Bibi Hana melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar Zehan. Setelah beberapa kali dirinya mendatangi tuannya dan berkata jika makan malam akan dilakukan, Tidak ada jawaban dari dalam, tentu bibi Hana khawatir.
Minggu terakhir tuannya telah berubah. Kebiasaan Lorenzo yang tak pernah absen di meja makan mengharuskan bibi Hana selalu menyiapkan berbagai makanan disana. Juga aneh ketika dari pagi hingga ke malam, sang tuan tak melakukannya. Tuannya telah berubah, maka dari itu, ketika bertindak lain.. Ini menjadi beban pikiran bagi wanita tua itu.
Kamar begitu redup, karena lampu tidur pun tidak diaktifkan. Suasana kamar suram, pemilik kamar bungkam. Gundukan ditengah king sizenya menandakan jika si empu berada disana. Begitu erat memeluk keheningan hingga Bibi Hana tak mampu untuk berucap. Yang bisa dia lakukan masuk lebih dalam, berjalan ke balkon dan membuka gorden menjuntai.
Membawa kakinya melangkah mendekati ranjang. "Tuan Lorenzo.. Anda tidak ingin makan malam?" ujarnya.
Zehan bergeming, dia bergerak membuka selimut, menatap bibi Hana yang memandang dirinya khawatir. Sebenarnya dia tau bahwa bibi Hana datang sejak tadi. Hanya saja, Zehan tak ingin bergerak seiincipun dari ranjang.
Dia duduk dan bersandar pada headboard, tersenyum menatap bibi Hana dan berucap. "Aku ingin makan di kamar hari ini." Dia tak enak karena pastinya bibi Hana telah menyiapkan semuanya, tetapi dia malah uring-uringan dikasur.
"Ada yang salah Tuan?"
Senyum Zehan memudar, dia menunduk dalam. "Bi, apa aku keterlaluan dimasa lalu?" Zehan sudah tau bahkan sangat paham. Tapi tidak salah kan, dia bertanya. Ingin memastikan dari orang sekitar. Bagaimana sikap Lorenzo dahulu.
"Tuan.. Tidak perlu memikirkan masa lalu. Anda harus memikirkan apa yang harus anda lakukan kedepannya." Bibi Hana menjawab sembari tersenyum simpul. Dia duduk ketika sang tuan mempersilahkan dirinya.
"Tentang hubungan anda beserta tuan muda, saya akan membantu anda sedikit demi sedikit." Tentu dia mengerti keresahan majikannya. Tidak lain dan tidak bukan berhubungan dengan kedua putranya.
Zehan meremat selimut. "Mereka sangat membenciku. Aku tau jika aku berhak mendapatkan perlakuan seperti ini. Tetapi, disini.. Rasanya sakit saat mereka bahkan menginginkan kematianku lebih dari musuhku." Air mata yang sejak kemarin Zehan tahan mengalir begitu saja. Menyentuh dadanya menunjukkan pada bibi Hana, sakitnya dia.
Zehan tidak memiliki pundak untuk bersandar saat ini. Benteng yang Lorenzo buat selama ini hancur oleh Zehan. Zehan tidak bisa menjadi Lorenzo menyimpan lukanya sendirian tanpa mengadu pada orang lain. Zehan pribadi yang tak bisa memendam sakitnya sendirian. Dia tegas namun lemah secara bersamaan.
Dia selalu bersandar pada ayah ibunya ketika masalah datang menghampiri. Meminta bantuan dan jawaban atas apa yang harus dia ambil. Tidak ingin melangkah di pijakan yang salah. Zehan sangat takut akan kegagalan walau orang tuanya selalu mewanti-wanti dirinya jika kegagalan tidak selamanya buruk.
Menjadi Lorenzo yang sendirian, sedikit menyulitkan Zehan yang dikelilingi banyak orang.
"Anda tidak usah khawatir, jika tuan muda tak bisa memaafkan anda ketika anda sudah berusaha meminta maaf, anda sudah tidak memiliki tanggung jawab untuk meminta lagi. Anda sudah berusaha Tuan. Anda sudah dengan tulus berubah dan meminta maaf, jika mereka tak memaafkan.. Itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan." Bibi Hana berucap panjang lebar.
Jujur saja, prioritas utamanya adalah Lorenzo. Selain darinya, mereka merupakan prioritas kedua. Tuannya harus sehat secara fisik dan mental, tidak boleh dalam keadaan sakit maupun setres.
Zehan cengo, tunggu.. Kenapa suasana berubah cepat ketika Bibi Hana berucap. "Bibi.. Tidak mungkin aku berhenti sebelum mereka meminta maaf." ucapan bibi Hana seakan menjelaskan jika Zehan tidak perlu berupaya keras dalam mendapatkan maaf Darel dan Ivan. Selain itu, tugasnya memang harus mendapatkan maaf dari keduanya.
Bibi Hana menghela nafas. Dia beranjak dari duduknya dan berkata. "Tuan, fokus anda harus pada kesehatan tubuh. Masalah anak-anak itu belakangan. Anda tau bukan, bahwa ketika tuan Mavren datang, beliau akan melakukan chek up rutin terhadap anda. Jika ada satu kekurangan atau luka kecil, tuan Mavren akan menghukum anda."
Sebab itulah bibi Hana selalu merespon setiap tindakan tak sopan tuan mudanya. Walau sering kali Zehan melarang dan lebih menyuruh mengabaikan bahkan memperhatikan. Tetapi rupanya, niat tersebut tak sampai pada hati kedua tuan mudanya.
Zehan semakin tak paham. Oke, dia menyerah. Mungkin tidur sebentar lagi sebelum melanjutkan pekerjaannya tak masalah. Rumit permasalahan dalam keluarga Aditama begitu menguras energi.
***
Tak
Tak
Tak
Suara keyboard laptop beradu dengan jemari Zehan terdengar nyaring di ruang keluarga. Pria itu sibuk mengerjakan sesuatu disana. Fokusnya bahkan tidak terganggu meski dia ditatap oleh banyak pasang mata.
Dahinya tertempel plester demam, sesekali Zehan menarik ingus yang keluar karena flu. Dia juga terbatuk hingga semua penghuni mansion tau bahwa dirinya terserang demam dan flu serta batuk. Akan tetapi Zehan tetap memaksa bekerja walau bibi Hana sudah melarang keras.
Zehan yang benci kegagalan itu memaksakan diri. Padahal tubuhnya sudah terbalut selimut hangat karena kedinginan. "Astaga, kapan ini akan berhenti mengalir, " gumamnya mengambil tissue dan membuang ingus.
Tidak bisa fokus sebab dingin semakin membuat Zehan menggigil, Bibi Hana pun lantas mendekat, menawarkan segelas teh hangat untuk tuannya itu. "Tuan, minum ini. Mungkin bisa mengurangi dingin." Dia menggeleng pelan. Sudah disuruh istirahat, namun tuannya bebal.
Zehan mengangguk, segera menerima teh itu dan meminumnya dengan sedikit-sedikit. Merasakan tubuhnya yang perlahan menghangat, Zehan lega. Namun tentu tak bertahan lama. Sebab selanjutnya, Zehan kembali bersin berulang kali.
Sampai kemudian, seseorang yang lain turut berada di ruang keluarga itu. Menyaksikan sekilas, bagaimana Zehan kesusahan menghalau dingin yang menyerang.
Itu Ivan, yang kini memelankan langkah sembari melirik-lirik Zehan yang tampak pucat tetapi jemarinya masih lincah mengetik. 'Udah tau sakit malah sok, ' Dumelnya dalam hati. Dia merasa jika ayahnya mencari perhatian dengan menunjukkan bahwa dirinya sedang sakit.
"Kalau sakit jangan berdiam disini. Kau menyusahkan bibi Hana ayah. Lebih baik bekerja di tempatmu. Kau menyebarkan kuman. Bisa-bisa yang lain terkena demam juga, " Ketusnya. Dia berdiri agak jauh dari Zehan lalu menutup hidung dan mulut menggunakan tangan.
Zehan melirik sekilas sembari terbatuk. "Maafkan ayah. Kau bisa menjauh Ivan. Ayah jenuh jika terus menerus diam di kamar ataupun ruang kerja, " jawabnya. Meski sedikit agak sedih karena perkataan Ivan yang seolah dirinya sangat menyusahkan karena menyebarkan virus penyakit.
"Keberadaan ayah disini juga tidak menganggu aktivitasmu." Zehan mengibaskan tangan mengusir Ivan. Saat ini, dia sedang tak ingin melakukan drama ayah anak. Tubuhnya belum fit.
Ivan berdecih pelan dan beranjak pergi. Sebelum itu, dia menyempatkan diri untuk kembali menghina Zehan. "Kenapa aku harus memiliki ayah pengecut seperti dirinya, " gumamnya yang sengaja dia keras kan supaya Zehan mendengar.
Zehan kan semakin pusing... "Mana aku tau, kan bukan ayahmu," gerutu Zehan dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Jika saja.. Laptop nya tak di angkat oleh seseorang hingga kegiatannya kembalinya terganggu.
"Apa ini? Kau sakit Lorenzo?"
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Father - END
Teen Fiction[ Beberapa part telah di hapus ] Zehan Rabbani merupakan pria lajang yang akan melangsungkan pernikahan lima bulan kedepan. Dia juga merupakan pemilik kedai Mie ayam populer di daerahnya. Lalu, bagaimana ketika kehidupan damainya berubah 100% saat...