11. Antara dua pilihan

52 26 92
                                    

Karena ada nama yang harus diabadikan.

~Catrin.

Ada sesuatu yang membuatku merasa senang dan bahagia ketika aku dapat mengabadikanmu dalam cerita ini, menciptakan happy ending yang indah untuk kisah kita. Namun, ironisnya, ada juga sesuatu yang membuatku sedih ketika cerita yang begitu indah dalam fiksi berakhir dengan penuh kebahagiaan, namun kisah kita di dunia nyata justru kandas dan tidak berujung manis. Aku kembali membaca kutipan dari penulis yang ada di bab itu. Sudah dipastikan, jika cerita fiksi ini mengabadikan seseorang.

Selesai membaca beberapa paragraf, aku tersenyum. Ternyata cerita yang ia buat persis dengan kisah cintaku 5 tahun yang lalu. Membaca narasi itu, membuatku kembali mengingat masa-masa indah itu.

Saat itu, kami masih berstatus sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai. Hari-hari kami diisi dengan kencan romantis, berbagi cerita, dan membangun mimpi-mimpi untuk masa depan. Semuanya terasa begitu sempurna, seolah dunia hanya milik berdua.

Namun, seperti halnya cerita fiksi yang penuh dengan plot twist, kisah cinta kami juga tidak semulus yang tertulis. Ada banyak rintangan yang harus kami hadapi, mulai dari perbedaan latar belakang, tekanan dari keluarga, hingga kesibukan masing-masing yang membuat kami semakin jarang bertemu.

Perlahan-lahan, api cinta kami mulai meredup, hingga akhirnya padam sama sekali. Kami pun memutuskan untuk mengakhiri hubungan, dengan berat hati. Meskipun begitu, kenangan indah itu tetap tersimpan rapi di dalam hati, seakan menjadi inspirasi bagi penulis untuk mengabadikannya dalam sebuah cerita fiksi.

"Hahaha," tawaku kecil.

"Orang sekarang gamonnya sampai nerbitin buku ya, heran heran."

"Ini kalau dilihat-lihat, naskahnya sudah bagus. Dari segi bahasa sih, sudah oke. Terus, penggunaan tanda bacanya juga bagus. Oke lah, sudah bisa lah besok terjun ke meja desain. Fiksi sih ini," ujarku mengomentari naskah yang tengah kukerjakan ini.

"Ngomong-ngomong masalah naskah ini, seperti halnya ya sepertiku orang lamaku, Ervan. Dulu aku sangat mencintainya, namun masa itu telah habis. Sepenuhnya, aku belum bisa melupakan Ervan. Aku sengaja menonaktifkan akun sosial mediaku agar aku tidak melihat lelaki itu. Sudah 4 tahun sejak putus kami, lost kontak," sejak putus paginya aku langsung off semua sosmed.

"Kalau dipikir-pikir, masalah percintaan itu lucu banget. Kayak tiba-tiba antara dua pilihan: orang lama atau orang baru. Siapa pemenangnya? Tidak ada yang pasti sebenarnya.

Namun, kedua pilihan itu sama-sama tidak penting. Yang terpenting, cinta siapa yang paling besar di antara keduanya."

"Ais, sudahlah. Tidak penting juga mau membahas hal lampau yang tidak penting," aku kembali membenarkan naskah penulis tersebut.

***

"Sen," ujar Jovian.

"Apaan, Jo?"

"Sen," aku diam tidak melanjutkan nya lagi.
Karena sebenarnya tujuanku hanya ingin mengganggu anak ini.

Rasanya hidupku kalau tidak mengganggu husen  sangat sunyi, dan tak berwarna.

"Apasih bising kali!" Menaikkan nada suara.

"Udah jam 11 Sen, belum siap elu ngeditnya?"

"Belum, 10 menit lagi."

"Lo mau nasi goreng gak?" tawarku ke Husen.

"Tumben baik Jo, mau meninggal ya?"

"Heh! Astagfirullah congormu kayak gitu melebihi pedasnya mulut abu lahab."

"Ya tumben tumbenan aja biasanya elu kgak pernah tu buat nawarin," aku mengalihkan perhatian ke Arah Jovian, tumben tumbenan sekali dia mau membelikkan makanan.

"Sen, mau ga? Ditanyain malah diam ga jelas."

"Boleh deh kalau gitu1 bang, engga pedas gak pakai cabai rawit," pintaku ke Jovian karena aku tidak terlalu suka pedas.

"Oke, boleh."

"Ya, geraklah kenapa malah diam?"

"Sen, gini ya elu belum ngasih uang nya gimana gwe mau gerak anjir, duitnya dulu lah."

"Astaqfirullah sabar," mengelus dada sambil ngidein buat ngambil Kampak.

"Mending elu yang ngedit ini deh gw makan sendiri di luar."

"Yaelah sen jangan gitu napa, gw lapar njir duit gw habis, gw miskin Sen ayolah belik Nasik kita, gw beliin ke luar elu ngedit aja siap elu ngedit kita makan barang," aku masih ngarap ke Husen supaya dia memberikan duitnya dan kami makan nasi goreng.

"Yaudah nih nih beliin," aku menyodorkan uang seratus ribu untuk Jovian.

Setelah Jovi menerima uangnya dengan cepatnya jovian langsung pergi tanpa aba-aba.
Oh ya malam ini aku belum memberi kabar ke Catrin.

An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang