"Sudah berapa lama Anda tinggal di Seoul?"
Sebuah pertanyaan yang membawa Wooseok melajukan mobilnya kembali ke arah area yang satu jam lalu baru saja ia tinggalkan—Distrik Yongsan.
Restoran yukgaejang yang digadang-gadangkan Wooseok sebagai restoran dengan yukgaejang terenak di seluruh Seoul, hanya berlokasi sekitar 8 menit berkendara dari stasiun Seoul. Rasanya, baru saja ia meninggalkan area ini dengan satu pikiran di dalam kepalanya: segera pulang ke rumah, lalu beristirahat.
Namun, kini ia berkendara kembali ke area yang sama, bersama Hyeyoon yang duduk di sisinya. Alih-alih memikirkan sudah seharusnya ia terlelap di atas tempat tidurnya, yah mungkin setelah menghabiskan setengah menu makan malamnya—apapun itu, kini Wooseok merasa memang ada baiknya memakan semangkok yukgaejang di malam yang dingin membeku sebelum berkendara pulang ke rumah.
Tidak ada satupun hal yang mampu mengalahkan semangkok sup berkuah pedas yang masih sangat panas ketika dimakan di cuaca sedingin ini.
"Cukup lama. Cukup lama, hingga di titik ketika aku sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa aku sangat membenci kota ini." Ada nada sarkasme yang dibawa melalui jawaban dari Hyeyoon. Walaupun, di sisi lain, jawaban ini pun terdengar penuh dengan kelakar. Terutama ketika Hyeyoon mengakhiri jawabannya dengan sebuah decak tawa.
"Anda benci kota ini?" Wooseok bertanya dengan mengucapkan tiap katanya cukup perlahan. Nyaris seperti Hyeyoon, Wooseok pun menimpali jawaban Hyeyoon dengan sedikit kesan lucu di dalam pertanyaannya.
"Aku benci dengan cuacanya—dia terlalu dingin saat masuk musim dingin, dan terasa terlalu panas saat musim panas. Aku benci ada begitu banyak gang gelap yang menanjak dengan sangat terjalnya. Aku benci dengan betapa tidak pedulinya orang-orang di kota ini. Dan lucunya, aku sudah sangat terbiasa." Hyeyoon menjabarkan dengan cukup detil. "aku rasa aku juga sudah bertransformasi menjadi si 'orang-yang-tidak-peduli' itu."
Suara tawa Wooseok terdengar lebih nyata, "jawaban yang sangat menarik."
Si laki-laki seakan terkecoh, bahwa hanya kira-kira satu menit yang lalu, ia masih menantikan jawaban pasti atas pertanyaannya. Ketika seseorang bertanya 'sudah berapa lama?', ia mengharapkan jawaban akan datang dalam ranah waktu atau periode, seperti 'sudah satu tahun', atau 'semenjak musim gugur dua tahun yang lalu'.
Sayangnya, Hyeyoon tidak menjawab seperti itu. Jawabannya terkesan mengambang. Memang. Tapi Wooseok sudah terkecoh dan ia tidak ingat lagi dengan tujuan awalnya.
"Apa saya terlihat termasuk ke dalam golongan 'orang-yang-tidak-peduli' dalam deskripsi Anda?" tanya si laki-laki kemudian. "sebagai orang yang tinggal di Seoul..."
"Kamu adalah anomali. Tidak ada orang di Seoul yang tiba-tiba saja mengajak orang asing berbicara." Hyeyoon menjawab dengan lancar. Ia tidak menoleh. Arah pandangnya hanya lurus ke arah jalanan di depannya. "menandakan kamu bukan orang asli kota ini. Kamu tidak lahir di sini."
Wooseok melebarkan matanya. Ia tak ubahnya seperti seseorang yang seumur hidupnya tidak percaya ramalan tarot, tetapi seorang peramal tua dihadapannya dapat dengan lancar membaca asal muasal hidupnya. "wah, ini menakutkan." Tawanya tertahan.
Kedua tangan Wooseok berada di setir mobilnya. Sementara, sesekali ia menoleh ke kanannya, seraya masih memperlihatkan wajah antusiasnya. "sepertinya benar sekali kalau rasanya tidak ada orang Seoul seperti saya. Anda membaca orang dengan cukup tepat."
Kemudian, Wooseok mulai bergumam mengenai sangat disayangkannya ia telah meninggalkan posisi lamanya sebagai Producer Director di acara radio yang digawanginya. Jika ia masih di sana, terpikir olehnya untuk merancang satu topik pembahasan mengenai alasan yang membuat penduduk Seoul membenci kota ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Mind's Eye
FanfictionPertemuan Wooseok dan Hyeyoon adalah di sebuah lobby rumah sakit. Nuansa yang dingin dan pelik, terpancar pada rona wajah sang perempuan. Ia tampak telah kehilangan sebagian dari hidupnya. Melalui sebuah pertemuan, Hyeyoon membawa Wooseok kembali ke...