Bab 12.

7.4K 913 47
                                    


"Paman.. Aaa."

Zehan membuka mulut, menerima suapan Jasmine kemudian mengusak kepala gadis tersebut. Gemas sekali karena tingkah Jasmine yang begitu perhatian.

Anak yang kata Clara sedikit tomboi dihadapannya itu sampai rela membuat Sup ayam untuk dirinya. Berwajah ceria dan sangat bersemangat sejak awal kedatangan.

Jasmine tersenyum bangga. Pamannya lahap sekali, dia jadi tidak rugi memasak Sup ayam dengan bantuan bibi Hana. Setelah dia mendengar jika Zehan sakit, dia yang berkelana bersama teman-temannya harus pulang karena sedikit kepikiran.

Jujur saja.. Sejak saat itu, pamannya begitu perhatian, Jasmine kan, jadi senang.

"Paman tau.. bibi Hana berceramah panjang lebar ketika aku bertanya makanan yang sehat selain bubur itu apa." Jasmine berucap menggebu-gebu, sembari menyuapi Zehan makan, dia berceloteh panjang.

"Katanya Sup ayam merupakan makanan untuk orang sakit. Cocok untuk paman yang sedang mengalami pilek dan demam. Semangkok sup ayam  mengandung nutrisi  baik untuk tubuh di antaranya yaitu vitamin, protein, mineral, hingga kalori."

Zehan mengangguk paham. "Itu benar."

"Kuah pada sup ayam mengandung air dan eletrolit yang dapat mencegah dehidrasi. Kandungannya itu berguna untuk pemulihan tubuh saat sakit agar cairan pada tubuh tetap terjaga." Jasmine menjelaskan layaknya guru yang sedang menjelaskan didepan murid.

"Penelitian yang dilakukan oleh Pharmacology & Therapeutics tahun 2014 mengatakan bahwa sup ayam dapat melegakan hidung yang mampet akibat pilek. Selain itu sup ayam mampu melawan virus dan meredakan peradangan di tubuh karena terkandung asam amino yaitu berjenis sistein."

Bibi Hana memang hebat, tak salah jika Lorenzo menjadikannya sebagai kepala pelayan dan memberi tanggung jawab penuh pada kesehatan keluarga Aditama. "Pintarnya keponakan paman." Tak lupa dia memuji Jasmine karena mampu menerangkan penjelasan bibi Hana secara rinci.

Jasmine tertawa malu, dia menaruh mangkuk kosong dan memberikan segelas air hangat untuk diminum Zehan. "Aku hanya mengatakan penjelasan bibi Hana, paman." Dirinya tersipu malu, kenapa tidak dari dulu saja pamannya berubah.

"Tapi kamu mengingatnya dengan jelas. Artinya kamu sangat pandai untuk mengingat." Dia tersenyum kecil karena tingkah Jasmine yang malu-malu.

"Baiklah aku pintar. Jadi, sekarang paman harus istirahat. Obat sudah diminum, alangkah baiknya paman langsung tidur." Jasmine menuntun Zehan untuk berbaring. Menarik selimut sebatas dada dan membenarkan letak bantal.

"Terimakasih karena sudah perhatian." Itu tulus, Zehan merasa terharu. Meskipun abang dari Lorenzo juga perhatian, tetapi pria itu suka sekali memaksa. Terbukti saat dirinya ditarik ke rumah sakit melakukan chek up rutin.

Kemudian mengatakan banyak hal sembari melarang dirinya ini itu. Keberadaan dirinya dikamar pun karena ulah Mavren. Jika saja pria itu tidak memaksanya, maka saat ini dia akan berkencan dengan kerjaan.

Karena Zehan merasa jika dia tidak boleh bermalas-malasan dengan uang Lorenzo. Dia harus bekerja supaya tidak menjadi beban. Zehan harus menjaga nama baik Lorenzo.

"Sama-sama paman. Lekaslah sembuh, " balas Jasmine lalu berjalan keluar kamar. Menutup pintu rapat sebelum menyetel suhu di ruangan menjadi hangat. Memastikan jika sang paman tidur dengan nyaman.

Diluar pintu, dia bertemu dengan Darel yang terkesiap. Memberi gestur tubuh tegap padahal sudah terlihat jelas jika pemuda itu habis menguping pembicaraan mereka. "Kenapa kau ada disini?" tanya Jasmine basa-basi..

Darel berdehem kemudian menjawab. "Pergi ke kamar."

Jasmine berdecih ria. "Kamarmu dilantai dua. Tidak mungkin kau tersesat dirumah sendiri kan?" Memandang penampilan Darel dari atas hingga ke bawah. Penampilan dan alasan Darel tidak singkron.

Darel tidak menjawab ucapan Jasmine. Dia memilih pergi meninggalkan gadis itu. Sedikit malu karena dia ketahuan menguping. Walau hal itu tidak disengaja oleh dirinya.

***

Mavren berdiri disamping ranjang keponakannya, Ivan. Dia menatap tajam mata tertutup itu hingga membuat si empu merasa resah akan tatapan yang dilayangkan olehnya. Mavren harus mendengar alasan mengapa Ivan secara sadar membahayakan adiknya.

Ivan bergerak gelisah, dia bergerak untuk mengubah posisi menyamping dengan pelan. Karena punggungnya masih sedikit sakit. Tak tahan akan perasaan menusuk yang Ivan rasakan, dia membuka mata dan mendapati manik sehitam jelaga itu memandang dirinya tajam.

"Paman!" serunya. Dia sontak duduk merasa ketakutan. Pantas saja sejak tadi tidurnya gelisah. Sang paman berdiri di sebelahnya memandang dirinya seolah siap menelanjanginya kapan saja.

"Kenapa paman di sini?" Menyeka keringat di dahi. Ivan bertanya tentang maksud keberadaan sang paman. Memandang dirinya tajam tanpa  niat mengurangi ketajamannya. Seakan dirinya telah berbuat kesalahan fatal.

"Kau.. Saat ditangga, kau berniat menjatuhkan ayahmu kan?" ujar Mavren tak menghiraukan pertanyaan Ivan. Lebih mendekat kearah Ivan tanpa mengurangi tatapan tajamnya.

Ivan berdalih, dia mengalihkan pandangan kearah lain. "Apa maksud paman. Aku tidak mengerti. Kapan aku melakukannya. Paman tau sendiri bahwa akulah yang terjatuh." Walapun apa yang dikatakan Mavren merupakan kebenaran.

Ivan hanya kesal, dia sudah melihat perilaku sang paman ketika Mavren berteriak memanggil Nick dan bibi Hana. Dia merasa jika ayahnya begitu pengecut hingga membiarkan orang yang telah merawat mereka dilukai begitu saja.

Mengambil kesempatan bagus saat ayahnya berjalan gontai dari bawah. Sengaja menabrak bahu keras berharap jika Zehan jatuh dan terluka. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Ivan berdecih pelan ketika mengingat jika rencananya gagal.

"Kau tidak bisa membohongi mata paman Ivan. Jika saja ayahmu tidak berpegangan erat pada pegangan tangga, dia akan terjatuh langsung dari atas," ujar Mavren menekan setiap katanya. Memberikan kesan menakutkan pada Ivan yang sudah berkeringat dingin. Perilaku Ivan membuat dirinya marah.

Jika saja Ivan bukan keponakannya. Maka katakan selamat tinggal pada kehidupan tentram milik Ivan.

Ivan memberanikan diri menatap Mavren. "Kalaupun aku melakukannya dan dia terluka, memangnya kenapa?!" ucapnya sedikit menantang.

Mavren terkekeh kecil, dia menepuk kepala Ivan dua kali sebelum menarik rambut Ivan kuat dan mendekatkan wajahnya hingga Ivan harus menahan nafas. "Jika itu terjadi, katakan selamat tinggal pada masa depanmu, Ivan."

Melepaskan jambakan dan beralih pada lengan Ivan kemudian beralih pada bahunya. "Bahu yang kau gunakan untuk menabrak adikku. Akan aku hancurkan hingga kau tidak sanggup bahkan untuk menggerakkan tangan. Kau juga akan terbangun tanpa kaki di pagi hari."

Ivan merinding sekujur badan. Menutup mata takut dan beringsut mundur menjauh dari Mavren. "Paman gila. Ayah sama sekali tidak terluka. Malah aku yang terjatuh disana."  Dari dulu Ivan memang tak mengenal jauh mengenai sosok pamannya itu. Dia hanya mendengar jika Mavren merupakan pribadi diam tapi menakutkan.

Dia tak menyangka bahwa sang paman sanggup untuk mengancam dirinya yang notabenenya keponakan Mavren sekaligus anak dari adikknya, Lorenzo.

Mavren menjauhkan tubuh. "Ya, memang benar. Harusnya kau lega karena kaulah yang terluka." Menarik badan, Mavren melangkahkan kakinya menjauh dari ranjang Ivan.

"Karena jika keadaan terbalik.. Kau akan merasakan apa yang paman katakan barusan, Ivander Jonathan."







To be continued..

Step Father - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang