Bab 19.

8.8K 1K 132
                                    

Nyatanya.. Ivan berdiri tidak terlalu jauh dari Zehan. Pemuda itu termangu dengan tatapan kosong. Menatap genangan darah disekeliling kepala ayahnya. Dia bisa melihat semuanya, dimana salah satu teman musuhnya telah menghantan kepala ayahnya.  Melindungi dirinya dari bahaya.

Tubuhnya tak sanggup dia gerakkan karena shock. Membiarkan dirinya di tubruk oleh banyaknya teman-teman yang mencoba melarikan diri. Berpikir banyak tentang maksud dari perilaku ayahnya.

Kenapa? Kenapa ayahnya kembali menolong dirinya. Apakah belum cukup sang ayah mencari perhatian orang lain, kini malah mencari perhatian darinya? Tidak cukup untuk bersikap biasa dan malah mengambil jalur bahaya?

Apakah otak ayahnya bermasalah? Membiarkan dirinya sendiri terpukul oleh orang lain. Memangnya apa yang ayahnya dapat setelah membantunya? Rasa terimakasih darinya? Apakah itu yang diinginkan sang ayah.

Sebab itulah sang ayah selalu menempatkan dirinya dalam posisi berbahaya? Apakah ayahnya bodoh.

Mengapa sang ayah repot-repot membantu dirinya? Padahal dia akan senang jika dialah yang terluka atau bahkan bisa kehilangan nyawa. Sungguh ironis, padahal dia tak pernah meminta bantuan ayahnya. Kenapa ayahnya selalu saja membantu dirinya.

Ayahnya berhasil membuatnya merasakan perasaan menyesal dan bersalah.

Suara sirine terdengar, mobil polisi telah datang. Mereka segera berpencar mengejar anak-anak yang telah lari. Sebagian juga sigap mendekati tubuh Zehan. Salah satu polisi segera menghubungi ambulans. Sedangkan yang lain mencoba memberi pertolongan pertama.

Ivan tetap terpaku, sampai dua orang polisi mendekat dan memborgol lengan miliknya dan membawanya kedalam mobil Ford Ranger. Ivan akan dibawa ke kantor polisi untuk beberapa alasan. Tatapan matanya menyorot langsung pada sang ayah.

*

"Darel, jika kamu tak ingin memaafkan ayahmu. Ibu akan membawanya. Kamu tidak lagi membutuhkan ayah kan?" ujar Khalisa. Wanita itu berwajah sedih, duduk mengelus kepala Lorenzo yang tiduran berbantal pahanya. Pria itu tengah menangis.

"Sudah cukup ayahmu menerima balasan atas yang dia lakukan nak. Ayahmu juga tak sepenuhnya salah." Raut Khalisa berubah menjadi tegas. Dia menatap tajam Darel yang sekarang berkeringat dingin.

Tatapan menyiratkan atas rasa kecewa pada putranya. Khalisa menunduk, memeluk kepala Lorenzo disana. Air mata jatuh melewati pipi Lorenzo. Kedua orang itu terisak seakan mereka adalah makhluk tersakiti selama hidup.

Darel hanya bisa memandang, dia berada diposisi dimana dia bisa melihat tetapi tak bisa mendekat. Diruangan serba putih yang selalu menjadi tempat di dalam mimpinya akhir-akhir ini. Yang berbeda sekarang adalah sang ibu telah menatap dirinya.

Jatuh air mata melihat pemandangan didepan. "Tidak ibu, jangan bawa ayah." Darel melirih, tubuhnya meluruh menatap kedua orang tuanya menangis. Sakit hatinya saat sang ibu ingin membawa ayahnya.

"Aku masih butuh sosok ayah ibu. Jangan bawa ayah." Runtuh segala ego yang dia pertahankan. Darel memaafkan seluruh perbuatan ayahnya. Darel akan menerima permintaan maaf sang ayah. Darel juga akan bersikap ceria tanpa acuh pada ayahnya.

"Ayahmu sudah enggan Darel. Ayahmu tak ingin lagi bersama putranya. Ayahmu sudah terlanjur kecewa pada dirinya sendiri. Hingga dia tak ingin kembali." Khalisa berdiri tepat didepan Darel. Menyorot langsung pada manik putranya.

Padahal ibunya sedekat ini, namun Darel tetap tak bisa menggapai ibunya. Darel menggeleng pelan atas perkataam Khalisa. "Tidak ibu, ayah sudah berubah. Dia sudah perhatian padaku. Ayah pasti tidak akan meninggalkanku."

Bugh!

Khalisa memukul udara, namun suara pukulan yang seakan menghantam sesuatu menimbulkan suara nyaring. Kemudian wanita itu berbalik dan mendekati Lorenzo yang berbaring dengan mata tertutup tanpa menjawab ucapan Darel.

Khalisa duduk melipat paha, kemudian menuntun kepala Lorenzo untuk kembali berbantal pahanya. Mengecup kening Lorenzo lama. Tubuh keduanya perlahan mengeluarkan cahaya. Perlahan transparan, menghilang secara bertahap.

Khalisa tersenyum sembari mengelus wajah suaminya. Sesaat sebelum menghilang sepenuhnya. Khalisa menatap lekat sang putra lalu menggerakkan bibir berucap. "Hiduplah dengan baik."

Darel yang sejak tadi sudah bergerak brutal memukul-mukul tembok transparan. "Tidak, tidak, tidak!! Ibu! Jangan bawa ayah!" teriaknya histeris melihat tubuh ibu serta ayahnya yang menghilang.

Situasi tak berubah, hanya ada Khalisa yang tersenyum, ayahnya menutup mata dan keduanya menghilang. Darel panik..

"Ibu!!"

"Jangan bawa ayah!!"

"Ayah! Buka matamu!"

"Ayah!!!"

Darel membuka mata dan duduk cepat. Mengangkat tangan ke udara dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Dia sedikit linglung, menatap sekitar dan memegang kepalanya. "Mimpi itu lagi, " lirihnya.

Menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Dia ingin mencuci wajah. Mimpi yang dia alami kali ini terasa begitu nyata. Meski dia memimpikan hal sama, akan tetapi sangat berbeda dengan sebelumnya.

Dia bisa menghela nafas lega ketika semua itu hanya mimpi. Tubuh ayahnya yang perlahan menghilang itu merupakan hal yang buruk. Darel tak ingin mengalami mimpi seperti itu lagi.  Karena ayahnya tak akan meninggalkan dirinya.

Tok!

Tok!

"TUAN MUDA!!"

Darel yang mulanya ingin ke kamar mandi dikagetkan oleh suara bibi Hana. Padahal ada intercome untuk komunikasi dan bel pintu, bibi Hana memilih berteriak dan mengetuk atau memukul? Oh Tuhan, mengapa firasat Darel tidak enak.

Darel segera melangkahkan kakinya menuju pintu. Seluruh langkahnya terasa berat. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Bibi Hana berteriak memanggil namanya. Ketukan yang pada awalnya dia dengar berubah menjadi pukulan bertubi-tubi.

Mengapa bibi Hana yang selalu tenang menjadi begitu panik. Apa yang membuat orang setenang bibi Hana berlaku seperti itu. Banyak kemungkinan buruk sudah ada dipikirannya.

Darel membuka pintu, terlihat wajah kacau bibi Hana. Wanita tua itu langsung memegang tangannya dan berkata. "Tuan muda, pergilah kerumah sakit. Tuan Lorenzo terkena penyerangan dari remaja yang sedang tauran. Saat ini beliau tengah ditangani di ruang Instalasi Gawat Darurat!"

"Tuan Lorenzo berada di rumah sakit Sahara. Nyonya Clara sudah dalam perjalan bersama tuan muda kembar serta nona Jessica. Sementara tuan Mavren harus mengurusi tuan muda Ivan dikantor polisi karena terlibat dalam aksi tauran tersebut."

Mata Darel membola sempurna akan penjelasan bibi Hana. Ayahnya terluka karena penyerangan dalam aksi tauran, lalu adiknya yang diringkus polisi karena tauran. Jangan katakan padanya bahwa sang ayah terluka sebab telah melindungi seseorang seperti Ivan?

"Tolong.. Mungkin saja tuan Lorenzo membutuhkan anda." Bibi Hana menangis pasrah. Dia melepaskan Darel dan menutup wajah frustasi.

Tanpa menjawab, Darel segera berlari tanpa mengganti baju. Ketakutan mulai memenuhi pikirannya. Kenapa ayahnya terluka saat dia kembali dari mimpi buruk. Ayahnya tak akan pernah meninggalkan dirinya.

Tak akan pernah!

Ayahnya akan baik-baik saja!

"Ibu!! Jangan bawa ayah!" teriaknya dalam batin. Tergesa-gesa tak memperdulikan meski beberapa kali akan terjatuh.








"Ayah, aku harap ayah baik-baik saja."






To be continued...

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang