Bagaimana jika aku mengabadikanmu dalam seni.
~Catrin.
"Semakin hari, rasa cintaku padanya semakin dalam," ungkapku dengan antusias. Meskipun dia hanya tokoh fiksi yang ku ciptakan sendiri, aku benar-benar jatuh cinta padanya. Setiap kali aku menuliskan ceritanya, aku seolah-olah hidup dalam dunianya, menjadi bagian dari kisahnya.
Catrin tersenyum lebar, tatapan matanya memancarkan binar kebahagiaan. Baginya, tokoh-tokoh yang ia tulis seakan menjadi sahabat karibnya, teman berbagi cerita dan perasaan. Ia begitu terhanyut dalam dunia imajinasi yang ia buat sendiri.
"Aduh, kebanyakan aku melamun lagi," gumam Catrin dengan rasa kepala yang penuh hayalan. Ia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengembalikan fokusnya ke layar laptop di hadapannya.
Jari-jarinya kembali menari di atas keyboard, berusaha meneruskan cerita yang sempat tertunda. Namun, pikirannya terus-menerus melayang ke dunia imajinasi yang baru saja ia ciptakan.
"Aku benar-benar harus bisa lebih terkendali," gumamnya sambil mengusap wajah. "Kebanyakan melamun tidak akan membuat ceritaku maju. Ayo, kembali ke dunia realita dan selesaikan tulisanku!"
Saat jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, Aku menyandarkan punggungnya dan merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal. aku menatap kembali layar komputer yang menampilkan hampir enam ratus kata yang telahku tulis. Sebuah senyum puas tersungging di wajahku. Meskipun masih ada banyak yang harus aku selesaikan, namun aku merasa bangga dengan apa yang telahku capai hari ini
Melihat jam dinding aku pun harus menyimpan dokumen tersebut dan mematikan komputer. kemudian aku beranjak menuju dapur, berniat membuat segelas teh hangat untuk menemaniku beristirahat sejenak.
Setelah selesai, aku minum teh. Tiba-tiba, rasanya mengantuk padahal baru pukul 20.30. Biasanya, aku tidur jam 03.00-an, bahkan lebih. Namun, kali ini, rasa ngantuk itu benar-benar tidak tertolong. Jam tidur memang suka-suka hatiku karena aku adalah seorang anak kos. Meskipun tidak jauh dari orang tua, aku lebih memilih untuk tinggal sendiri di kosan karena malas di rumah.
Walaupun rumahku dan kosan hanya berjarak 1 jam, namun rasanya di rumah dan kosan itu sangat berbeda bagiku. Itulah sebabnya aku memilih untuk tinggal sendiri di kosan. Di kosan, aku merasa lebih bebas dan bisa mengekspresikan diriku dengan lebih leluasa. Rasanya seperti memiliki ruang untuk menjadi diriku yang sebenarnya tanpa ada tekanan dari lingkungan sekitar. Di sinilah aku merasa bisa benar-benar menjadi diriku tanpa harus terbebani oleh ekspektasi orang lain. Kosan menjadi tempat di mana aku bisa merasa bebas untuk menjadi diriku yang sejati.
***
Grub WhatsApp NexGen:
"Besok ada jadwal pemotretan," ujar Javian, seorang produser di Agensi NexGen. Aku pun mengirimkan alamat tempat kami pemotretan besok pagi ke grup WhatsApp.
Kebetulan, tempat pemotretan kali ini berada di sebuah cafe yang terletak di tengah tengah kota.
||"Ayy ya yaa kapten," sahut Jova.||
||"Jangan Ayya Ayya Mulu, telat gw santet elu pada."||
||"Oh siap kapten, kita mah selalu on time ya, gak tau si Husen."||
||"Gw, diam aja Samsul, ngapa jadi bawa bawa nama gw ya bang?"||
||Bro, elu yang telat selalu aja telat."||
||"Gw telat juga kerna nungguin kuda jantan gw lahiran.||
||"Sen, ngomong ngomong kuda jantan, Thoriq umur 2 bulan sudah haji."||
||"Gak penting Kay."||
Malam itu juga aku menyiapkan kameraku dan tripod yang baru saja ku beli beberapa hari yang lalu. Agar besok pagi tidak ada yang ketinggalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)
Teen FictionNamun kamu menjadi tokoh yang begitu sempurna yang harus aku pamerin ke semua orang bahkan untuk semesta karena yang terbaik itu cuma kamu.