu begitu melekat dihati Prilly.

Panggilan pertama Prilly lewatkan begitu saja, sejak tadi malam ia memang tidak menghubungi Rafael, disaat biasanya ia selalu mengabari laki-laki itu jelas Rafael merasa aneh saat tidak menerima satu pesan pun darinya.

Setelah apa yang telah dia perbuat ternyata laki-laki itu masih memiliki muka untuk menghubungi dirinya. Tidak tahu diri sekali. Lagi-lagi Prilly melewatkan panggilan dari Rafael hingga akhirnya satu pesan dari Rafael terlihat dilayar ponselnya.

081577546xxx
Kamu dimana Sayang? Kenapa enggak jawab telpon Mas? Kamu marah?

Bukan marah melainkan benci.

Prilly memilih untuk menghapus pesan dari Rafael sebelum membereskan barang-barangnya di atas meja. Sudah waktunya ia kembali mengajar sebelum jam makan siang ia memang memiliki 2 kelas setelah makan siang Prilly berniat untuk langsung pulang. Tidak apa-apa sesekali ia mengajukan izin pulang lebih awal karena kondisinya memang kurang fit hari ini.

"Ibu Prilly sakit ya?" Seorang siswi bertanya saat berpapasan dengan Prilly yang ingin keluar dari perpustakaan.

Prilly tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Ibu baik kok cuma enggak makeupan aja hari ini." Jawab Prilly sebelum beranjak keluar dari perpustakaan. Prilly memang tidak memoles makeup namun wajah pucatnya bukan karena itu melainkan kondisi Prilly yang memang kurang sehat.

Prilly berjalan menuju kelas yang akan ia masuki namun disaat dirinya ingin berbelok kearah kelas justru Arsen yang berada diujung lorong melihatnya. Prilly tak sempat lagi menghindar karena Arsen sudah terlebih dahulu melihatnya.

"Ibu Prilly tunggu!" Teriak laki-laki itu yang berlari kecil menuju kearah Prilly. Arsen baru keluar dari kelas yang ada didekat kelas yang akan Prilly masuki, sungguh ketidaksengajaan yang sangat Prilly benci.

"Ada yang bisa saya bantu Pak Arsen?" Tanya Prilly langsung ke intinya, ia sedang malas berbasa-basi dengan laki-laki ini setelah kejadian kemarin.

Mengingat pertemuannya dengan laki-laki ini Prilly seperti terlempar kembali pada saat dirinya menangis dan ditenangkan oleh Ali. Prilly segera menggelengkan kepalanya berusaha mengusir bayangan Ali dari otaknya.

"Eum saya mau minta maaf atas kejadian kemarin Bu. Sungguh, saya tidak bermaksud untuk menyinggung Ibu Prilly." Kata Arsen dengan wajah penuh rasa bersalah.

Prilly tidak memberikan reaksi lebih ia hanya terdiam menunggu Arsen kembali bersuara. "Kemarin saya benar-benar tidak bisa berfikir jernih sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya saya katakan. Sekali lagi maafkan saya Ibu Prilly." Arsen benar-benar menyesali perkataannya kemarin, hanya karena kesal Prilly menolaknya bahkan sebelum ia berjuang lalu ditambah dengan rasa cemburu sungguh perpaduan yang mematikan sehingga membuat Arsen tidak dapat lagi mengontrol emosinya.

Dan setelah Prilly pergi ia sungguh merasa menyesal.

"Saya sudah maafkan Pak Arsen. Permisi!" Dan Prilly beranjak meninggalkan Arsen yang hanya tersenyum kecil, ia mengerti kenapa Prilly berubah dingin seperti ini padanya.

"Sepertinya jalan untuk saya benar-benar kamu tutup rapat." Lirih Arsen sebelum beranjak membawa luka juga penyesalan yang begitu dalam.

*****

Duka CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang