[19] Keikhlasan

246 38 7
                                    

Wooseok berdiri di ambang pintu masuk, tanpa sedikitpun terpikir untuk melakukan apapun. Ia hanya mematung di tempatnya. Sementara, matanya lekat-lekat memandangi pemandangan di hadapannya.

Rasanya seperti ketika seseorang tengah mengenakan topeng, menyembunyikan wajah dari penglihatan orang lain. Pun demikian, tanpa benda itu pun, tiga orang yang berada di hadapannya ini, tidak akan pernah mengenalinya.

Hanya sepasang matanya saja yang menatap sendu. Entah karena ia terharu, atau karena si mata lagi-lagi memaksakan Wooseok untuk mengenang memori yang dibawanya sekali lagi. Atau mungkin, keduanya.

"Hyeyoon-ah..." seperti bertemu kembali dengan anak yang sudah lama pergi, ibu Han Wooseok menangkup wajah Hyeyoon dan menatapinya dengan mata berkaca-kaca. Ia mengulangi nama yang sama untuk beberapa kali, sebelum memeluk tubuh Hyeyoon erat-erat. "kamu kembali pulang." Ucapnya. Tangannya terus saja menepuk-nepuk punggung Hyeyoon dengan lembut.

Hyeyoon, tampak seperti anak kandungnya sendiri. Dulu, memang nyaris terlihat seperti itu.

Kemudian, ayah Han Wooseok yang turut berada di sana, tergopoh-gopoh meninggalkan pekerjaannya di pekarangan belakang rumah, hadir dengan raut wajah yang tampak lebih lega.

Tidak seperti istrinya yang terlihat begitu emosional menerima kedatangan Hyeyoon, sang ayah seperti memendam seluruh kalimat yang ingin diucapkannya dalam-dalam. Setidaknya, ia bisa melihat Hyeyoon kembali. Dan itu sudah sangat membahagiakan.

Meski sorot matanya yang sudah tak lagi setajam dulu, pertanda sudah semakin menuanya ia. Wooseok dapat melihat kerutan di sudut mata, bersama semburat warna abu-abu yang tak lagi dapat tertutupi, terlihat di hampir seluruh permukaan rambutnya. Dan jika dibandingkan 16 tahun yang lalu, rambut ayah Han Wooseok sudah jauh lebih menipis.

Tubuhnya pun sudah tidak segagah dulu, tampak kokoh memacu motor pengantar pesanan toko kelontong mereka. Ayah Han Wooseok yang kini hadir di hadapan Wooseok, setidaknya telah kehilangan banyak bobot tubuhnya. Kaos abu-abu tua yang dikenakannya pun terlihat sedikit kebesaran untuk ukuran tubuhnya.

Melihatnya, Byeon Wooseok termenung. Seperti jelas di dalam ingatannya, ini bukanlah sosok ayah yang tertinggal di dalam memori.

Waktu belasan tahun begitu saja berlalu, memakan segalanya. Seperti penampilan rumah Han Wooseok yang tak seperti dulu lagi. Ia menua seiring masa. Taman kecil di muka rumah pun tidak serimbun dulu, penuh sesak dengan daun yang menghijau.

"Ibu, mungkin ada baiknya kita duduk dulu..." suara kakak perempuan Han Wooseok memecahkan suasana. Ia beberapa kali memandang ke arah Wooseok dengan sungkan, sebelum beralih kepada ibunya yang masih memeluki Hyeyoon, dan kepada ayahnya yang tampak tak berdaya menatapi keduanya.

"Kita tidak bisa membiarkan tamu menunggu di depan pintu seperti ini." Tambah si kakak. Ia kembali melemparkan tatapannya kepada si tamu—Byeon Wooseok. Laki-laki yang sekitar setengah jam lalu datang ke toko kelontongnya, dan tampak begitu mengenali segala seluk belum toko keluarganya.

"Ah, ya... ya." Ayah Han Wooseok seakan terbangun dari pandangannya yang mengawang. Ia lantas membuka tangan, seraya mempersilahkan tamu asing mereka untuk masuk, untuk pertama kalinya melintasi lorong kecil rumah mereka, menuju ruang tengah.

"Dia... teman Hyeyoon, ayah. Datang dari Seoul." Seperti tambahan informasi, si kakak perempuan membisiki telinga kiri ayahnya.

"Oh ya... ya. Maaf kami jarang sekali menerima tamu akhir-akhir ini." Si ayah terkekeh, masih berjibaku dengan membuka jalan agar Wooseok tidak salah arah. "ayo, masuk... masuk, teman Hyeyoon dari Seoul."

Tubuh Wooseok yang tinggi menjulang, perlahan memasuki rumah keluarga Han seraya mengikuti arahan. Di sisi kanan, tak jauh dari pintu depan, terdapat area dapur, sementara tepat di seberangnya merupakan ruang tengah yang bergabung dengan ruang makan.

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang