[14] Pohang

364 50 15
                                    


Hari ini, ketika waktu mulai bergulir ke sore hari, Hyeyoon berada di sebuah daerah di pinggir kota Seoul, Gandong-gu. Ia duduk bersandar di salah satu sofa beanbag yang dijajarkan menghadap dinding kaca luas yang membatasi si ruangan dengan area terbuka di luar.

Suhu di dalam sini, hangat. Sementara udara masih sangat dingin di luar sana. Namun, hal ini tidak mengurungkan niat Hyeyoon untuk berada di luar nyaris satu hari penuh, meninggalkan kamar apartemennya.

Di pangkuannya, sebuah buku sketsa terbuka di satu halaman, dialasi papan kayu. Wajah si perempuan terlihat serius. Sudah sejak satu jam lalu Hyeyoon mengubah satu halaman polos itu menjadi sketsa lanskap kota Seoul di balik jembatan Cheonho—yang terpampang persis di hadapannya kini.

Langit di belakangnya, meredup, pertanda sore telah datang. Sehingga tiap siluet dan garis tegas gedung-gedung dan jembatan di ujung jauh sana, terlihat semakin kontras. Dan, Hyeyoon menuangkan setiap detil yang dilihatnya ke atas si halaman hanya dengan goresan pensil warnanya.

Bagi banyak orang, ini mahakarya. Tapi ini tidak sulit—setidaknya bagi Hyeyoon. Hanya, ketelitiannya membutuhkan waktu dan konsentrasi. Jika Hyeyoon tidak terusik sedetik saja untuk sekedar melihat ponselnya hari ini, ia tidak akan tahu bahwa Wooseok tengah mencarinya.

Hyeyoon dan Wooseok belum lagi bertemu semenjak hari si laki-laki mengunjungi apartemennya. Nyaris dua minggu yang lalu. Banyak alasan sebenarnya. Pertama, Wooseok kembali berpergian ke luar kota tepat di akhir minggu itu.

Dan perjalanan luar kota kali ini tidak semudah sebelumnya. Kali itu, Wooseok terserang flu. Tidak terlalu berat—seperti yang terjadi pada Hyeyoon beberapa hari sebelumnya. Tapi aktivitas penuhnya di luar ruangan membuat Wooseok melewati sepanjang minggu dengan kondisi yang tidak fit. Bahkan obat dan vitamin tidak membantu banyak.

Lalu, sekembalinya ia dan tim dari perjalanan luar kota, di dalam salah satu sambungan teleponnya dengan Hyeyoon, Wooseok mengatakan bahwa jadwal pekerjaannya semakin padat menjelang hari syuting episode pertama tayangan televisinya.

Itu menjadikannya sebagai alasan kedua.

Pun, terhadap alasan tersebut, Hyeyoon bersikap tidak terlalu ambil pusing. Ia toh juga tidak membahas kapan tepatnya mereka harus kembali bertemu. Hyeyoon hanya mengiyakan, dan minggunya berlalu dengan rutinitas yang sangat normal sebagai pekerja kantoran.

Yang membedakan adalah, Hyeyoon kembali menggambar. Ia menggambar dan mulai memetakan kapan tepatnya Hyeyoon akan meninggalkan perusahaan ini. Ia merencanakan bagaimana kemampuannya dapat berguna untuk bidang lain yang lebih disenanginya. Ia mengonsepkan jalan baru yang tengah dirintisnya kini.

Hanya dengan satu rancangan besar saja—yang bahkan belum seluruhnya terjadi, mampu membuat garis senyumannya tak kunjung hilang.

Hari seakan terasa lebih baik. Hyeyoon melihat hidup ini memiliki harapannya kembali.

"Kamu serius sekali." Lalu, cahaya sendu si matahari yang menghangat, membentuk bayangan ketika cercahnya terhalangi seseorang. Hyeyoon tak lantas segera mendongak—entah karena seseorang yang membayangi sketsanya tidak sepenuhnya mengganggu, atau karena Hyeyoon sudah mengenali si suara yang didengarnya.

Perempuan ini masih fokus dengan sketsanya, meski sebuah senyuman tipis terlihat tergurat di bibirnya. "tidak susah mencari tempatnya?" ia bertanya. Perlu tepat dua detik berlalu hingga si perempuan terlihat mendongak, memandang lurus ke arah si laki-laki yang diajaknya berbicara.

Laki-laki itu menahan tawanya. Ia melihat ke sekeliling sekilas, sebelum menjawab. "satu alasan mengapa aku sangat berterima kasih selalu berpergian ke luar kota dalam tim yang tidak kecil." Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dada, "terkadang kemampuan orientasiku kurang baik."

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang