Bab 14.

7.2K 848 47
                                    


Ketika seseorang marah, biasanya mereka memiliki beberapa pilihan. Menghancurkan banyak barang untuk orang yang gampang emosi, berkata kasar dan pedas dilakukan oleh orang tidak paham situasi, ataupun memilih diam dan menyibukkan diri pada hal yang disukai.

Ekpresi Ivander Jonathan begitu terbuka dan intens hingga  membuat semua orang tau bahwa anak dari Lorenzo marah. Dia tipe yang gampang mengekpresikan kemarahannya melewati mimik wajah dan tingkah lakunya.

Seperti saat ini, dia yang datang ke perusahaan Lorenzo, berteriak marah dan meminta agar dipertemukan dengan ayahnya. Dia tak terima ketika semua fasilitasnya telah dicabut. Wajah manisnya berubah drastis, kerutan diwajah disertai urat menonjol sangat kontras dengan amarah yang dia rasakan saat ini.

Awalnya Jio menghalau Ivan karena tuannya sedang berada di ruang meeting penting, aja tetapi Ivan kekeh ingin cepat bertemu dengan sang ayah untuk menanyakan rentang hukuman sepihak ayahnya.

Di depan pintu ruang meeting Zehan, ia tidak ragu untuk membukanya dengan keras, menarik perhatian semua orang di dalam.  Melangkah lebar dan langsung menghampiri meja besar tempat Zehan duduk sibuk dengan dokumen-dokumennya. Wajah Ivan merah padam, matanya penuh kemarahan.

Ketika dirinya kesusahan, ayahnya malah enak-enak duduk tanpa memikirkan dirinya yang kesulitan.

“Apa yang kau lakukan, Ayah? Mencabut semua fasilitasku? Kau benar-benar gila! Apa sekarang kau jatuh miskin!” marahnya dengan suara keras, membuat beberapa staf di luar menoleh penasaran. Apalagi di sepanjang meja disisi kursi, setiap orang yang duduk menyaksikannya.

'Jadi dia anak pak Lorenzo.' Batin mereka semua.

Zehan mengangkat kepalanya, tampak terkejut namun tetap tenang. “Tidak bisakah kau berbicara dengan sopan kepada ayahmu? Apa yang sedang kau lakukan?!” tanyanya dengan nada tenang. Melirik ke semua orang dimana mereka sedang menatap Ivan.

Diia menahan setengah mati rasa malu terhadap para klien. Bukan karena sikap urakan Ivan, melainkan tingkah tak sopan putra Lorenzo itu kepada ayahnya. Yang berarti memperlihatkan betapa liarnya seorang putra pengusaha sukses.

Tidakkah Ivan mengerti situasi, bahwa kejadian ini bisa membuat rumor buruk rentang anak itu. Pasalnya Lorenzo terkenal dengan orang yang sopan dan sangat ramah terhadap klien atau orang lain.

Ivan meninju meja Zehan, membuat dokumen-dokumen di atasnya sedikit bergeser. Bahkan ada yang terjatuh kebawah. “Apa yang aku lakukan di sini? Kau bertanya apa yang aku lakukan di sini? Kau mencabut semua yang kumiliki! Mobilku, kartu kreditku, bahkan akses ke apartemenku!” teriaknya dengan marah.

Semua orang didalam sana melihatnya dengan tatapan kaget tak percaya sekaligus heran dengan pemuda yang tiba-tiba datang dan memporak-porandakan dokumen yang akan menguntungkan bagi mereka semua.

Walaupun di depan mereka merupakan putra dari rekan bisnis, namun sikap kurang ajar Ivan membuat beberapa dari mereka tak senang.

Zehan tetap duduk dengan tenang, tatapannya serius. “Ivan." Memandang Ivan memberi anak itu perhatian agar tak lagi bersikap seperti orang gila. Dia tak malu memiliki Ivan disisinya, tetapi tingkah laku anak itulah yang membuatnya terlihat memalukan.

"Apa?!" Ivan menghempaskan tubuhnya ke kursi di depan meja Zehan, tatapannya membalas tatapan penuh kebencian. Bersilang kaki dan menatap keseluruh orang yang berada disana. Menaikkan sebelah alis karena baru sadar jika diruangan ini banyak orang.

"Tenanglah, kau membuat kantor ayah gaduh!" ujar Zehan sembari membereskan seluruh dokumen yang sudah acak tersebut. Menyusunnya kembali agar memudahkan dirinya menjelaskan satu persatu timeline pekerjaan yang akan dia lakukan dimasa depan.

“Kau pikir aku bisa tenang setelah semua yang kamu lakukan? Kau ingin aku hidup seperti pengemis?” Ivan kembali menggebrak meja. Membuat sebagian orang disana kembali mengalami senam jantung.

Zehan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Ivan dengan penuh kesabaran. Seorang seperti Ivan ini sangat suka sekali menguji kesabarannya. Oh ya ampun, tiba-tiba sekali Zehan rindu pada adiknya tenangnya.

“Ini bukan soal menghukum, Ivan. Ini soal tanggung jawab. Kau harus belajar bertanggung jawab dan tidak bergantung pada kemewahan yang  ayah berikan,” jelasnya. Benarkan, jika dibiarkan.. Ivan akan semena-mena.

Ivan membentak, menatap nya langsung Zehan. “Cih! Tanggung jawab? Kau saja tidak tahu apa-apa tentang hidupku! Kau hanya peduli pada bisnis dan citra dirimu sendiri!” sok sekali pria yang memiliki tittle ayah itu berbicara. Seakan dirinya sangat peduli pada kehidupannya.

Pandai sekali bersilat lidah di depan semua orang. Mencari muka agar terlihat seperti ayah baik. Benar-benar membuat Ivan muak.

Zehan menghela nafas sabar. Walaupun tangan yang bersembunyi dibawah meja mengepal erat. “Aku peduli padamu, Ivan. Justru karena itu aku melakukan ini.” kata Zehan.

Ivan menggertakkan gigi, suaranya mulai melemah. “Kau pikir ini akan membuatku lebih kuat? Ini hanya membuatku membencimu lebih,” katanya dengan suara bergetar. Dia menunduk, menutup mata merasakan amarah yang membuncah.

Ayahnya sangat pandai membuatnya semakin dibenci.

"Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, Ivan. Lagi pula hukuman kau hanya seminggu. Gunakan masa hukuman itu sebagai pelajaran yang baik untukmu m,” katanya dengan lembut. Ayo Ivan, mengertilah dan segera pergi dari ruang meeting.

Ivan bangkit dari kursi, matanya penuh kemarahan dan kesedihan. “Yang terbaik? Kau benar-benar tidak mengerti, Ayah. Kau tidak pernah mengerti,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah berat.

Zehan tetap duduk di balik meja, menatap punggung putranya dengan raut wajah yang campur aduk. Entah harus bagaimana lagi ia menghadapi mereka yang selalu menentangnya.

***

Zehan kembali dengan keadaan kacau. Meeting tidak berjalan dengan lancar usai Ivan membuat kegaduhan karena beberapa orang merasa tak nyaman. Meeting akan dilanjutkan minggu depan setelah diskusi panjang.

Berjalan gontai kearah sofa, dan melepaskan dasi serta jas yang dia sampirkan di punggung Sofa. Menyugar rambut kebelakang dan membuka kancing kemeja bagian atas. Melepaskan kaos kaki dan sepatu yang dia biarkan ditempatnya.

Zehan sangat lelah, menaikkan kaki dan merebahkan diri, Dia butuh refleksi badan. Setelah seharian bekerja keras, Zehan butuh ketenangan. Belum lagi drama yang harus dia simak nantinya. Zehan tak berpikir jika Ivan akan menyerah begitu saja.

"Tuan, tidak baik jika langsung tertidur. Anda harus membersihkan diri  dan mengganti pakaian terlebih dahulu." Suara bibi Hana terdengar sebelum Zehan benar-benar menutup mata. Melenguh sebentar kemudian bangkit dan duduk. Zehan pun beranjak pergi ke kamarnya.

Bibi Hana pun segera membereskan barang berserakan milik Zehan telah sang tuan telah pergi. Dia cukup mengerti jika perasaan tuannya sedang kacau.





To be continued.

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang