Bab 20.

7.2K 928 90
                                    

Mavren menyeret Ivan kasar, tak peduli jikalau Ivan tak bisa mengimbangi langkahnya ataupun terluka karena tersandung sesuatu. Kemarahan melahap Mavren ketika mengetahui fakta adiknya terluka.

Adik bungsunya kembali membuka luka baru hanya untuk anak seperti Ivan. Mavren marah karena tak langsung menemukan adiknya, dia kesal karena harus tau dari orang luar. Menahan emosi untuk tidak menghajar Ivan habis-habisan karena status ikatan yang membuatnya tak bisa.

"Paman! Pelan-pelan!" seru Ivan yang tentu tak diidahkan oleh Mavren. Justru pria itu membanting tubuh Ivan ke mobil dan pergi dari kantor polisi.

Ivan dibebaskan ketika petugas keamanan kota tersebut mengetahui siapa orang tua Ivan. Juga Mavren yang sedikit menyuap mereka untuk tidak memberitahu atau menyebarkan luaskan berita memalukan salah satu keluarga Aditama.

Ivan meringis pelan, dia mengelus lengannya. Dalam benak berpikir bahwa lengannya pasti memar dan merah. Sang paman tak mengendurkan kekuatan cengkeraman seakan dirinya merupakan musuh terbesar yang dimiliki Mavren.

Di dalam mobil, tak ada yang bisa Mavren katakan. Ia terlampau marah hingga tidakmampu berkata-kata. Hanya ada kilatan tajam menguar dari matanya. Membuat Ivan yang duduk di samping kursi kemudi merasa makin tak nyaman dan ingin langsung loncat keluar dari pintu. Tapi tak bisa begitu, Ivan masih sayang nyawa.

"Ck, berhenti melirikku dengan sinis seperti itu, paman!" Protes Ivan pada Mavren sebab beberapa kali meliriknya tajam seolah sedang mengutuknya dalam hati. Seakan dirinya merupakan manusia yang memiliki salah besar dalam hidup Mavren.

"Lagi pula, siapa juga yang nyuruh dia sok-sokan melindungiku? Tidak ada kan?! Jadi stop menyalahkanku. Paman tidak bisa menyudutkanku secara sepihak!" Ivan lanjut berbicara dengan diakhiri gerutuan tak jelas. Dia sebal sekali. Gara-gara orang itu ia lagi-lagi terkena amukan Mavren.

Tentu Ivan tau penyebab pamannya bersikap seperti ini. Siapa lagi kalau bukan ayahnya. Yah, dia memang berterimakasih atas pertolongan sang ayah, tetapi Ivan sama sekali tidak menginginkannya. Lebih baik dia terluka dari pada harus di bantu oleh orang munafik seperti ayahnya.

Biar Ivan tebak, ayahnya sengaja membantu dirinya, membiarkan diri sendiri terluka oleh musuh hingga dia bisa di salahkan kapan saja. Sungguh orang licik, Ivan tidak tau.. Apakah pamannya buta, katena hal jelas seperti itu pun Mavren tidak mengerti.

Tetapi mau bagaimanapun.. Benar atau salah, dia akan tetap di pihak yang salah. Karena orang seperti ayahnya itu sangat pandai bersilat lidah.

"Di mana rasa terimakasih yang harusnya kau ucapkan, Ivander?!" Mavren membalas dengan nada bicara  dalam. Tanpa menoleh ke arah Ivan. Giginya bergemelatuk. Mencengkram stir kuat menyalurkan emosi. Ivan seperti gunting yang siap memotong tali kesabaran tipisnya.

Ivan berdecih sinis, bersedekap dada melupakan ketakutannya. Memalingkan muka menatap jalanan gelap di luar melalui jendela kaca mobil. "Terimakasih? Hmph! Bahkan meski dia lumpuh pun tidak cukup untuk membayar atas segala rasa sakit karena bersikap acuh pada anak-anaknya."

Setelah mengucap kata barusan, Ivan seakan mendapatkan pemikiran lain. "Oh!! Ataukah dia mendapatkan karma?" Tertawa mengejek kemudian. Ivan mengangguk mengerti, mengangkat bahu acuh dan melanjutkan perkataannya.

"Tidak perlu disesali paman. Ayah sudah mendapati karmanya. Jika dia tengah sekarat.. Mungkin ayah akan membutuhkan maaf untuk bisa mati dengan tenang." Ivan mengatakan hal itu dengan tenang dan santai.

"Paman tau kan? Konon.. Kalau orang sekarat, dia itu harus bersujud untuk meminta maaf pada seseorang yang dia sakiti." Entah dari mana datangnya pemikiran konyol Ivan. Dari pada pemikiran, tetapi keberanian.

Dengan berani Ivan melantangkan perkataan itu seringan kapas. Tanpa beban dan memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Ucapan itu seolah keluar tanpa disaring, Ivan melantur karena takut akan dominasi Mavren.

Hingga tanpa sadar mengatakan hal demikian berharap sang paman mengerti, mengapa dia tidak harus berucap terimakasih pada ayahnya, tanpa tau resiko di balik ucapannya sendiri.

Otot diwajah Mavren tercetak jelas. Dia harus menahan diri karena  berada di jalan. Mavren memilih untuk berkata lain. "Lorenzo.. Saat ini dia kritis. Hantaman yang dia terima menyebabkan cedera otak traumatik, menyebabkan kerusakan saraf kranialnya. Kelumpuhan otot, hilangnya indra perasa atau bahkan penciuman."

"Sakit kepala atau tekanan di kepala, Mual,muntah. Masalah keseimbangan bahkan pusing, penglihatan ganda dan kabur. Terganggu oleh cahaya atau kebisingan lalu dia bisa saja kehilangan ingatannya." Mavren menjelaskan tentang kondisi dan resiko yang akan di dapat oleh Zehan setelah dia sadar nanti.

"Kau berpikir seharusnya tak separah itu kan?" Mavren terkekeh kecil ketika tanpa sengaja melihat raut wajah Ivan.

"Lorenzo terkena hantaman tongkat besi. Dan itu tidak bisa di anggap enteng. Hantaman yang dia dapat di bahu pun membuat tulangnya retak. Dia harus menggunakan gips selama dua bulan.

- Disini kau berucap begitu enteng, bahkan tentang kematian. Tapi kau benar... Adikku benar-benar bodoh hingga mengorbankan dirinya sendiri demi anak yang tidak ingin diselamatkan."  Mavren sangat marah. Karena dialah yang bertanggung jawab penuh atas kesehatan sang adik. Namun kini.. Adiknya terluka parah tanpa bisa ia selamatkan.

Mobil yang mereka tumpangi memasuki mansion keluarga Aditama. Bukan mansion Lorenzo, tetapi mansion utama. "Seharusnya kaulah yang terluka Ivander. Bukan adikku. Tapi kau tenang.. Kau akan mendapatkan 'Luka' sebagai ganti luka yang dialami Lorenzo."

"Walaupun tidak separah Lorenzo. Tapi untuk anak cengeng sepertimu akan merengek meski hukuman yang kau terima merupakan hukuman kecil."

Ivan tidak mengerti maksud ucapan dari Mavren. Karena belum sempat mencerna, pintu mobil sudah dibuka oleh seseorang. Ivan di paksa keluar mobil dan di hadapkan langsung dengan seluruh anggota keluarga Aditama.

Ivan tidak tau seluruh orang dihadapannya. Mengapa sang paman bisa bersama orang-orang itu. Apakah keluarga Aditama? Tetapi Ivan tidak tau. Dia hanya tau keluarga dari pihak ibu.

Mavren keluar dari mobil. Berkumpul disebelah beberapa orang itu, bersedekap dada memandang Ivan remeh.

Pria tua maju beberapa langkah. Memasukkan tangan kedalam saku celana, memandang Ivan dari atas hingga bawah. Perawakan yang begitu mirip dengan Lorenzo itu tertawa dalam. "Selamat datang di keluarga Aditama- ah Tidak.. Selamat datang di keluarga Kennedy, Ivander Jonathan."

"Kami adalah keluarga 'ayahmu'. Meskipun Lorenzo sangat pandai menutupi dirinya sebagai bagian dari Kennedy. Tetapi mungkin tidak apa. Kau adalah 'putra' Lorenzo. Sudah sepantasnya kau harus tau kan?" Dia.. Zeref tertawa keras.

Ivan merasakan bulu kuduknya merinding. Beberapa pasang mata menatap tajam dirinya. Ivan merasa, bahwa dirinya dalam bahaya. Tawa yang dibawa oleh Zeref sangat berbeda dengan tatapan matanya.

Ivan tidak tau, hukuman apa yang akan dia terima. Ivan takut, insting Ivan menyuruh dirinya agar lekas pergi menjauh dari orang-orang itu. Tiba-tiba saja, Ivan melihat sekelebat bayangan sang ayah. Air mata meluruh tanpa di suruh.



'Ayah, tolong aku.'









To be continued...

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang