Pagii telah dimulai, fajar kian menyingsing. Sinarnya menembus gorden menjuntai, mengintip malu seorang yang tengah bergelung dalam selimut. Sang empu mengernyit, bergerak untuk membuka selimut, kemudian duduk dan merenggangkan badan. Hangatnya selimut membuat Zehan enggan beranjak.
Diam sejenak mengumpulkan sukma sebelum melihat ke arah balkon, Zehan beranjak turun dari ranjang king sizenya. Beralaskan sandal jepit, Zehan membuka Gorden. Kini sinar sang surya tak lagi malu untuk mengungkapkan jati diri, Zehan juga membuka pintu balkon. Kamar Lorenzo terlalu gelap untuk dia yang suka terang.
Angin menerpa saat dia membukanya, dia berjalar keluar untuk memperlihatkan pada Bagaskara, bahwa dia telah sadar sepenuhnya dengan wajah bantal miliknya. "Pagi dunia.." Senyum terbit di bibir Zehan. Pagi ini dia terlambat bangun, karena kegiatan tadi malam.
Beberapa menit bergelung dengan alam, Zehan kembali masuk. Membiarkan balkon terbuka. Dia berjalan ke kulkas mini, lalu mengambil segelas air minum yang berada di samping kulkas tersebut. Menegaknya hingga tandas.
Zehan berlalu ke kamar mandi membersihkan diri. Selang beberapa menit kemudian keluar dengan wajah segar. Zehan segera memakai pakaian rapi. Hari kedua telah dimulai. Dirinya tak sabar untuk memulai kembali perjuangannya dalam menaklukkan kedua putra Lorenzo.
"Tuan Lorenzo, anda sudah bangun?"Suara Hana terdengar dari intercom yang terletak sebelah pintu. Zehan mendekat, tak menjawab ucapan Hana, dia keluar dari kamar. Kemudian berjalan kebawah.
Diperjalanan, dia bertemu dengan Darel. Zehan bersiap untuk mengapa. Awal yang bagus karena bertemu dengan sulung Lorenzo. "Pagi." Dia menyapa. Mengangkat sudut bibir tersenyum kearah Darel.
Namun, Zehan harus menelan kepahitan, saat Darel hanya melewati tanpa peduli. Pemuda itu berlalu mengabaikan sapaan Zehan. Mungkin Zehan benar, jika keberadaan Lorenzo seperti fatamorgana bagi Darel.
Yah, dia tidak bisa menyalahkan, jika mengingat sikap Lorenzo, sudah sewajarnya bagi anak bersikap demikian. Zehan semakin semangat untuk menata semuanya. Semoga saja, dia tak akan pernah memiliki pikiran untuk menyerah.
Dia pun ikut pergi kebawah. Sarapan harus terlaksana. Jika dia terlambat, maka yang lain juga akan terlambat.Tetapi pemikirannya salah, saat di meja makan tidak ada siapa pun. Bibi Hana berkata jika kedua putra Lorenzo telah pergi lebih dulu. Bibi Hana juga mengatakan jika memang hal ini sudah biasa dikarenakan Lorenzo jarang pulang kerumah atau jika pulang, Lorenzo memilih untuk berangkat lebih dulu.
Terpaksa Zehan harus melaksanakan sarapan sendirian dalam hening.
Tiba-tiba Zehan merindukan suasana meja makan bersama ayah dan ibunya. Dia akan mengobrol ringan tentang banyak hal hingga sarapan usai. Masakan sederhana ibunya sangat menggunggah selera, candaan garing ayahnya menghidupkan suasana pagi.
Berbeda dengan sekarang. Sepi rasanya, Zehan kembali bernostalgia.
"Anda ingin pancake sebagai hidangan penutup tuan?"
Zehan tampak berpikir, lalu menatap ke arah makanannya. Dia sudah cukup kenyang untuk makan lagi. "Tidak, buatkan aku kopi."
"Anda baru saja selesai sarapan. Kopi tidak disarankan, " jawab Hana. Dia juga merasa heran karena sang tuan meminta kopi di pagi hari. Biasanya, sang tuan akan meminum minuman ber kafein itu saat lewat dari jam 12 siang.
Zehan menghela nafas. Ada pula yang seperti itu. Orang kaya memang sangat menjaga kesehatan ya. "Baiklah, buatkan aja air putih hangat." Kali ini tak mungkin salah kan.
Seseorang datang tanpa diketahui Zehan. Seorang wanita berpakaian sweatwear, berambut hitam bergelombang berjalan mendekati Zehan. Penasaran membuncah ketika seseorang yang jarang dia lihat kini berada di meja makan sendirian. "Loren, tumben kau ada disini di pagi hari?"
Zehan yang sedang mengelap mulutnya menggunakan tissue mendongak ketika seseorang memanggil pemilik raga. "Ya? Entahlah, aku sedang ingin saja." Dia menarik kursi bersiap untuk pergi. Zehan tau wanita itu, kakak perempuan Lorenzo, Clara Joshepine.
"Hoo~~ aku akan menginap di sini Loren. Anak-anakku akan datang nanti malam," ujar Clara. Dia duduk dan memulai makan. Dia berucap tanpa peduli bahwa Zehan mendengar atau tidak. Yang pasti, dua sudah mengatakannya.
Sebenernya, bukan maksud Zehan tak menghargai Clara dan membiarkan kakak Lorenzo itu duduk sendiri. Hanya saja, Zehan merasa canggung berada di dekat wanita lain selain Sara. Jujur saja, dia agak kaku. Meski Clara saudara Lorenzo, namun dia tak bisa. Karena Clara bukan saudaranya.
"Nyonya Clara, kapan anda datang?" Hana menaruh segelas air hangat yang mungkin tak akan tersentuh. Dia menatap salah satu majikannya. Clara memang sesekali datang untuk melihat keadaan mansion.
"Baru aja bi."
"Anda ingin dibuatkan hidangan lain nyonya?"
Clara menggeleng. "Tidak perlu. Juga, tolong siapkan hidangan dua kali lipat saat makan malam. Ketiga anakku akan menginap disini beberapa hari."
"Baik nyonya."
_
"Janu dan Kana.. Mereka bekerja dimana ya?" Zehan memangku dagu menggunakan tangan yang bertumpu pada pintu mobil. Dia menatap luar jendela mobil dan menyaksikan manusia melakukan aktivitasnya masing-masing.
Setelah melakukan sarapan, Zehan lekas pergi menuju perusahaan Lorenzo. Dia harus belajar banyak tentang bisnis. Selain misi untuk berbaikan dengan Darel dan Ivan, Zehan harus segera tau cara kerja perusahaan.
Karena meski sama-sama berurusan dengan bisnis dan sama-sama seorang bos.. Pangkatnya seperti langit dan bumi. Zehan perlu banyak belajar.
"Ini akan lebih sulit."
***
Sebenarnya, banyak pertanyaan didalam benak Darel.. Tentang mengapa ayahnya yang tiba-tiba berubah. Bukan perubahan besar, tetapi mampu membuat dirinya sedikit kepikiran. Sejauh ini, dia selalu bertindak acuh atas yang dilakukan sang ayah, selama fasilitasnya terpenuhi dan ayahnya tak bermain fisik.
"Huftt.. Presentasi ku kali ini tidak berjalan lancar." Seruan frustasi terdengar dari sebelahnya. Darel menoleh kesamping, Revan temannya menelungsupkan tubuh ke meja kantin. Revan sedikit kacau.
"Karena kau tidak menyiapkannya dengan benar, " ujar Darel. Dia menyiapkan satu makanan bulat favoritnya ke mulut. Menanggapi ucapan Revan alih-alih menyemangati temannya.
Revan sontak menegakkan badan. "Hey, menurutku itu sudah sempurna!" Dia mengerang tak terima. Tidak tau kan teman laknatnya kalau dia sampai begadang untuk presentasi hari ini.
Darel memutar mata malas. "Otak dungu.. Itu sebabnya kau selalu gagal. Meremehkan hal sepele. Kau tidak tau bukan, bahwa hal sepele mungkin akan menjadi pengubah masa depanmu."
Revan mendengus, tiba-tiba saja Darel memberinya petuah. "Wah.. Mulut pedasmu tidak singkron dengan wajah datar milikmu." Darel mengangkat bahu acuh."Huftt.. Semoga aku tidak gila karena kau. Karena skripsi sudah cukup membantu setres."
"Kau memang sudah gila sejak lama."
"Apa!!" Seru Revan.
Revan sibuk menggerutu, Darel mengabaikannya. Dia juga memikirkan tentang ucapannya. Sebab itulah, Darel masih memikirkan tentang perubahan ayahnya yang menjadi pertanyaan besar baginya. Mungkin untuk saat ini, Darel memilih untuk memperhatikan terlebih dahulu sebelum bertindak dikemudian hari.
To be continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Father - END
Teen Fiction[ Beberapa part telah di hapus ] Zehan Rabbani merupakan pria lajang yang akan melangsungkan pernikahan lima bulan kedepan. Dia juga merupakan pemilik kedai Mie ayam populer di daerahnya. Lalu, bagaimana ketika kehidupan damainya berubah 100% saat...