Bab 2.

11.7K 1K 34
                                    

Zehan menatap langit cerah diatas. Awan putih berjalan pelan diselingi beberapa burung yang lewat. Zehan menyaksikan semuanya. Keindahan alam ciptaan Tuhan, menandakan betapa luasnya langit membentang di atas sana.

Wajah cerahnya tersenyum tipis, mendengar keseluruhan cerita dari pria bernama Lorenzo yang berada di sampingnya. Duduk juga menyaksikan betapa indahnya langit biru. Sementara dia sedang tidur berbantal kedua lengan.

Lorenzo Aditama, merupakan raga yang sebelumnya dia tempati dan mungkin akan seterusnya. Lorenzo memiliki penyesalan, yakni..  Kesalahan besar pada kedua putranya. Belum sempat meminta maaf hingga akhir hayatnya. Sehingga dia menarik jiwanya yang harusnya pergi ke alam baka terseret kedalam raga Lorenzo.

Saat ini Zehan berada di alam bawah sadar, berada di atas bangunan tinggi menghadap ke langit. Lorenzo meminta dirinya untuk menuntaskan sebab ia tak tenang. Meminta maaf dan mengaku menyesal telah mengabaikan dan bersikap kasar pada kedua putranya.

"Kenapa abang tidak melakukannya sendiri?" ujar Zehan setelah sekian lama menyimak perkataan Loren. Tidak bermaksud untuk menuntut, tetapi murni bertanya.

Lorenzo, pria berambut hitam itu menjawab. "Mungkin Tuhan marah padaku. Sebelum aku sempat berubah, jiwaku telah diambil lebih dulu." ada sesak dalam pernyataan yang di ucapkan Lorenzo. Pria itu menggigit bibirnya, tak kuasa akan takdir yang baru saja dia terima.

Dia memiliki kekuasaan, kekuatan, sikap angkuh dan sombong. Tapi lihat sekarang, Lorenzo hanya bisa merenung karena ketidakberdayaan.

"Bang, yakinlah.. Akan ada jawaban tentang apa yang kamu jalani saat ini." Zehan mencoba menguatkan. Menatap pada wajah frustasi Lorenzo. Zehan tau, jika semua perilaku Lorenzo hanya untuk menutupi kesedihan.

Lorenzo membalas tatapan Zehan. "Zehan, maaf karena melibatkanmu dalam masalahku. Aku tidak tau, dengan cara apa aku harus meminta maaf padamu." Dia menyesal telah menarik jiwa murni seperti Zehan. Lorenzo sadar jika dirinya hanya seorang pengecut, dia bahkan tidak bisa meminta maaf sendiri pada buah hatinya.

Zehan tersenyum tenang. "Tak apa bang. Semua sudah terjadi." Walau pada awalnya Zehan terkejut jika dia sudah mati. Zehan sedih harus meninggalkan Sara. Apalagi pernikahan mereka sudah didepan mata. Namun mau bagaimana lagi, maut telah memisahkannya. Zehan tak bisa menentang atau berseru tidak terima. Akan Zehan jalani semua takdir Tuhan yang ditulis untuknya.

"Tapi, apakah aku bisa?" Zehan ragu, terlebih dia belum pernah menjadi sosok ayah. Keluarga nya pun tentram tak pernah beradu argumen ataupun cekcok. Zehan memiliki seorang adik, usianya  juga dewasa, dia dan adiknya jarang berselisih. Bisakah dia menjadi penengah nantinya.

Lorenzo mengangguk. "Aku yakin kamu bisa Zehan." Dia menepuk bahu yang lebih muda. Terkekeh kecil karena sikap pesimis Zehan.  Zehan sudah seperti adik baginya. Sejak dia bertemu Zehan pertama kali, pria di depannya ini bersikap tenang bahkan tak merasa keberatan.

Meski sebentar, Lorenzo sudah bisa menebak jika Zehan merupakan pria pekerja keras, sabar dan bertanggung jawab. Tidak seperti dirinya yang terus saja berlari dari kenyataan. Zehan juga terlihat tegas serta pesimis secara bersamaan. Zehan juga penurut dan pendengar yang baik.

Lorenzo merasa jika dia beruntung telah memilih Zehan. Lorenzo bisa tenang ketika dia memasrahkan semuanya pada Zehan. Walau tak menutup kemungkinan jika Lorenzo menyesal, Lorenzo kembali lari dari kenyataan dan tanggung jawab sebagai seorang ayah.

"Bagaimana jika aku melakukan kesalahan bang?" 

"Jika melakukan kesalahan harus minta maaf dong. Jangan seperti abang ya, seorang pengecut yang tak bisa sekedar mengucap kata maaf." Lorenzo mengusak rambut tebal Zehan.

"Aku bakal berusaha semaksimal mungkin," ujar Zehan yakin.

"Aku percaya padamu."

Zehan tertawa kecil, dia sebagai anak sulung berasa memiliki saudara tertua. "Siapa saja nama mereka bang?" Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan panjang. Zehan harus bertanya tentang siapa saja anggota keluarga, teman, pekerjaan, makanan kesukaan, atau alergi terhadap apa.

Lorenzo menghela nafas sebentar. Nama..  Dia menjadi sedikit nostalgia. "Pertama, Darel Adya Ezaz yang berarti anak laki-laki  tercinta dan pertama karunia dari Tuhan. Saat itu aku dan istriku sangat menantikan kelahiran bayi pertama kita. Betapa bahagianya kami dulu. Jadi kami menamainya seperti itu."

Zehan bisa melihat kerinduan yang terlihat di wajah lelah Lorenzo. Dia jadi penasaran, apakah ayahnya memiliki beban yang sama beratnya seperti Lorenzo. Menjadi orang tua seberat itu? "Nama yang indah."

"Kan? Istriku yang mencari namanya. Dia memikirkan nama mereka setelah tau jika dia mengandung." Lorenzo seperti kembali ke beberapa tahun silam, dimana Khalisa istrinya dinyatakan hamil  Darel 4 minggu. Istrinya langsung sibuk mencari nama. Padahal akhrinya, nama itu dia temukan setelah Darel lahir kedunia.

"Yang kedua namanya Ivander Jonathan, berarti laki-laki terbaik pemberian Tuhan. Khalisa sangat bersyukur dan bahagia karena kehadiran mereka berdua, tetapi aku sebagai ayahnya malah mengabaikan mereka hingga mereka hidup tanpa kasih sayang seorang ayah." Lorenzo mulai menunduk dalam, dia merindukan istrinya. Istri tercintanya yang telah berpulang lebih dulu.

Mengingat betapa tidak becus dia sebagai seorang ayah. Lorenzo terpukul, dia tak sanggup menghadapi kemarahan istrinya nanti.

"Wahhh.." Mata Zehan berbinar. Dia juga ingin merasakan, rasanya menamai anak nantinya. Walau terdengar sulit baginya yang sudah meninggalkan raga.. Hidup di raga Lorenzo pun tak mungkin bagi dirinya berdekatan dengan wanita lain.

Lorenzo seakan mengerti keinginan Zehan. Dia semakin merasa bersalah.

"Jangan sedih.. Aku bakal berusaha agar abang dimaafin sama mereka." Zehan mengelus punggung Lorenzo. Zehan memiliki tekad kuat, dia akan hidup kembali sebagai Lorenzo dan menuntaskan keinginan siempu.

"Makasih ya Han."

Jika dikata kehilangan, Zehan merasakannya, sangat. Dia kehilangan pekerjaan dirinya, kehilangan calon istrinya dan kehilangan karibnya, kedua orang tua serta semua yang ada pada kehidupan lamanya. Tapi apa boleh buat, kehidupan lamanya sudah berakhir, alur hidupnya berubah. Zehan tak boleh terus menatap ke belakang.

Perasaan tak menentu yang dia rasakan harus dia tekan lebih dalam. Bukan mencoba menghilangkan, tetapi Zehan bukan tipe yang tenggelam dalam kesedihan. Dia juga tipe yang pantang menyerah dan semangat.

"Kau tenang saja. Selama jadi aku.. Hidupmu akan terjamin."

***

"Maaf sudah membuatmu khawatir, aku tak apa Jio." Zehan tersenyum menyambut Jio. Dia sudah duduk di atas brangkar. Sementara tubuh Jio mendadak kaku mendengar penuturan atasannya.

"Anda yakin tuan?" Karena sungguh atasannya bersikap aneh seharian ini. Tuannya yang jarang bicara kini berbicara dengan nada  pelan. Biasanya sang tuan berbicara menusuk dan kejam.

Zehan mengangkat tiga hari sementara ibu jari dan telunjuk membentuk lingkaran. "Sangat yakin." Zehan jadi ingat Janu. Rupa Jio seperti seorang yang setres karena pekerjaan. Lorenzo pasti sangat bergantung pada asistennya tersebut.

"Baiklah." Jio pasrah.

"Aku akan pulang Jio." Karena sudah terbiasa menjadi bos, Zehan sedikit tak canggung bercengkrama dengan Jio. Jika Janu tipe barbar, mungkin Jio memiliki sifat sopan dan beraturan. Yah, beda lingkungan, beda sifat dan beda peraturan.

"Saya akan menyiapkan keperluan anda tuan."

Zehan tersenyum kecil. "Terima kasih."  Dia menatap kepergian Jio lamat hingga pria itu menutup pintu. Barulah Zehan bernafas lega. Dia membaringkan badan menyamping, memeluk dirinya sendiri.

Diraga baru ini, kehidupan rumitnya akan dimulai. Zehan harus siap dengan apa yang akan terjadi kedepannya. Semoga saja, seperti janjinya pada Lorenzo.. Zehan kuat menjalani segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah keluarga Lorenzo.

Zehan menaruh tangan di dada.. Menggerakkan bibir mengucapkan  doa supaya dia bisa kuat kedepannya.






To be continued...

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang