[4] Sore Kelabu

287 34 6
                                    

Sisa perjalanan pulang Wooseok dan Hyeyoon diiringi oleh kesunyian. Sunyi yang dilandasi oleh rasa canggung.

Jika siang tadi Wooseok membiarkan perjalanannya ke toko kecil di seberang sungai dalam senyap karena ia tidak akan membuat dirinya berceloteh, sementara hanya beberapa saat yang lalu Hyeyoon baru saja dirundung oleh teman-temannya, kali ini, Wooseok bahkan tidak mampu memikirkan satupun hal untuk dijadikan bahan pembicaraan.

Wooseok pun berharap, jika Hyeyoon tidak berbicara pula, maka itu akan lebih baik.

Lagipula, apabila kali ini Hyeyoon mengajaknya mengobrol, apakah ia akan mampu fokus mendengarkan? Sementara dadanya kembali berdebar kencang. Wooseok yakin ia setidaknya sudah beberapa kali menahan mual karena debaran di dadanya tidak kunjung berhenti.

Ini semua bermula saat ia terbangun dan menemukan Hyeyoon tertidur, menyandarkan sisi kepala kirinya di bahu kanan Wooseok.

Awalnya, Wooseok mengira ia bermimpi. Bahwa ia belum sepenuhnya terbangun. Sehingga, untuk sekian detik berikutnya, Wooseok hanya mengerjap, lalu berulang kali menatap ujung kepala si perempuan, lalu sebagian wajah Hyeyoon yang mampu terlihat dari sudut pandangnya.

Wooseok menarik napas dalam. Sangat dalam hingga ia hampir tercekat. Dan tentu saja, tepat di detik itu pula, dadanya mulai bergemuruh. Wooseok menutup mulutnya sendiri menggunakan tangan kirinya.

Jelas Wooseok tak mampu menggerakkan sama sekali tangan kanannya—tempat di mana Hyeyoon bersandar. Tangannya terasa kaku, nyaris kebas. Sudah berapa lama keduanya tertidur seperti ini, pikirnya.

Sekali, dengan pergerakan sangat perlahan, Wooseok lalu menoleh di arah kirinya. Jalanan di belakang mereka sudah sepi, pertanda sudah tidak ada lagi anak sekolah yang berlalu pulang. Sebuah keuntungan baginya. Namun, ia pun tidak bisa bergegas pulang. Wooseok kehilangan kemampuannya untuk mengeluarkan sepatah kata untuk membangunkan Hyeyoon.

Tubuhnya, linu. Lidahnya pun, kelu.

Bahkan, setelah beberapa menit berlalu dan hari semakin teduh, di kala Hyeyoon lantas terbangun dari tidurnya, bergerak dengan begitu natural meninggalkan sandarannya di bahu Wooseok, si perempuan bertingkah seperti tidak ada satu pun hal yang mengganjal.

Ia menggeliat. Sedikit mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu berkata sesuatu kepada Wooseok yang mengisyaratkan agar keduanya segera pulang saja.

"Sudah sore." Ujar Hyeyoon. Satu-satunya padanan kata yang dapat terdengar oleh indera Wooseok. Laki-laki ini layaknya robot, hanya mampu mengangguk, lalu dengan pergerakan kaku mengikuti Hyeyoon yang bergegas pergi.

Maka, masih di sisa perjalanan ini, alih-alih membuka satu pembicaraan dengan Hyeyoon, Wooseok tampak lebih baik untuk membuka percakapan 4 mata dengan dirinya sendiri.

Kenapa dadanya sakit sekali, pikirnya. Wooseok berupaya mengumpulkan berbagai bukti yang mengindikasikan hal serupa didalangi oleh satu sumber yang sama. Ia lalu melirik pelan ke arah Hyeyoon. Perempuan itu berjalan dengan tenang. Langkahnya pun stabil di sisi kanan Wooseok. Sementara, semilir angin membuat helaian rambutnya yang tampak menari lebih kentara.

Lalu, satu hal membuat kegaduhan di diri Wooseok, tepat ketika di detik suara di kepalanya mengatakan bahwa Hyeyoon tampak menarik untuknya. Perempuan ini, cantik.

Wooseok sesegera mungkin menahan tarikan napasnya. Matanya membulat, lalu melepaskan segera lirikan dari arah Hyeyoon ke titik pandang yang berbeda.

Kamu sudah gila, ya?

Satu suara keras kemudian berteriak di dalam dirinya lagi. Wooseok membuat ekspresi konyol di wajahnya. Hyeyoon adalah temannya, dan terlepas dari betapa cantiknya Hyeyoon, lalu kenapa? Ia tidak boleh berpikir lebih dari itu.

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang