Bab 17.

7K 871 42
                                    


Darel mengendarai mobilnya memasuki Mansion. Malam sudah larut, mungkin jika tidak salah, harusnya saat ini tengah malam. Tidak biasanya Darel pulang telat, dirinya butuh refreshing setelah beberapa minggu selalu memimpikan hal sama.  Mimpi yang membuat moodnya hancur selama berhari-hari.

Dimana ayahnya tersenyum pelik di ruangan serba putih. Terkadang juga, ayahnya bersenda gurau bersama ibunya, Khalisa. Ayahnya tertawa bebas disana, seakan tidak memiliki beban padahal sudah menelantarkan dia  sejak kematian sang ibu.

Disana dia hanya bisa mengeram sembari mengepalkan tangan. Memandang pemandangan bahagia itu dari jauh. Walaupun dia marah dan kesal, hatinya bertolak belakang, hingga Darel menangis entah karena apa. Air mata turun begitu saja saat melihat tawa bahagia sang ayah. Harusnya tidak begitu bukan?

Harusnya dia kesal, tetapi hati dan pikirannya berbanding balik. Darel berada dekat dengan kedua orang tuanya. Namun bahkan seincipun dia tak bisa mendekati mereka. Seakan dinding transparan memisahkan dirinya dengan ayah ibunya.

Padahal Darel ingin sekali berlari ke dekapan sang ibu. Memberitahu pada sumber cahaya yang menjadi penerang bagi dirinya, bahwa ayahnya telah acuh dan gagal mendidik dia serta adiknya.

Mimpi itu terus berulang hingga membuat Darel sedikit setres. Sebab itulah dia jarang berada di mansion. Lebih sering diluar namun tak pernah sekalipun pulang telat. Darel bahkan mencoba menemukan arti dari mimpi yang dia alami. Lewat gadget maupun teman-temannya. Tetapi tak ada jawaban yang pas.

Mimpi  seakan memberitahunya tentang sesuatu. Membuat relung hatinya terguncang karena merasa kehilangan. Harusnya dia tau, ayahnya berada disisinya, ayahnya berdiri kokoh didepannya saat ini, memandang dirinya dengan bersedekap dada.

"Kenapa baru pulang? Sudah jam 12 malam Darel. Apa kau tidak tau bahwa aku khawatir padamu?" Dua pertanyaan yang di lontarkan oleh Zehan membuat Darel total bungkam.

Darel tidak pernah menduga sebelumnya, ayahnya berubah secara perlahan. Ayahnya yang tak meliriknya menjadi perhatian bahwa sampai menyuruh bibi Hana membuatkan dirinya bekal. Ayahnya yang tak pernah peduli, berkata jika khawatir padanya.

Haruskah Darel percaya akan ungkapan barusan. Tak ada mimik kebohonga di wajah sang ayah. Alisnya menyatu tanda bahwa sang ayah berpikir sangat keras.

Ketika sang ayah memegang kedua bahu dan berkata. "Kau juga terlihat kurusan? Apa kau makan dengan baik? Jika diingat lagi, kau bahkan sering melewatkan sarapan. Bekal yang bibi Hana siapkan kau habiskan, bukan?" Kali ini, Darel di hadiahi pertanyaan beruntun.

Darel memegang tangan Zehan, melepasnya dari bahu. "Aku tidak apa-apa. Ayah hanya berlebihan, " ujarnya lalu beranjak pergi.  Karena entah kenapa.. Tiba-tiba saja air matanya mengalir deras. Ayahnya tidak boleh mengetahuinya.

Jantung Darel berpacu lebih cepat. Ayahnya terlalu perhatian dan teliti hingga mengetahui bahwa dia kekurangan berat badan. Darel sangat takut. Pikiran negatif memenuhi pikirannya. Air matanya tak mau berhenti mengalir.

Mengapa ayahnya harus berubah ketika kebenciannya telah pekat. Hingga dia harus merasakan perasaan bersalah. Karena.. Ayahnya tak berhenti untuk mengungkapkan penyesalan serta maaf yang sering kali diucapkan, namun dia abai.

Perubahan ayahnya, mimpi anehnya, lalu kondisi dimana dia yang sering tiba-tiba menjatuhkan air mata. Membuat Darel berpikir bahwa.. dia akan kehilangan sosok sang ayah. Dari mimpi itu, Darel membuat kesimpulan, dimana mimpi itu memberitahu dirinya agar berubah supaya tak menyesal di kemudian hari.

Zehan melihat dari bawah, kemudian menghela nafas pelan. Sulit sekali menarik perhatian anak-anak Lorenzo. Padahal telah lama dia berada di dunia yang tak dia ketahui ini. Berat janji yang dia pikul membebani dirinya.

Salahkan saja dia yang sok baik hati dan berkata jika dia mampu mendapatkan maaf mereka. Jika begini.. Mau marah, ia teringat janji, didiamkan semakin menyayat hati.

Rasanya sekarang Zehan mengerti, tentang sikap plin plan manusia,  serta beratnya sebuah janji. Juga percaya pada pepatah yang mengatakan 'Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai'.

***


"Darel, anak ibu."

Darel sontak membuka mata dan terduduk ketika suara yang sangat dia kenali terdengar di indara pendengarnya. Jantungnya berpacu lebih cepat dengan nafas tersenggal-senggal. Menoleh ke kanan kiri tak mendapati siapapun. Lalu dari mana suara itu datang.

"Darel.. Ini ibu sayang."

Darel beranjak berdiri, baru dia sadar jika dia berada di ruangan serba putih. Hampa meliputi dirinya ketika dia sendirian di luasnya ruangan. Berkeringat dingin ketika mencari asal dari suara ibunya.

"Ibu!!" Dia berteriak memanggil. Berlari kesana-kemari berharap ibunya muncul. "Ibu dimana?!" Tetapi, sosok ibunya tak ada di manapun. Di setiap sudut, setiap cela di ruangan tak ada siapapun. Hanya ada dirinya, sendirian.

"Darel, ibu kecewa."

Darel menggeleng cepat ketika suara ibunya terdengar dengan lontaran kata yang tak ingin dia dengar dari sang ibu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya terbuka, kemudian menangis karena putus asa.

"Ibu, jangan benci Darel. Ibu dimana?!!" tubuhnya meluruh. Menangis bersujud di lantai. Begitu frustasi karena tetap tidak menemukan sosok ibunya. Padahal suara Khalisa sangat menggema.

"Ibu, keluarlah. Kenapa aku tidak bisa melihatmu!" Darel meracau. Apakah dirinya berhalusinasi atau ini merupakan mimpi. Apapun itu, pertemukan dia dengan ibunya. 

"Ibu tidak bisa." 

Suara Khalisa terdengar sendu. Sejenak, Darel tau bahwa ibunya sedang bersedih. "Kenapa? Kenapa tidak bisa? Aku merindukan ibu?!! Apakah ibu tidak merasakan hal yang sama!" teriak Darel frustasi.

"Karena kamu masih menyimpan dendam nak. Kamu tak akan pernah bisa melihat ibu jika masih tenggelam akan dendam. Kebencianmu terhadap ayahmu, membuat kamu tak bisa melihat ibu."

Darel menunduk, memikirkan ucapan sang ibu. Tentang dendam yang dimaksud, pasti berhubungan dengan ayahnya. Tangannya mengepal kuat. "Karena ayah pantas mendapatkannya ibu, Dia telah menelantarkan aku!!"

"Nak.. Ayahmu telah menebusnya. Setiap hari dia tersiksa karena belum mendapatkan maaf darimu."

Darel mendengus pelan. Kemudian tertawa paksa. "Aku tidak peduli." Ucapan serta hatinya tak selaras. Walau dia berkata seperti itu. Air mata tetap tergenang. Tersiksa? Yang dia lihat ayahnya baik-baik saja setiap kali dia berjumpa.

"Darel, ibu tidak ingin kamu merasakan penyesalan."

Alis Darel menukik tajam. "Penyesalan apa yang dimaksud ibu?!" Jika penyesalan ada, maka dia menyesal karena tidak mengikuti ibunya. Hidupnya tersiksa tanpa sang ibu. Hidup bersama ayah yang tidak peduli, benar-benar menyiksa batin Darel.

"Suatu saat nanti, kamu akan tau."

"Jadi, maafkan ayahmu Darel.. Putra kesayangan ibu."







To be continued..

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang