Bab 16.

7.2K 855 56
                                    


"Bibi, pelan." Zehan mengeluh pada bibi Hana yang mengoleskan salep pada dada dan perutnya. Sedikit memelas karena bibi Hana tetap tidak menuruti ucapannya agar memelankan gerakan. Karena demi apapun, kulitnya terasa perih.

"Saya sudah memelankannya tuan." Zehan meringis pelan. Suara bibi Hana tidak seperti biasanya. Kenapa kepala pelayan nya itu seperti sangat marah. Lihat itu, jika mungkin  dirinya berasa di dunia Fantasy, apakah khodam bibi Hana akan terlihat.

Bibi Hana terlihat menyeramkan. Jika dipikir lagi, sejak awal bibi Hana merupakan orang cekatan. Sangat, hingga dia berada di seluruh tempat seakan dirinya memiliki banyak bunshin di setiap ruangan.

Zehan mengerut tak terima. Hey, bahkan tangan bibi Hana mengusap kasar perutnya. "Tidak ada kata pelan disetiap gerakan bibi Hana." Dia tidak melakukan kesalahan, btw. Kenapa kedua orang ini sangat marah.

Kedua orang? Ya.. Satunya sekarang berdiri sembari memelototkan mata. Bahkan bisa juga bola mata Mavren keluar saat ini juga. Orang yang tadi ingin menghancurkan seisi ruang keluarga hanya karena dia terkena luka kecil.

"Jangan hiraukan omong kosongnya Hana. Kalau perlu mandikan dia dengan salep!" ujaran dingin Mavren begitu menusuk. Rasanya Zehan ingin membanting Mavren saking kesalnya dia pada saudara tertua Lorenzo itu.

Apalagi dia harus berargumen dengan kekeraskepalaan Mavren yang kekeh ingin menyeretnya kerumah sakit. Padahal lukanya tidak seberapa namun Mavren sampai harus meninju tembok karena emosi marah sebab sang adik tak ingin di bawah kerumah sakit.

Mavren memang keras kepala, apalagi dia itu anak pertama. Dan Zehan juga memilikinya sebagai anak sulung. Tentu Zehan tak akan mengalah dan menurut begitu saja. Apa yang akan dikatakan semua jika orang dewasa seperti dirinya masuk kerumah sakit hanya karena air panas.

Sebagai Zehan pun dia sudah terbiasa. Tidak lupa kan, Jika dirinya penjual Mie ayam? Tentu percikan kuah panas sudah biasa dia dapat.

"Cih, menjadikan diri sendiri tameng hanya untuk Ivan!" berang Mavren bergerak tak menentu. Adiknya sangat pandai menyulut emosi. Kenapa tidak membiarkan putranya terluka dari pada diri sendiri.

Zehan tak menjawab, mungkin sebagai ayah.. Tubuh Lorenzo bergerak sendiri melindungi putranya. Mau seburuk apapun hubungan keduanya, keduanya tetaplah ayah dan anak. Seseorang yang memiliki aliran darah yang sama.

Zehan tak mau menjadi hero kesiangan bagi Ivan. Namun mau bagaimana lagi. Dia tak memiliki kehendak atas tubuhnya saat itu. "Ivan adalah putraku. Sudah sepatutnya aku melindunginya bang."

"Melindungi boleh saja. Tapi tidak menempatkan dirimu dalam bahaya Lorenzo. Abang sangat menjagamu, tentu aku tidak terima kau terluka begitu saja!" Atmosfer berubah begitu saja. Mavren tidak tahan melihat bekas kemerahan ditubuh sang adik.

Berdecak sebelum keluar, Mavren memerintah bibi Hana untuk merawat Zehan dengan benar. Dia memiliki urusan yang sejak tadi dia tahan karena lebih memprioritaskan adiknya. Melangkah keluar untuk mencari keberadaan keponakan tercinta.

Sedangkan disisi Ivan, pemuda itu tengah bermain game di ponsel pintanya dan berada di sofa lantai dua. Terdengar umpatan kasar serta tawa di sela-sela kata kotornya. "Mampus!" Serunya lalu menaruh ponsel saat permainan sudah berakhir.

Senang sekali karena bisa bermain bersama teman yang pro. Membuat dirinya gampang sekali menang dalam game Multiplayer Online Battle Arena atau yang bisa kita sebut MOBA.

Tapi kebahagiaan Ivan tidak bertahan lama. Tiba-tiba suara langkah kaki yang berat mendekat. Ivan mendongak dan mendapati Mavren berdiri berjalan mendekat dengan tatapan mata tajam seperti elang yang siap menerkam mangsa.

"Ivan!" suara Mavren bergema di ruangan. Para pengurus Mansion segera berlalu untuk meninggalkan ruangan besar itu hanya dihuni oleh dua orang. "Apa yang kamu pikirkan, hah?! Ayahmu terluka karena mencoba melindungimu dan kamu malah bermain game di sini?"

Ivan menelan ludah, mencoba menahan diri agar tidak menunjukkan rasa takut. "Aku... Aku tidak meminta Ayah untuk melindungiku," katanya dengan suara yang lebih rendah. Memang benar kan, Ivan sama sekali tidak meminta ayahnya untuk menjadi pahlawan kesiangan.

Mavren mendengus, lalu berjalan mendekat dan meraih bahu Ivan dengan kuat. "Kau!!" geram Mavren, dia mencongdongkan tubuh pas di dekat wajah  Ivan, karena tinggi pemuda itu, Mavren harus sedikit membungkuk.  "Bajingan kecil tak tau diuntung!"

Ivan tak terima di kata bajingan. Dia membalas tatapan Mavren. "Terus aku harus apa? Bersujud di kakinya karena sudah menolongku? Atau harus menjilat sepatu mahal miliknya! Menangis tersedu karena lukanya yang tak seberapa. Jangan berlebihan paman," ujar Ivan menantang.

Emosi Mavren semakin tersulut. Menarik kerah Ivan hingga tubuh anak itu pun terangkat begitu enteng, kemudian melempar  Ivan ke sofa dengan keras tanpa peduli jika pemuda yang dia lempar merupakan keponakannya.

"Kau harus diberi pelajaran!"

Ivan beringset mundur, dia sangat takut pada Mavren. Pamannya memang gila. Padahal dia tak pernah sekalipun ingin di tolong oleh ayahnya. Ayahnya pandai mencari muka. Menempatkan dirinya diposisi seolah dirinya tidak tau berterima kasih.

"HEY!" teriak Zehan berlari kencang dan menarik tubuh Mavren menjauh dari Ivan. Pantas saja firasatnya tak enak tentang kepergian Mavren dengan amarah yang meluap. Membiarkan pria itu merupakan hal salah.

"Apa yang abang lakukan?!" bentaknya pada Mavren. Lalu beralih ke  Ivan untuk menolong anak itu bangun. Untung saja dia datang dengan tepat, jika tidak.. Entah apa yang akan dilakukan sigila Mavren.

Tak!

"Berhenti bermain-main ayah!" Ivan menepis tangan Zehan. Mendorong tubuh sang ayah agar menjauh dari dirinya. Dia sungguh muak, apakah ayahnya tak tau hal tersebut?

"Hah?" Tentu Zehan tak mengerti. 'Bermain-main' apa yang dimaksud oleh Ivan. Anak itu pun terlihat sangat marah. Kenapa setiap kali dirinya membantu anak di depannya ini seperti momen salah. Ivan sering kali marah, padahal dia murni ingin menolong Ivan.

"Menjauh dariku. Aku tidak sudi menerima kepedulian palsumu! Kau semakin membuatku terluka ayah!" Ivan beranjak sendiri. Mengabaikan punggung yang lagi-lagi terluka karena hantaman. Pergi dari sana meninggalkan Zehan yang sedang bingung.

Harus dengan apa Ivan menjabarkan rasa bencinya kepada sang ayah. Setiap kali dia berdekatan dengan ayahnya. Dia tak pernah mengalami hal baik.

Mavren terkekeh sinis. "Lihat, putramu itu masihlah tidak tau diri. Seharusnya kau membiarkan aku menghajarnya hingga dia sadar posisinya disini, " dengusnya kemudian ikut pergi. Mavren membutuhkan pelampiasan amarah.

Zehan mengepalkan tangan. Tatapannya mendadak menajam. Menjadi Lorenzo membuat dirinya gampang tersulut emosi. Dia yang belajar menahan sabar sudah hilang, Zehan yang baik hati telah tertelan secara perlahan.

"Astaga. Bagaimana caraku meminta maaf jika setiap hari, kebencian mereka semakin meningkat walaupun aku berbuat baik." Meraup wajah kasar, Zehan benci posisinya. Jika seperti ini, dia akan acuh dan melanggar janji dengan Lorenzo.

Menghela nafas berat, Zehan harus bisa bersabar sedikit lagi. Dia harus menanamkan janji yang telah dia buat dengan Lorenzo. Karena hanya itulah alasan keberadaan dirinya disini.








To be continued...


Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang