Selanjutnya apa yang akan aku tulis dalam berpuluh puluh paragraf panjang ini.
~Catrin.
"Bagaimana ujianmu, Catrin? Apakah berjalan dengan lancar?" tanya Maya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu bahwa Catrin pasti mampu menjawab soal Fonem dengan mudah.
"Aku berhasil menjawabnya, tapi rasanya kepala mau pecah," sahut Catrin.
"Untuk menghilangkan kegilaan ini, bagaimana kalau kita pergi nongkrong?" ajak Maya.
Catrin tampak lega mendengar ajakan Maya. Setelah melalui ujian yang menguji kemampuannya, Catrin membutuhkan istirahat sejenak untuk menenangkan pikirannya. Pergi nongkrong bersama Maya terdengar seperti ide yang bagus untuk melepas penat.
"Aduh gimana ya aku tidak bisa lagi mana kerjaanku juga banyak," karena beberapa hari ini aku benar benar sibuk untuk mengedit naskah penulis yang masuk selain kuliah aku juga bekerja di Penerbit jadi waktuku terbagi dalam dua hal untuk penerbit, dan kampus.
"Yah," satu kalimat yang keluar dari mulut Maya.
"Aduh, May maaf ya, aku benar-benar tidak bisa lagi. Mana kerjaanku juga banyak," keluhku, merasa tertekan dengan beban pekerjaan yang sudah
bertumpuk. Beberapa hari ini aku sungguh sibuk mengedit naskah penulis yang masuk. Selain kuliah, aku juga bekerja di penerbit, sehingga waktuku terbagi di antara dua hal tersebut. Waktu dan tenagaku sepenuhnya terserap oleh tugas-tugas ini."Ya, aku kira kamu tidak sibuk," nada dari Maya juga terdengar kecewa, membuatku merasa bersalah karena tidak bisa memberikan perhatian yang cukup.
"Mau gimana lagi, antrian terbit harus diutamakan. Kasihan para penulis yang bukunya akan segera terbit," ucapku dengan rasa sesal.
Setelah percakapan kami selesai di parkiran kampus, Maya dan aku harus berpisah. Maya pergi nongkrong ke kafe, sedangkan aku menuju pantai untuk melanjutkan pekerjaanku. Setiap sore, aku selalu pergi ke pantai. Rasanya, saat aku berada di pantai, sebagian bebanku lepas. Aku merasakan ketenangan meski sendirian. Senja yang indah menjadi energi dan penghibur bagiku.
Di tepi pantai, ditemani deru ombak dan angin sepoi-sepoi, aku merenung dan menghirup udara segar. Warna langit yang berubah-ubah saat matahari terbenam memberikan kesan damai dan keindahan yang tiada tara. Dalam momen-momen seperti itu, aku merasa terhubung dengan alam dan diri sendiri.
Catrin merasakan sedikit gemetar saat angin pantai menyapu lembut rambutnya. Dia duduk di pojok pantai yang terpencil, memandangi deburan ombak yang menghantam pantai dengan lembut. Suara ombak yang menggetar hatinya, seolah memberinya kedamaian yang dia butuhkan untuk kembali fokus pada pekerjaannya.
Dengan laptop di pangkuannya, Catrin merenung dalam keheningan pantai. Suasana sunyi, hanya diiringi suara angin sepoi-sepoi dan gemericik air, memberinya tempat yang tenang dan nyaman untuk memperbaiki naskah-naskah yang ada dalam laptopnya. Alunan musik alam yang lembut melebur dengan pikirannya, membawanya ke dalam dunia yang damai dan penuh inspirasi.
Matahari perlahan turun ke ufuk barat, mengecat langit dengan warna-warna merah jingga yang memesona. Sorot sinar senja yang hangat menyentuh wajah Catrin, memancarkan kehangatan dan ketenteraman di benaknya. Dia merasa seperti tenggelam dalam momen yang magis, dihadirkan oleh kecantikan alam yang luar biasa di depan matanya.
Pojok pantai itu, menjadi saksi bisu dari setiap kata yang diubah Catrin, setiap kalimat yang disusun ulang, dan setiap ide yang berkembang. Rasa nyaman dan damai yang ia rasakan, membiarkannya tenggelam sepenuhnya dalam kreativitasnya, tanpa terganggu oleh keramaian dan hiruk pikuk kota.
Sejenak, Catrin merenung, menghirup udara segar, dan merasakan kehadiran dirinya yang paling otentik di tengah pesona alam. Di pojok pantai itu, ia menemukan ketenangan dan inspirasi yang dia cari untuk terus memperbaiki tulisan tulisan yang ada di naskah penulis.
Hasiim," suara barsim dari mulut Catrin mlepaskan suara yang kuat, memecah kesunyian pantai dan membuat Husen terkejut.
"Buset, siapa itu?" gumam Husen, matanya melirik ke sekeliling pantai yang sunyi. Meskipun pantai terlihat sepi, tetap tak ada sosok manusia selain aku, yang biasanya pulang agak larut.
"Jangan-jangan ini sosok penunggu pantai kemarin," batin Husen, disertai perasaan aneh yang merayapi dirinya.
Namun, sementara itu, Catrin tanpa mempedulikan reaksi Husen,karena ia tidak tahu menahu tentang Husen yang ada si pantai jadi Catrin tetap fokus pada urusannya. Meskipun suaranya terdengar kuat, dia asyik mengedit naskah tanpa menyadari keberadaan Husen yang masih sibuk memotret senja di sekitar pantai.
Catrin merasa bahwa tidak ada yang mendengarkan suaranya, dan dia merasa tenang sekaligus terhanyut dalam pekerjaannya. Tidak terlintas di kepalanya bahwa ada orang lain di sekitar pantai. Husen yang terkejut.
"Hmm, yakali siapa tahu memang benar ada penghuni di pantai ini. Plis, aku cuma mau ngambil foto doang, enggak ngeganggu," gumam Husen dengan raut wajah takut dan ekspresi konyolnya terpancar jelas.
Dengan hati yang mulai berdebar, Husen memperhatikan setiap sudut pantai dengan cermat, mencoba melacak keberadaan siapapun yang mungkin berada di sekitar. Suara ombak yang tenang terasa seperti menambah misteri dan ketegangan di udara.
"Perasaan kayak ada suara yang ngomong, tapi siapa sih. Udah mau jam tujuh, masih ada orang di pantai," ujarku sambil memperhatikan sekeliling dengan cemas. Kesunyian dan khayalan mungkin mulai mempengaruhi kesadaranku. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk mematikan laptopku sebelum pulang, dan aku merasa perlu memastikan apakah benar ada seseorang di sekitar pantai atau hanya imajinasi belaka.
Aku meraih dua batu yang berada di dekatku, menapaki langkah hati-hati menuju garis pantai. Dengan keteguhan hati, aku mengangkat tangan dan melemparkan kedua batu tersebut ke dalam ombak. Suara gemerincing batu bertabrakan dengan air, memecah kesunyian pantai dan menyelidiki kediaman misterius yang ada di balik kegelapan.
"Ampun, siapa itu!" seru Husen takut.
"Tuhkan, ternyata benar ada orang selain aku di pantai ini," akhirnya aku pun membersihkan peralatanku yang masih berserakan di bawah.
Aku bangkit, kemudian aku memperhatikan ternyata ada seseorang laki-laki yang berdiri agak jauh dari posisi tempatku. Aku datang menghampirinya tanpa ragu.
"Kamu," kata lelaki yang kuhampiri itu.
"Kamu penunggu pantai ini?" tanya Husen.
"Penunggu pantai apanya, Matamu. Aku manusia, lah. Aku juga mau pulang."
"Jadi, kamu bukan siluman?"
"Lah, orang seperti aku dibilang siluman? Yang bener aje ya bukanlah. Aku manusia. Lagian, juga memang ada siluman secantik aku," cetusku dengan sangat amat pd.
"Berarti yang semalam kamu ya?" tanya Husen ragu.
"Yang mana?" sahutku.
Husen mengeluarkan kameranya dan menunjukkan foto yang diambilnya semalam itu.
"Benar, itu aku. Sudahlah, aku mau balik, Kamu lama lagi di sini? Awasloh entar ketemu sama siluman pantai yang asli tah" celetukku sambil tersenyum ke arah lelaki yang ada di hadapanku saat ini.
"Hust, lambemu engga dijaga, ini juga aku mau pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)
Teen FictionNamun kamu menjadi tokoh yang begitu sempurna yang harus aku pamerin ke semua orang bahkan untuk semesta karena yang terbaik itu cuma kamu.