[5] Kunjungan

320 44 13
                                    

Wooseok masih terguncang.

Hyeyoon dan ibunya sudah pergi meninggalkan toko kelontong keluarganya beberapa saat yang lalu. Keduanya pergi berlalu, entah mungkin dengan membawa sejuta percampuran rasa yang bergumul di dalam diri masing-masing. Dan, Wooseok membiarkan mereka pergi.

Wooseok memang sempat menoleh—memandangi punggung Hyeyoon dan ibunya yang kian menjauh, beberapa saat setelah sang nenek mulai menangis pilu, mengasihani hidup keluarga besarnya yang carut marut setelah petaka berpuluh-puluh tahun lalu.

Si cucu laki-laki memandangi neneknya. Matanya berkaca-kaca. Wooseok tahu si nenek mulai mengucapkan kalimat yang cukup panjang, seraya mengaduh, sementara ibunya masih menepuk-nepuk punggung sang nenek. Mungkin berupaya menenangkan. Namun, indera pendengaran Wooseok seakan senyap.

Ia tak mampu menangkap sedikitpun ucapan sang nenek. Matanya yang turut kesulitan mengerjap, membuatnya seperti patung.

Mungkin, ini pula yang membuat mata Wooseok berkaca-kaca—memerah. Mungkin bukan karena ia sepenuhnya mengasihani sang nenek. Mungkin, ini karena matanya saja yang benar-benar sulit mengerjap, lalu terasa kering. Maka dari itu, matanya berkaca-kaca.

Tapi, bagaimana dengan deru dan sakit di dadanya? Bagaimana dengan rasa nyeri di pangkal kerongkongannya yang sekarang mulai merambat menuju ke kedua telinganya?

Wooseok seperti tengah menahan tangisnya sendiri. Jelas, tidak semua orang mampu dengan cepat menguasai suatu keadaan yang terjadi di luar ekspektasinya. Seperti apa yang terjadi beberapa saat lalu. Hal seperti ini tidak setiap saat terjadi. Dan, tentu saja berada di luar perkiraan Wooseok.

Ia tidak pernah mengira bahkan keluarganya pun mampu berlaku seperti itu terhadap Hyeyoon dan ibunya.

Orang-orang yang dikenalnya dengan begitu dekat—keluarganya sendiri, mampu melakukan hal tak menyenangkan kepada tetangga terdekat mereka. Kepada Hyeyoon.

Baru saja siang tadi Wooseok mengutuk perbuatan teman-teman sekolahnya. Merundung Hyeyoon atas sesuatu yang bukan kesalahannya adalah sebuah tindakan tidak terpuji. Ini kejahatan. Wooseok bahkan berpikir akan benar-benar mengadukan perbuatan tersebut kepada para guru jika terulang lagi untuk kedua kalinya.

Tidak. Bahkan sebelum itu terjadi, Wooseok akan mengadukannya. Besok. Wooseok benar-benar akan mengadukannya besok.

Hanya, tidak pernah sedikitpun terlintas di imajinasi terliarnya bahwa Hyeyoon dan sang ibu akan mendapatkan perlakukan yang sama langsung dari keluarga Wooseok sendiri.

Kini, kepada siapa Wooseok akan mengadu?

Sudah dikatakan tadi, Wooseok benar-benar terguncang.

Ketika malam lantas datang, si keluarga besar seperti biasa berkumpul di satu meja besar, menyantap makan malam masing-masing. Di hari-hari normal, akan selalu ada pembicaraan yang muncul. Topik-topik tidak akan pernah hilang.

Namun, kali ini, makan malam keluarga Wooseok berlalu dalam hening. Sang ayah yang baru tiba selepas jadwal pengantaran barang terakhirnya, sempat tidak menyadari keanehan ini. Hingga ketika sang kepala keluarga mulai bertanya seraya mengeluarkan ketawa rendah yang sangat kikuk, dan di saat itu pula Wooseok meletakkan sendok nasinya.

"Aku selesai lebih dulu." Ucapnya. Ia mengambil peralatan makannya, berdiri, lalu meletakkannya di bak cucian piring.

Seluruh mata memandanginya. Semuanya, kecuali si nenek buyut. Si nenek buyut, tidak jauh berbeda sejak kekacauan sore tadi, wajahnya masih menyiratkan kesedihan. Rautnya tidak secerah yang terdahulu.

Si nenek buyut, sudah pasti kembali terngiang kenangan akan kakak-kakaknya yang sudah pergi mendahului. Ia pun pasti menyadari bahwa waktunya dalam hidup ini tidak akan terlalu lama lagi. Akan ada masanya ia akan bertemu dengan para saudara kandung yang telah lama pergi meninggalkannya. Namun, bukan seperti sore ini cara terbaik untuk mengenang mereka.

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang