[8] Skenario Tuhan

318 44 4
                                    

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Wooseok tidak tahu apakah ini pertanyaan pertama Eunseo, atau sebelumnya si perempuan sudah mengajukan pertanyaan sejenis. Ia sadar, karena sudah beberapa detik—atau menit terakhir, Wooseok membiarkan dirinya melamun.

Saat melamun, beberapa inderamu cenderung tidak pada situasi tanggap yang membuatmu merespon dengan segera. Jadi, sudah pasti Eunseo harus bertanya setidaknya dua kali untuk membuat Wooseok tersadar.

Si laki-laki pun membuat pergerakan cepat, ia mengarahkan pandangannya kepada Eunseo kembali. Untuk sepersekian detik Wooseok bergegas mengembalikan pikirannya kepada kondisi awal. Mengerjap sekali, lalu ia bergumam pelan, "huh?"

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Eunseo lagi. Pertanyaan yang sama.

Eunseo sudah melewati kemoterapi keduanya. Ia tengah berbaring di atas tempat tidur rumah sakit, menunggu sekian waktu untuk mengembalikan kondisi tubuhnya, hingga sang perawat kembali, melakukan observasi terakhir dan mempersilahkannya pulang.

Ia tahu, hingga detik terakhir dalam hidupnya nanti, ia harus membiasakan dirinya dengan rutinitas baru ini. Seberapa besar pun rasa lelah dan sakit yang kini ia rasakan di sekujur tubuhnya—terutama kepalanya yang tak henti-hentinya terasa ngilu, ia harus membuat dirinya terbiasa. Ini tidak akan lama, pikirnya.

Eunseo lalu tersenyum lemah ke arah Wooseok yang duduk di sampingnya. Laki-laki ini—teman lamanya, sudah sangat berbaik hati kembali mengunjunginya hari ini. Di kali pertama, Eunseo memang meminta secara langsung agar Wooseok bersedia datang setelah kemoterapi pertamanya. Namun, setelah itu, Eunseo hanya berkata, "di kemoterapi berikutnya..."

Lalu, Wooseok dengan segera memotong, seraya tersenyum ramah—khas Wooseok, laki-laki berucap, "aku akan coba datang."

Dan, laki-laki itu memang datang.

"Apa kamu sedang memikirkan bagaimana hari-harimu setelah aku tidak ada?" Eunseo berusaha bercanda. Humor gelap yang awalnya tak ia maksudkan untuk diutarakan, tapi terlontar begitu saja. Wooseok pun segera melebarkan kedua matanya, menatap Eunseo dalam-dalam.

"Aku akan lebih senang kalau kamu tidak berucap seperti itu." Nada suaranya seakan menggurui. Lalu, sembari menghela napas, "harapan itu selalu ada."

"Aku tahu. Kamu sudah sering kali mengatakannya. Sejak dulu." Pandangan Eunseo mengawang. Ia sekilas melihat dirinya yang lebih muda, masih dalam kondisi sehat, tengah menjalani hari-hari kuliahnya bertahun-tahun yang lalu. Wooseok pun—juga dengan tampilan yang lebih muda, terlihat pula di dalam angan Eunseo.

"Kamu akan tetap hidup dalam waktu yang sangat lama." Wooseok mengucapkannya tanpa adanya sedikit rasa segan. Seakan ia dapat menerawang masa depan seseorang. "kamu sudah bertahan hingga detik ini. Kenapa kamu tidak bisa bertahan untuk 50 tahun ke depan misalnya."

"Jujur, aku sulit membayangkan diriku di usia 80 tahun. Aku akan benar-benar sangat tua." Eunseo tertawa pelan. Sesungguhnya, tertawa pun akan sangat sulit baginya. Seluruh tubuhnya ia kerahkan untuk meredam rasa sakit. Sehingga, untuk dapat tertawa, seakan tidak ada sedikitpun tenaga cadangan yang dapat dikerahkannya lagi.

"Tidak hanya kamu. Aku juga akan sangat tua." Wooseok membalas. Kembali membuat situasi 'masa tua' itu seakan memang akan benar terjadi.

"50 tahun itu waktu yang sangat panjang..." Eunseo menggumam pelan. "kalau aku benar memiliki waktu sepanjang itu, apa aku tetap tidak punya kesempatan itu?"

Keduanya lalu saling menatap. Tatapan sayu Eunseo, berupaya meminta jawaban. Namun, pertanyaan itu sangat mengambang. Meskipun begitu, Wooseok memahami betul apa maksud terselubung di dalamnya.

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang