Bab 15.

7.5K 864 76
                                    


Zehan bersandar pada headboard, menselonjorkan kaki dan menyelimutinya. Ditemani dengan sebuah buku novel yang sempat dia beli sepulang kerja sore tadi. Membuat fokus dirinya pada novel tersebut. Kacamata bertengger apik di hidung mancungnya.

Zehan membawa dirinya masuk dan menyelam ke dalam cerita yang mengisahkan seorang pangeran harus menyelidiki tentang kematian ibundanya. Kematian janggal dilakukan dengan apik oleh oknum lainnya.

"Pangeran, pelakunya ada disebelahmu!" geram Zehan. Dalang dibalik pembunuhan tersebut tak lain dan tak bukan orang terdekat pangeran. Yang membuat Zehan kesal, orang tersebut picik dan bermuka dua. Sangat pandai bersilat lidah.

Sampai akhirnya Zehan menghela nafas berat. Tak sanggup untuk melanjutkan cerita karena alur berat. Dia membaca novel untuk menjernihkan pikiran, bukan nambah beban. Menaruh buku kemeja samping, Zehan membuka kacamatanya. Memijat pelipis, Zehan membuka selimut yang sejak tadi membungkus hangat kaki jenjang Lorenzo.

"Rindu Sara." Zehan bergumam pelan. Dia rindu calon istrinya. Sudah berapa lama dia menempati tubuh Lorenzo, Zehan begitu rindu dengan kekasihnya. Zehan berat pikiran, bukan hanya dari masa lalu, tetapi kehidupan yang sekarang pun juga memberatkan pikirannya.

Suara ketukan pintu terdengar, Zehan mempersilahkannya. Dia beranjak dari ranjang dan melangkah mendekati pintu. "Apa itu kau bibi Hana?" tanyanya sembari membuka knop pintu yang dikunci menggunakan sandi.

"Oh, Darel? Ada apa?" Zehan mempersilahkan Darel masuk. Menyuruh putra pertama Lorenzo untuk duduk di sofa yang sudah tersedia didalam kamarnya. Sementara dia mengambil minuman dalam kulkas mini.

"Tidak usah basa-basi. Kembalikan semua fasilitas Ivan ayah?" ujar Darel ketika Zehan sudah duduk di seberangnya. Menyilangkan kaki dan bersandar pada sofa. Terlihat arogan baginya.

Zehan sudah menduga, jika Darel datang dengan niat tersebut. Meneggak minuman kopi cupnya, Zehan menjawab. "Masih ada 6 hari masa hukuman Ivan. Tunggulah saatnya tiba, maka dia akan mendapatkan kembali seluruh fasilitasnya."

Darel merengut tak suka, tangannya mengepal. "Dia butuh semua itu untuk kebutuhannya ayah. Ayah juga melarang bibi Hana membuatkan sesuatu untuknya. Melarang semua bawahan ayah agar tak membantu Ivan." Zehan mengangguk membenarkan karena itu adalah fakta.

"Dengan apa dia makan jika semua ayah sita dan larang?"

"Ayah tidak peduli. Hukuman tetap hukuman." Tidak apa kan, Zehan bersikap demikian. Hitung-hitung pembelajaran dan sedikit balas dendam atas sikap tak sopan anak itu.

Darel menggertakkan gigi. Dia berdecih lalu berkata. "Apa ayah sadar apa yang telah ayah lakukan? Ayah mencoba membunuh Ivan secara perlahan?!"

Zehan menggelengkan kepala pelan. Darel sangat enteng mengatakan kematian. Sama seperti minggu sebelumnya. "Mengapa demikian? Memangnya kau sebagai saudara tidak bisa menolongnya?" Dia menaikkan sebelah alis.

Darel menoleh kearah lain. Mengalihkan pandangan dari Zehan. "Itu persoalan lain."

"Maka pembicaraan selesai. Silahkan keluar Darel, ayah harus istirahat. Kau pun sama. Malam semakin larut, " ujar Zehan berdiri. Mengusir Darel dari kamarnya karena dia harus istirahat untuk esok hari.

Darel belum puas, jawaban sang ayah tidak memuaskan. "Setidaknya beri dia uang ayah."

Zehan harus menghela nafas sabar. "Ada kau, Darel. Beri dia uangmu."

Tatapan Darel menjadi sengit, dia memandang Zehan penuh benci. "Apa ayah jatuh miskin?!"

Zeha terkekeh pelan. Sikap congkak Darel sangat baru untuknya. "Sulit ya, tanpa uang dari ayah?" Terselip ejekan diperkataan Zehan. Yah, katakan saja jika dia ingin membuat Darel mengerti.

"Maka dari itu, Hargai selagi ada. Kalau sudah kutarik seperti ini, kau maupun adikmu.. Sangat kesusahan kan? Walau kalian masihlah tak sopan terhadap ayah kalian sendiri meski tau bahwa tanpa fasilitas ayah, kalian bukan apa-apa."

Darel menunduk menggigit bibirnya sendiri. Kekesalan serta amarahnya mengalir disetiap jengkal darahnya. Ingin menampik namun perkataan sang ayah benar adanya. Lalu harus apa dia selain menerima.

"Pandai sekali ayah berkata. Sungguh, ayah tak pernah sekalipun bertindak seperti ayah yang semestinya!!" bentak Darel. Dia tak habis dengan pemikiran sang ayah. Kapan pria didepannya ini mengerti jika dia tak pantas menyandang gelar ayah.

Darel memilih pergi setelah menyentak bahu Zehan. Sungguh, dia sangat kecewa.

***

"Callisto meminta 3% keuntungan dari investasinya yang tak seberapa," ujar  Zehan memandang Mavren. Dia memperlihatkan kontrak yang belum Zehan tanda tangani.  Karena dia merasa harus mengatakan ini pada Mavren.

Mavren tampak berpikir. "Apakah Callisto berpikir jika tanpa suntikan dana dari dia kita tidak bisa mengembangkan proyek ini? sungguh naif, " ucapnya datar. "Berapa persen yang dia Tanamkan?"

"Callisto hanya menyumbang 7% dana dalam investasi ini bang. Jadi aku ingin memberinya keuntungan 1% dari pada tidak sama sekali." Zehan menjelaskan dan menunjukkan seluruh data tentang kerja sama dengan Callisto.

Mavren mendengus. "Untuk seseorang yang baru saja merangkak, mereka terlalu sombong karena selalu berhasil meraih keuntungan besar dari patner kerja sama mereka."

Zehan menghela nafas, dia memijat pelipisnya. "Aku memutuskan untuk mengusulkan kerja sama ini karena aku butuh lahan di ranah Callisto. Tapi siapa sangka Callisto begitu picik hingga meminta lebih dengan investasi kecil."

Mavren mengerti keresahan sang adik. Karena dalam dunia bisnis, selalu ada seseorang seperti Callisto. Memanfaatkan situasi saat dimana ada orang lain yang butuh sesuatu di sekitar mereka. Memang 3% bagi orang lain merupakan angka kecil. Akan tetapi bagi sang adik, angka itu terlalu besar untuk seseorang yang hanya berpartisipasi kecil dalam proyek besar.

"Haruskah abang memberi pelajaran pada mereka?" usul Mavren. Dia menjadi tak suka pada Callisto. Adiknya menjadi sedikit memiliki beban pikiran. Callisto tidak tau diri seperti seseorang di mansion ini.

Zehan mengangkat tangan. "Tidak usah bang. Aku akan mengadakan rapat besok. Abang juga harus hadir. Kita diskusikan bersama." Jadi, Mavren hanya bisa menyetujui ucapan sang adik. Jujur saja, Zehan sakit kepala.. Tak menyangka jika menjadi boss besar seruwet ini.

"Ayah! Kembalikan fasilitasku!"

Zehan jadi makin sakit kepala mendengar seruan Ivan yang berteriak meminta hal sama dalam 2 hari ini. Oh astaga, baru dua hari  tetapi Ivan bahkan Darel sudah meneror dirinya untuk mengembalikan semua hak Ivan.

"Sabar Ivan, 4 hari lagi." Tentu Zehan tetap kekeh dengan perhitungan hari hukuman Ivan. Tak ada pengurangan di dalamnya. Zehan pun tak memiliki niat untuk membebaskan Ivan dalam kurun waktu yang belum ditentukan.

Ivan berdecih, dia sungguh sebal. Apa ayahnya tak tau bahwa saat ini dia seperti gelandangan? Dia juga harus menurunkan sikap egoisnya untuk meminta pada abangnya. Ivan melirik kearah sang paman, dimana Mavren menatapnya dengan sorot mata tajam.

Mungkin untuk saat ini, dia tak menganggu sang ayah. Tatapan Mavren seakan memberi tahu dirinya supaya tak menganggu atau melakukan sikap kasar lainnya.

"A-aku akan menanyakan ini lagi nanti. Ayah harus cepat membuat keputusan!" ujarnya sebelum berbalik untuk pergi. Sayangnya, dia yang tengah gugup tak menyadari jika bibi Hana berjalan sembari membawa dua kopi panas.

Ivan harus menabrak bibi Hana hingga nampan berisi dua kopi tersebut tumpah. Ivan bersiap untuk luka panas yang akan dia terima. Tetapi sebelum itu, Zehan segera menarik Ivan hingga minuman panas itu tersiram pada dada hingga perut Zehan.

Yang terpenting....


















"MASA DEPANKU!!!" teriak batin Zehan saat ekhemnya juga terkena siraman minuman panas ber kafein.








To be continued..

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang