[6] Dunia Baru

328 36 4
                                    

Tidak tahu tepatnya bagaimana cerita ini berawal.

Dia melihat dirinya berjalan pulang, mendatangi sebuah tempat asing. Si laki-laki bersumpah ia tidak pernah mengenali lokasi ini sebelumnya.

Segalanya benar-benar baru. Seharusnya, benaknya mengatakan bahwa ia harus berhati-hati. Mungkin, apabila ia melangkah maju, lebih memasuki tempat asing ini, ia mungkin tidak dapat berbalik lagi.

Tapi, toh pada akhirnya kakinya masih menjejak, perlahan memasuki pintu kaca besar di hadapannya. Pintu kaca itu sudah sejak awal terbuka, memberikan celah cukup lebar untuk tubuhnya yang tidak kecil.

Satu langkah yang membawanya, lalu memberikan isyarat yang berbeda. Si laki-laki seakan-akan mengenali tempat ini. Entah bagaimana, ia tahu tempat tersebut. Seraya melihat ke sekeliling, perasaannya seperti bertubrukan.

Dirinya yang berada dalam penglihatan ini, seakan adalah dirinya yang mengenal betul di mana ia sedang berada. Namun, sedikit dari alam sadarnya mengatakan bahwa ia tidak pernah sama sekali datang berkunjung, pun demikian, kali ini ia harus berakting bahwa ia lah si pengunjung tetap.

Kemudian, seperti yang telah lalu, si laki-laki lantas menyadari sesungguhnya ini bukanlah kali pertama ia pernah melihat pemandangan yang sama. Setidaknya, benaknya yang mengatakan demikian.

Benaknya berkata, ini bukan pertama. Namun, setiap kali dirinya mengulanginya, ia akan mengira ini adalah kali pertama. Akan selalu seperti itu, tidak tahu hingga kapan.

Seperti lingkaran setan. Tidak akan pernah menemui ujungnya. Ia tidak akan pernah mendapatkan si jalan keluar jika ia tidak berusaha mencari tahu bagaimana awalnya ia berada di sini.

Dan, si laki-laki, pada saat itu, akan selalu menyerah. Masa bodoh dengan si jalan keluar. Nantinya pun, ia akan kembali ke titik awal dan lagi-lagi mengira apa yang sedang dilihatnya ini adalah kali pertama.

Namun, si laki-laki tidak pernah mengingat bagaimana kelanjutan kisahnya. Jika saja ia tahu bahwa skenario berikutnya akan begitu menyakitkan, maka sudah seharusnya ia berusaha lebih keras untuk mencari jalan keluar itu.

Yang ia lihat adalah dirinya yang kacau balau. Sepertinya, ia sedang merasakan dirinya yang sangat bersedih. Ia tidak dapat berpikir dengan jernih. Dadanya sakit, berdebar-debar begitu kencang. Dan, ia pun yakin bahwa kakinya mulai membawanya berlari meninggalkan area pertama.

Tidak tahu sejauh apa ia berlari. Masih dengan perasaan yang sama. Dirinya seperti melayang. Seharusnya, hanya dengan kedua kakinya ini, ia tidak mungkin bisa berlari seringan dan secepat ini, pikirnya.

Namun, tubuhnya memang seringan itu. Begitu ringan, hingga tiba di satu masa ketika sesuatu seperti tengah memukulnya dengan keras. Si lak-laki sesungguhnya tidak paham juga bagaimana menerjemahkannya.

Di satu detik ia masih merasa ringan, tetapi di detik berikutnya ia merasakan sakit yang teramat sangat.

Penglihatannya gelap. Ia tidak ingat pula kapan terakhir kali ia dapat melihat dengan jernih. Yang ia rasakan hanya sakit dan rasa ketidakmampuan untuk menguasai tubuhnya sendiri. Di mana rasa ringan itu kini?

Lalu, waktu seakan terpukul mundur. Laki-laki ini melihat dirinya kembali berlari, seperti melakukan reka adegan. Ia kembali merasakan tubuhnya ringan, yang mana hanya berselang sedetik setelahnya, sesuatu kembali memukulnya dengan kuat. Rasa sakit yang sama—yang sudah ia duga, lagi-lagi hadir.

Laki-laki ini yakin, si reka adegan ini setidaknya sudah terjadi 10 kali semenjak kejadian awalnya. Mungkin. Ia hanya menduga. Bisa jadi lebih banyak. Kepalanya semakin terasa sakit hanya untuk mengingatnya.

Begitu sakit, hingga ia sadar dirinya menangis. Ia tergeletak dan ia menangis. Napasnya tersengal-sengal sementara telinganya mendengungkan bunyi yang memekakkan. Kalau saja ia memiliki kekuatan untuk mengangkat tangannya, ia akan segera menutup erat telinganya agar dengungan itu tidak berlanjut.

In The Mind's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang