Waktu itu, Wooseok masih ingat betul detil percakapannya dengan Hyeyoon. Setelah menyelesaikan perencanaan perjalanan akhir pekan mereka, Hyeyoon kembali tenggelam dengan sketsa yang sudah nyaris diselesaikannya.
Awalnya, Wooseok begitu saja terfokus menatapi si perempuan yang seakan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Sorot matanya tajam, sementara pergerakan jemari tangannya memberi jejak kehidupan pada tiap arsiran si sketsa.
Namun setelahnya, Wooseok terlihat mulai jengah. Sebenarnya bukan jengah. Ia hanya tidak mampu berada di dalam posisi yang sama begitu lama. Tangan kanannya mulai terasa kaku, oleh karena posisi tubuhnya yang cukup mencondong ke arah Hyeyoon.
Maka, Wooseok pun bangkit dari posisinya. Ia melihat ke kanan dan ke kiri sesaat, melihat keadaan. Kemudian ia mulai berjalan ke arah jajaran mesin pendingin minuman dan mengambil sekaleng soda dari sana.
Ia kembali duduk, meregangkan ototnya. Lalu kaki panjangnya kembali terentang jauh ke depan, sementara matanya memperhatikan langit sore yang semakin temaram. Hari akan semakin gelap.
"Apa yang akan kamu tulis di sana nanti?" tanya Wooseok. Ia menenggak sodanya, tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya kepada Hyeyoon.
"Tulis di mana?" begitu pula si perempuan, Hyeyoon tidak berkeras menoleh. Ia masih sepenuhnya fokus pada si sketsa.
"Di sketsamu." satu tenggak soda lagi diminumnya. "apa yang akan kamu tulis untuk sketsamu hari ini?"
Sudut kiri bibir Hyeyoon mulai tertarik. Ia menahan senyumannya. Tangannya masih bergerak lincah, meski perlahan ia mulai memperlambatnya, sebelum berakhir mendongak, meninggalkan seluruh konsentrasinya. Si perempuan—sama seperti Wooseok, turut menatapi si pemandangan kota di hadapan mereka.
Hyeyoon menyandarkan tubuhnya lebih dalam—meski seperti lebih seperti menenggelamkan tubuh kecilnya, lalu mulai menggumam kecil. Ia tengah berpikir.
"Apakah idenya datang begitu saja?" tanya Wooseok. Ia benar-benar penasaran.
Di sisinya, Hyeyoon mengangguk pelan. Ia memandang jauh, mencoba menghenyakkan dirinya pada pemandangan ini. Ada padanan kata khusus yang sedang dirangkainya, untuk menerjemahkan apa yang sedang ia rasakan ketika melihat pemandangan di hadapannya.
"Dia... adalah kata pertama yang akan muncul di dalam kepalaku." kata Hyeyoon kemudian. "kata pertama itu, tidak akan datang dua kali."
"Kamu tidak bisa bersikeras." Wooseok menambahkan. Komentarnya adalah sepenuhnya pengalaman pribadi. Saat ia bekerja akan naskah penyiarannya dulu, sudah normal jika ia tidak bisa memaksakan tiap kata untuk dapat tertuliskan.
Wooseok harus menenangkan diri. Membuat dirinya lebih santai. Lalu, perlahan tiap aliran kata itu akan datang dengan sendirinya. Ide itu datang dengan sangat natural. Dengan demikian, hasilnya akan sangat baik. Jauh lebih baik daripada memaksakan sesuatu yang seharusnya belum terlahir.
"Aku sependapat." Hyeyoon mengangguk sekali lagi. Ia masih pada posisi awalnya.
"Kalau begitu, aku akan diam." Senyuman tipis terlukis di bibir si laki-laki. Memberikan keheningan di antara mereka, adalah hal terbaik yang dapat diberikan Wooseok. Duduk berdampingan seperti ini, dengan memandangi satu hal yang sama dalam jangka waktu yang tidak pendek, seperti memiliki keajaiban tersendiri.
Waktu pun berlalu. Tenang. Hening. Langit yang tenang, mengarak awan tipis semakin menyingkir. Hingga si perempuan mulai mengucapkan kalimat pertamanya. Hyeyoon tidak menoleh. Ia hanya berucap.
"Siluet itu rahasia."
Wooseok menyipitkan matanya. Mencoba memahami si kalimat pertama. Arah pandangnya masih sama. Sekilas, kepalanya sedikit meneleng, seraya menunggu-nunggu kalimat berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Mind's Eye
FanfictionPertemuan Wooseok dan Hyeyoon adalah di sebuah lobby rumah sakit. Nuansa yang dingin dan pelik, terpancar pada rona wajah sang perempuan. Ia tampak telah kehilangan sebagian dari hidupnya. Melalui sebuah pertemuan, Hyeyoon membawa Wooseok kembali ke...