Bagaimana seseorang seharusnya menjalani hidup?
Kim Hyeyoon percaya, setiap orang memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Hidup menjadi memiliki arti ketika seseorang mengetahui bagaimana ia harus menjalaninya. Seperti memiliki peta yang telah dituliskan untuknya, sehingga kecil sekali kemungkinan ia akan tersesat.
Dengan demikian, hidup tampak menjadi berwarna. Terlepas dalam keadaan seperti apa seseorang terlahir—terkadang seseorang lahir di situasi yang lebih menguntungkan daripada yang lainnya, Hyeyoon meyakini bahwa hidup akan menjadi bermakna ketika orang tersebut telah menentukan petanya sendiri.
Akan sangat menyenangkan, pasti. Dan begitulah seseorang seharusnya menjalani hidupnya. Terasa sangat ideal. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari melewati hari-hari dengan melakukan sesuatu yang sudah dipilihnya sendiri—tanpa paksaan.
Namun, sudah lama Hyeyoon merasa bahwa ia perlahan telah kehilangan petanya.
Tentu saja, peta itu tidak benar-benar terlihat. Hyeyoon hanya merasakan, telah lama dirinya terasa terombang ambing, tidak sepenuhnya mengetahui ke mana ia membawa dirinya di dalam perjalanan hidup ini.
Perempuan ini tinggal di Seoul. Terlepas dari mana awalnya ia berasal, Hyeyoon sudah tinggal di Seoul sejak ia memilih untuk menempuh perkuliahan jauh dari ibunya. Sejak saat itu, praktis keduanya tinggal terpisah. Hyeyoon tinggal di dorm kampusnya, yang lalu beralih ke sebuah apartemen sewaan yang ia tinggali bersama seorang teman kuliahnya.
Kemudian, segera setelah ia lulus dan mendapatkan pekerjaan, hanya berselang sekian bulan ketika Hyeyoon memutuskan untuk tinggal sendiri. Masih menempati apartemen sewaan—lebih kecil kini, tetapi kali ini ia meninggalinya sendiri. Tidak ada lagi ibunya dalam radar.
Ibu Hyeyoon, menempati rumah kecil mereka di Pohang. Sekitar 2 jam perjalanan menggunakan kereta, sesungguhnya kedua perempuan ini bisa saling mengunjungi kapan saja. Jarak bukanlah masalah. Walaupun, semenjak Hyeyoon memulai hidup barunya sebagai karyawan di sebuah perusahaan trading, ia seakan kehilangan seluruh waktu dalam hidupnya.
Hyeyoon, tak lagi sering kali mengunjungi ibunya di Pohang. Bagi si ibu, awalnya keadaan seperti ini dirasa tak terlalu signifikan ketika ia pun masih aktif bekerja. Hanya saja, saat waktu pensiun menjelang dan hidup ibu Hyeyoon praktis hanya berkutat di pekerjaan rumah, rasa kosong itu mulai terasa.
Ibu Hyeyoon tidak pernah mengungkapnya secara langsung, meskipun kesepian ini bukanlah ilusi. Ia benar-benar ada.
Tapi ini lazim, bukan? Sebuah contoh paling mendasar mengenai sang anak yang sibuk dengan pekerjaan di perantauan, sementara orang tua yang sudah tak lagi bekerja, mulai menjalani hidupnya sendiri.
Ada berapa juta orang di dunia ini yang mengalami hal yang serupa? Namun, dari jutaan orang tersebut, ada sekian variabel yang mengarahkan kehidupan mereka ke titik yang berbeda. Dari sekian juta orang, mungkin hanya hitungan jari yang berakhir memiliki cerita seperti yang dialami Hyeyoon kini. Mungkin—mungkin bahkan, bisa jadi pula, hanya satu orang saja.
Hanya Hyeyoon. Tidak ada orang lain.
Ini adalah awal bulan November 2022. Dan, Hyeyoon mulai mempertanyakan kembali mengenai perjalanan hidupnya.
Ia duduk di sebuah kafe kecil, berlokasi di dalam sebuah rumah sakit di kota Seoul. Teh yang masih panas, memperlihatkan asap tipis yang menguap di udara, diletakkan di hadapan Hyeyoon. Si perempuan, belum menyentuh minumannya.
Hyeyoon masih melamun. Sesuatu yang sebenarnya jarang ia lakukan di nyaris kira-kira 8 tahun terakhir. Otaknya terlalu sibuk digunakan untuk bekerja. Ia tidak akan membiarkan dirinya sedikitpun beristirahat, hingga di titik ketika ia bahkan sering tak menyadari sejak kapan ia tertidur di atas tempat tidurnya tanpa sempat mengganti baju kerjanya yang sudah kotor.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Mind's Eye
FanfictionPertemuan Wooseok dan Hyeyoon adalah di sebuah lobby rumah sakit. Nuansa yang dingin dan pelik, terpancar pada rona wajah sang perempuan. Ia tampak telah kehilangan sebagian dari hidupnya. Melalui sebuah pertemuan, Hyeyoon membawa Wooseok kembali ke...