[18] Hitungan 9

273 40 10
                                    

Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Wooseok gamblang. Pertanyaan cukup mudah. Hanya ada dua jawaban: 'ya' atau 'tidak'.

"Huh?" Hyeyoon terdengar bingung. Toh wajahnya masih terlihat cerah. Ia tidak terlihat sedikitpun terganggu dengan pertanyaan itu.

"Apa Anda merasa kita pernah bertemu sebelumnya? Sebelum ini. Sebelum di rumah sakit."

Lobby rumah sakit bukanlah kali pertama garis takdir mempertemukan Wooseok dan Hyeyoon. Si laki-laki—dengan seluruh kesadaran penuhnya, meyakini bahwa di sana ia pertama kali melihat Hyeyoon. Namun, tidak bagi Hyeyoon.

Atau, lebih tepatnya, gambaran besarnya tidak sesederhana yang selama ini diketahui keduanya.

Tahun itu, tahun 2013, adalah kali kedua ketika hitungan angka 9 milik Wooseok datang untuknya. Ia datang bahkan jauh sebelum laki-laki itu membaca referensi artikelnya beberapa tahun kemudian.

"Dia baru saja pindah ke Indonesia akhir musim semi ini."

Bergabung di pertengahan sebuah perbincangan normal antar tiga orang teman, waktu membawa kembali segalanya ke tahun 2013. Awal musim gugur, masa ketika Wooseok sudah menjalani setengah dari periode wajib militernya. Kala itu, ia mengambil beberapa hari libur untuk mengunjungi keluarga, begitu pula di dalamnya mengatur waktu bertemu dengan dua orang teman dekat dari kampusnya.

Wooseok berada di sebuah kedai kopi—tak terlalu besar, berlokasi tidak jauh dari apartemen milik salah seorang teman yang ditemuinya.

Potongan rambutnya masih terlalu pendek, ditutupinya dengan topi baseball hitam.

"Kenapa tiba-tiba dia pindah ke Indonesia?" Wooseok nyaris saja tergelak. Salah seorang teman kuliahnya—yang seharusnya ikut bergabung dalam pertemuan kali ini, nyatanya sudah pergi meninggalkan Korea.

"Korea Utara menguji coba nuklirnya. Adalah hitungan waktu hingga mereka mengujicobakan nuklir itu juga kepada kita, katanya." Jawab salah seorang teman. Ketiganya duduk pada sofa pendek berwarna merah tua di sisi kanan kedai kopi, mengitari sebundar meja kayu rendah.

Di atas meja tersebut, hanya terlihat segelas kopi dingin yang seperti baru saja diminum. Menandakan, dua dari ketiga laki-laki ini belum sempat memesan minumannya. Wooseok dan satu temannya memang baru tiba beberapa saat yang lalu.

"Tensinya sangat tinggi. Kita mungkin akan berperang lagi dengan Korea Utara." Tambah si teman. Ia meraih gelas kopinya, menyesapnya kembali sebelum menyandarkan posisi duduknya.

Si teman, dengan jaket coklat tua tipis, adalah teman yang apartemennya berlokasi tak jauh dari kedai kopi ini. Masih dengan air wajah penuh kelakar, teman itu kembali berbicara, "kalau ekonomi kita hancur, setidaknya dia sudah menyelamatkan diri dengan mulai mencari pekerjaan di negara lain."

"Di Indonesia?" teman yang lain—yang datang bersamaan dengan Wooseok, menarik satu alisnya tinggi-tinggi. Ia baru saja melepaskan jaket warna khakinya.

"Negara itu berkembang dengan pesat. Banyak perusahaan Korea yang mulai menanamkan modal di sana. Peruntungannya cukup baik, memang." Teman berjaket coklat tua menjelaskan kembali.

"Tapi, sebelum semua itu, bukankah kita semua semestinya harus ikut pergi berperang?" komentar Wooseok dengan wajah datar. Sedetik setelahnya, ia kemudian menyadari betapa menyeramkannya kondisi itu jika memang terjadi, "ya Tuhan, seram juga membayangkannya."

"Setidaknya kamu tidak akan diletakkan di garis terdepan." Si teman melipat asal jaket khakinya, lalu menyadari bahwa pekerjaan itu membuang-buang waktunya, ia berakhir memutuskan untuk menyampirkannya saja di sandaran sofa.

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang