Bab 7.

7.6K 876 63
                                    


Acara pagi terlaksana, semua sudah siap untuk beranjak melakukan kegiatan masing-masing. Si kembar dan Jasmine juga sudah pergi secara tak sabaran. Karena hari minggu, mereka berniat untuk main seharian tanpa ada yang menganggu.

Ivan tidak mengikuti sarapan, bibi Hana pun mengantar sarapan ke kamar Ivan atas perintah Zehan. Sedangkan dirinya sedang menyesap teh hijaunya.  Teh hijau dikenal sebagai minuman menyehatkan. Ini karena kandungan polyphenol dan catechin yang bisa mengurangi risiko kanker, meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mematikan sel kanker.

Bibi Hana sangat hati-hati dalam menyajikan sesuatu untuk seluruh tuannya. Bahkan di meja hidangan menyehatkan turut ikut andil hadir agar disantap oleh mereka.

"Aunty."

Zehan melirik sejenak saat Darel memanggil Clara. Darel tampak mengeluarkan sesuatu dan memberikannya pada Clara. Sesuatu yang nampak seperti kertas berwarna putih bercap perak.

"Hadirlah pada acara Open House dan Parents Gathering di universitas ku minggu depan, " ujar Darel memberikan kertas yang ternyata undangan tersebut pada Clara.

Clara menerimanya, dia belum menjawab, melainkan membuka kertas tersebut dan membacanya. Setelah selesai, memandang Darel penuh tanda tanya. "Kenapa harus Aunty? Bukankah seharusnya ayahmu?" ujarnya kemudian melihat Zehan.

Zehan juga memandang Clara lalu beralih pada Darel seakan juga bertanya demikian.

"Ayolah aunty. Aku tidak punya orang tua. Setidaknya aunty sebagai satu-satunya waliku menghadiri acara tersebut, " Sahut Darel dan menarik kursi. Dia berjalan menjauh setelah mengatakan itu. Tak peduli bagaimana respon dari ayahnya karena dia telah mengatakan hal demikian.

Clara sedikit terkejut dengan pernyataan keponakannya. Dia melirik pada sang adik yang tengah memegang dada. Jika itu dia, Clara akan menghukum anaknya karena bersikap lancang. Mengatakan tidak punya orang tua padahal dia ada didepan mata mereka.

"Lorenzo, kau bisa menghadiri acaranya. Sepertinya aku si-"

Zehan menggeleng pelan, dia berdiri dan berucap. "Hadirlah kak. Darel membutuhkan mu bukan aku." Kemudian pergi. Entahlah," Zehan tak bisa menjabarkan seperti apa perasaannya sekarang. Mungkin mencari angin segar pagi hari bisa mengurangi perasaan kacaunya.

Clara menatap kepergian adiknya dengan tatapan bersalah. Dia tau ini bukanlah kemauannya. Namun Clara juga merasakan sakitnya. Tapi apa daya, adiknya memang salah sejak awal, dia tak bisa langsung memihak kepada Lorenzo yang telah menelantarkan kedua putranya.

"Huft, masalahnya semakin rumit. Kenapa kau berubah ketika semuanya terlambat Lorenzo." Clara memijat pelipisnya pusing. Tak tau dengan apa dia harus merespon masalah dalam keluarga adiknya.

Jujur saja, sebagai kakak.. Dia sedikit tak menerima. Namun jika sebagai tante dari kedua keponakannya, dia mendukung penuh. Oh astaga, dia yang diluar ranah saja bingung ingin memihak siapa. Memandang wajah sedih adiknya membuat Clara iba.

"Semoga saja si gila itu tidak tau, " gumamnya berdoa dalam hati. Di gila yang dimaksud oleh Clara adalah saudara sulung mereka. Satu-satunya yang tak akan menerima jika orang lain menyalahkan Lorenzo atau memperlakukannya tak baik.

Clara berkeringat dingin. Dia memilih duduk dan memakan sandwich miliknya. Mungkin menambah beberapa makanan kesukaan dirinya bisa membuat dirinya sedikit rileks.

***

Zehan menikmati suasana pagi di sekitar kompleks tepatnya kursi disisi jalan yang beratapkan pohon ketapang kencana yang sudah tinggi. Pas sekali tempatnya disisi jalan, karena pohon tersebut bisa menyerap polusi. Zehan bisa bernafas lega karenanya.

Dia menyandarkan kepala pada sandaran kursi. Melihat keatas tepat ke dedaunan. Dimana disana, Zehan bisa melihat makhluk lain yang berjuang mencari perlindungan. Entah itu burung yang membuat sarang, semut yang juga sedang memperluas singgasana, atau hewan melata yang kebanyakan orang benci sedang memakan daun dengan riang.

Lain dengan apa yang ia lihat, lain juga dengan apa yang Zehan pikirkan. Dirinya masih terngiang perkataan Darel.  Sedikit banyaknya dia sakit hati. Walaupun perkataan itu memang bukan untuk dirinya.

Zehan memegang dadanya, jantung yang tak bisa berhenti berdetak cepat. Nafas yang masih tercekat seolah memberitahu betapa kecewanya sang pemilik. "Bang, sabar."

"Terkadang apa yang kita harapkan tidak sesuai keinginan. Manusia butuh waktunya sendiri kala mereka merasa kecewa. Sabar ya bang. Ayo bantu aku juga, tegarkan aku."

Lorenzo berkata jika dirinya hanya butuh maaf dari kedua anaknya. Maka dari itu, setelahnya Zehan bebas melakukan apa saja. Zehan bukan orang suci, bukan pula orang baik seperti Sara. Dia hanya manusia yang memiliki sabar luas.

Tetapi bisa saja menyempit ketika batas itu sudah sampai ke titik terendahnya.

"Apa yang harus kulakukan sekarang..." Zehan meraup kasar wajahnya. Menjalani kehidupan Lorenzo cukup membuatnya sedikit frustasi. Namun, Zehan tidak boleh menyerah. Demi ketenangan Lorenzo. Demi juga keresahan yang selalu ada setelah dia menempati tubuh Loren.

Panjang umur, presensi Darel terjamah netra Zehan. Pemuda itu bersiap pergi. Ia pun segera menegap, menghampiri Darel untuk berusaha berbasa-basi sebab pernyataan anak itu benar-benar mengusik tenangnya.

"Darel..." Panggil Zehan, namun yang dipanggil hanya menatap sekilas, lalu melewatinya begitu saja. Sabar, sabar... gumam Zehan memejamkan mata. Mengepalkan tangan sebentar untuk menguatkan dan lekas berbalik, segera menyusul Darel lalu menyamai langkah putranya. "Darel mau kemana?"

Darel berhenti, cukup terganggu karena keberadaan Zehan yang menghalangi jalannya. Giginya bergemelatuk tak sabar. "Mau kemanapun aku, itu bukan urusan ayah!" ujarnya dengan nada geram.  Saraf oktafnya naik hanya dengan melihat ayahnya.

Padahal selama ini dia selalu tenang menatap dari kejauhan. Ketika dia didekati seperti ini, Darel merasa risih. Dia risih karena perubahan mendadak sang ayah, dia risih karena ayahnya mulai ingin mendekati dia maupun adiknya perlahan.

"Ayah bertanya karena ingin mengajakmu main catur. Bukan untuk mencampuri urusanmu. Jika kau tidak mau, tidak masalah." Zehan menepuk pundak Darel yang ditepis oleh sang empu. Dia hanya tersenyum tipis, menarik tangan.

"Juga, maafkan ayah. Karena tidak bisa memahamimu."

Darel tertawa sinis, tatapan mata tajamnya memandang pria dihadapannya. Lihat sekarang, orang didepannya meminta maaf dengan wajah bersalah? " Meminta maaf? Segampang itu?" tanyanya remeh.

"Tidak usah menjadi sok baik ayah. Karena di mataku, kau akan tetap menjadi pengecut menyedihkan."  Dia mendekatkan wajahnya tepat didepan wajah sang ayah.

"Lagipula kenapa meminta maaf? Mau tobat? Atau ayah ngerasa mau mati?"

Manik Zehan membola, dia membalas tatapan Darel, sedikit tertegun karena ucapan yang baru saja anak itu lontarkan. Apakah kebencian seorang anak bisa sedalam ini hingga menyebut kata kematian begitu mudahnya.

Bukankah Lorenzo mengatakan jika pria itu hanya mengacuhkan dan bersikap kasar tapi tak sampai bermain fisik. Lalu kenapa sikap Darel dan Ivan seolah memperlihatkan bahwa mereka begitu membenci sosok ayah mereka.

"Kalau begitu, baguslah.. Kalau bisa, cepatlah mati. Karena meski ayah ada disini, berdiri didepanku, sosok ayah masih tidak bisa aku terima keberadaannya!"






To be continued...

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang