Ketika semua kembali kepadanya, hanya rasa dingin yang terasa. Merayap, teramat perlahan menelusuri tengkuknya. Pergerakannya kaku, meski kedua kakinya mulai lunglai. Kim Hyeyoon berangsur menopangkan kedua tangannya pada lutut, agar tubuhnya tak roboh. Napasnya yang tersengal, perlahan dicobanya untuk kembali teratur.
Pandangannya kabur. Ia melihat tekstur jalanan tanah berpasir yang tengah dipijaknya. Seakan-akan pemandangan itu penting. Tidak... ini sangat penting. Mengindikasikan, ia masih sepenuhnya tersadar. Ia masih belum tersungkur, terjerembab di tanah yang dingin ini.
Karena Hyeyoon tahu, rasanya bumi ini berputar terlalu kencang. Membuat kepalanya pusing. Sakit. Dan di antara semua itu, ia mendengar Wooseok—Byeon Wooseok, memanggil namanya.
"Hyeyoon... Hyeyoon..."
Suara si laki-laki terdengar tergesa-gesa. Ada nuansa kekhawatiran di sana. Lalu, sebelum suara Wooseok semakin teredam, kesadaran Hyeyoon mulai memperbaiki ingatannya yang acak. Mengembalikannya kepada runutan yang sesuai. Runutan yang memang sebenarnya terjadi.
Hari itu, Oktober 2022, Hyeyoon perlahan tersadar. Matanya terbuka sedikit demi sedikit, berupaya beradaptasi dengan cahaya terang di ruangan ia berada. Seluruh tubuhnya sakit. Ia bisa menggerakkannya, tapi rasanya teramat sakit. Begitu pula dengan kepalanya. Yang mana, setelah penyesuaian di detik berikutnya, Hyeyoon menyadari perban telah membebat kepalanya.
Lalu nyeri itu perlahan datang. Terima kasih kepada tubuhnya yang tak segera memberondongnya dengan rasa tak menyenangkan ini pada satu waktu yang sama.
Hyeyoon masih berjuang, bergelut untuk tak mengindahkan rasa sakit ini. Sementara benaknya masih bertanya-tanya apa yang sudah terjadi pada dirinya. Ia mengurut ulang kenangan terakhirnya, menyadari bahwa setidaknya ia masih berada di dalam bus yang membawanya kembali ke Seoul beberapa saat yang lalu.
Beberapa saat yang lalu, nyatanya sudah berjarak 48 jam setelah waktu kejadian. Kecelakaan bus yang menimpanya—beserta seluruh penumpang bus, begitu pula ibunya, membawa Hyeyoon berada di sebuah rumah sakit di Suwon.
Kemudian waktu bergerak cepat. Hyeyoon, dalam kondisi yang lebih stabil, tersandar lunglai di tempat tidur rawatnya. Seorang dokter laki-laki berdiri di sisinya, bersama seorang perawat wanita yang turut menemani.
"Di mana ibu saya?" Hyeyoon tidak ingat sudah berapa kali ia menggumamkan pertanyaan yang sama. Suaranya kecil, lemah. Tatapan mata sayunya, seperti memohon kepada si dokter untuk memberikan jawaban yang seharusnya cukup mudah dikatakan.
"Kenapa ibu saya tidak ada di sini?" Ada di mana ibu saya?"
Namun, yang dokter itu katakan hanyalah, "Anda bisa bertemu dengan ibu Anda setelah kondisi Anda lebih stabil."
Jika saja Hyeyoon berada di dalam kondisi terbaiknya, perempuan ini akan mulai meninggikan nada suaranya, dan meminta kejelasan di saat itu juga mengenai apa yang telah terjadi kepada ibunya.
Sayangnya, Hyeyoon masih kehilangan seluruh dayanya untuk sekedar berbicara.
"Saat ini Anda berada dalam perawatan rumah sakit kami... di Suwon. Begitu pula dengan ibu Anda."
Hyeyoon bisa mendengar deru napasnya yang perlahan memburu. "apa... apa yang terjadi?", tanyanya. Ia tidak mengerti mengapa dirinya berada di Suwon, bukan di Seoul. Apa yang terjadi dengan bus yang ditumpanginya?
"Apakah Anda bisa menyebutkan nama Anda?" tanya dokter itu kemudian.
Seharusnya, Hyeyoon mengeryitkan dahinya. Pertanyaan apa itu? Mengapa ia dikira tidak bisa mengenali dirinya sendiri? Hanya, lagi-lagi, kondisi tubuhnya pun tak mampu membuatkan bersikap lebih sarkastik.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Mind's Eye
FanfictionPertemuan Wooseok dan Hyeyoon adalah di sebuah lobby rumah sakit. Nuansa yang dingin dan pelik, terpancar pada rona wajah sang perempuan. Ia tampak telah kehilangan sebagian dari hidupnya. Melalui sebuah pertemuan, Hyeyoon membawa Wooseok kembali ke...