[12] Prioritas

345 46 15
                                    

Kepalanya sakit.

Sudah semenjak jeda makan siang lalu, Hyeyoon merasakan perubahan drastis pada tubuhnya. Kepalanya terasa sakit—bukan pusing, dan terus saja menjalar hingga kedua telinganya.

Kerongkongannya mulai terasa kering dan nyeri ketika waktu bergerak ke pukul satu siang. Tepat ketika meetingnya bersama seorang klien dimulai. Hyeyoon berjuang untuk terus berbicara, bahkan tersenyum santai, ketika seluruh tubuhnya mulai terasa tidak dapat diajak berkompromi lagi.

Bahkan, Hyeyoon yakin jika dahinya pun mulai menghangat. Ia benar-benar sakit.

Kemudian saat ini, ketika waktu berlalu melewati pukul tiga sore, Hyeyoon hanya terlihat menyandarkan kepalanya lemah di ruang istirahat staff. Matanya yang terasa pedih ia pejamkan, sementara tubuhnya perlahan seakan terbakar.

Seorang staff kemudian membuka pintu ruang istirahat. Kepalanya menerobos melalui pintu tersebut, lantas menanyakan keadaan Hyeyoon.

"Aku harus pulang." Hyeyoon bergumam pendek. Suaranya lemah. Setiap getaran dari suaranya menggema di seluruh rongga lehernya, rasanya seperti siksaan.

"Asisten manager Kim, saya rasa juga seperti itu." Nada suara si staff benar-benar khawatir.

Hyeyoon jarang sakit. Terlepas dari bagaimana ia bekerja dengan sangat gila, Hyeyoon jarang sekali jatuh sakit. Pengecualian adalah ketika ia menjalani masa pemulihan pasca kecelakaan dan diikuti oleh depresi yang perlahan menggerogoti ketika ibunya harus meninggal dunia. Saat itu Hyeyoon memang tampak sakit. Tubuhnya mengurus. Tapi, setidaknya ia tidak terserang penyakit.

"Bisa bantu aku ambilkan air? Air yang cukup panas. Tenggorokanku terbakar rasanya."

Si staff bergegas memasuki ruangan, mengambil air minum dengan gelas karton yang tersedia, lalu membawakannya kepada Hyeyoon. Ia bahkan sempat membantu Hyeyoon meminumnya dengan perlahan agar airnya tidak tumpah.

"Mau saya ambilkan mantel dan tasnya juga? Jadi asisten manager tidak perlu kembali ke ruang kerja."

Hyeyoon menggeleng-geleng. Ia menenggak sisa air itu kemudian. "tidak. Tidak perlu. Aku akan bicara langsung ke kepala divisi." Si gelas karton itu ia buang di tempat sampah di sisi sofa yang didudukinya, lalu sedikit terhuyung Hyeyoon membuat dirinya berdiri.

Si staff yang masih begitu khawatir, sempat memegangi Hyeyoon. Ia pun dapat merasakan jika hawa tubuh atasannya benar-benar terasa panas.

"Terima kasih." Hyeyoon menoleh pelan, sedikit tersenyum tipis dan mulai berlalu.

Di titik ini, Hyeyoon sesungguhnya sangat tidak menyukai kenyataan bahwa ia harus menemui si kepala divisi. Menjadi sakit saja sudah satu hal yang ia sayangkan, tapi harus menghadap si kepala divisi adalah satu hal yang berbeda.

Dia di level yang berbeda.

Adalah fakta bahwa Hyeyoon membenci pekerjaannya. Pekerjaan yang membawanya ke posisinya kini. Namun, Hyeyoon pun turut membenci kepala divisinya.

Jika orang itu hilang dari muka bumi ini, akan sangat lebih baik. Sehingga, Hyeyoon berucap kepada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan berurusan banyak dengan si kepala divisi—selain urusan pekerjaan. Bahkan Hyeyoon meminimalisir interaksi dengan laki-laki itu jika tidak ada keperluan. Masalahnya, izin pulang karena dirinya tiba-tiba saja sakit, mengharuskan Hyeyoon untuk berbicara dengan si kepala divisi.

"Apakah kamu akan kembali besok?" tanya si kepala divisi, laki-laki berumur awal 40. Orang ini berperawakan lebih muda daripada umurnya—banyak yang mengatakan demikian. Tapi itu bukan berarti Hyeyoon akan menambahkan angka positif terhadap penilaiannya untuk si kepala divisi.

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang