15. Ruang untukku

23 12 69
                                    

Dunia ini terlalu jahat buat anak perempuan sepertiku.

~Catrin

"Naskah yang lain sudah siap. Tinggal punya kamu saja yang belum selesai. Kamu mau berapa lama lagi menyelesaikannya?" tanya Kak Citra meninjau pekerjaanku.

Ia selalu seperti ini, Catrin selalu dikejar deadline.

"Sebentar lagi, aku masih memperbaikinya. Ada beberapa yang belum selesai," tukasku.

"Selesaikan cepat. Pokoknya, dua hari ini harus selesai ya," ujar Kak Citra.
Lalu, ia pun berpindah meja untuk mengontrol editor lain.

"Adohai," Aku kembali meneliti tiap kalimat yang ada di depan layar komputer dan merapikan tanda bacanya yang tidak teratur.

Aku memicit keningku, merasa sudah pusing melihat kalimat huruf demi huruf yang ada di depanku. Aku mengambil ponselku yang ada di dalam laci.

"Hidup lagi capek capeknya masalah malah kyak pasukan salib nyerangnya adohai kepalaku hampir pecah," monologku.

"Kak," hal yang pertama aku lihat saat aku pertama kali mengaktifkan dataku.

"Kak," hal yang pertama aku lihat saat aku pertama kali mengaktifkan dataku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Pesan dari Alaka)

"Apalah anak ini," dalam hatiku.

Aku kembali mematikan data di ponselku agar tidak ada notifikasi yang masuk dari aplikasi atau layanan lain yang mungkin mengganggu fokusku.

"Aih, banyaknya kerjaan ini," protesku sendiri sambil menghela nafas.

Rasanya naskah yang harus diedit ini sangat bertumpuk-tumpuk dan terasa tidak ada titik selesainya.

Bahkan saat jam istirahat tiba, aku masih terus menghadap layar komputerku.

"Cat, ayo istirahat dulu," ajakku.

"Deluan aja, Kak. Aku masih kenyang," jawab Catrin. Memang benar, aku masih kenyang karena sejak tadi sudah menghabiskan 5 gelas kopi lebih.

Aku kembali membuka ponselku dan menghidupkan kembali data internetnya. Tiba-tiba, aku mendapatkan notifikasi dari Alaka.

||"Kak, pulang dong. Papa, sama mama sudah dua hari ini enggak pulang. Alaka takut di rumah sendirian terus," pesan Alaka.||

||"Kakak belum bisa pulang. Kamu juga nggak apa-apa kan mandiri lah sesekali," balasku.||

||"Apalah, Alaka masih kecil, Akak? Alaka baru berusia 8 tahun dan Alaka sudah dua hari tidak makan. Untung saja ada Cici yang mau memberikan makanan untuk Alaka."||

||Ini papa, sama mama kamu kemana emangnya? Kok bisa bisanya mereka ninggalin kamu selama itu?||

Tanyaku geram, orang tua mana yang Setega itu meninggalkan anak mereka yang masih sekecil itu, jika aku ditinggalkan sendiri juga tidak masalah. Masalahnya Alaka anak seumur 8tahun harus tinggal di rumah sendiri.

||"Mereka berantam kak, mereka sudah gak sayang kita ya?"||

"Sial," upatku kesal melihat kedua orang tua yang tidak ada otak itu.

||"Kamu doain kerjaan kakak cepat selesai ya,"|| balasku sambil mengakhiri pesan dengan Alaka.

Akhirnya, saat itu juga, aku memutuskan untuk meminta izin libur beberapa hari. Aku merasa khawatir mengetahui adikku sendirian di rumah dalam keadaan seperti itu. Aku takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi padanya, apalagi dia masih tergolong kecil dan belum mengerti apa pun.

Aku memohon izin sementara waktu ke Kak Citra dan atasan, dan akhirnya mereka memberikan izin, namun dengan satu syarat: aku harus menyelesaikan editing naskah itu.

Hal itu sebenarnya tidak sulit karena aku bisa mengerjakannya di rumah.

***

"Assalamualaikum, Al," ujarku sambil mengetuk etuk pintu.

"Waalaikumsalam," suara kecil itu terdengar sangat lembut. Aku tersenyum mendengar suara Alaka, rasanya sudah lama aku tidak mendengar suara Alaka sejak aku keluar dari rumah ini. Dan sekarang aku sudah semester4.

Alaka membukakan pintu, ia terkejut  penuh haru. Alaka langsung memelukku erat erat, ia juga menangis dipelukan.

"Kak aku rindu denganmu," ucap Alaka dipelukanku.

"Sama kakak juga rindu bangat sama kamu, dek," Alaka kira dia saja yang rindu padahal aku juga merindukannya.

"Sudah ayo kita masuk," kami berdua sama sama memasuki rumah, aku menggandeng tangan Alaka.

Aku berjalan ke arah dapur dan dengan jelas melihat beberapa pecahan kaca yang berserak di lantai, sepertinya terjadi pertengkaran hebat sampai segininya. Aku menyapu kepala Alaka karena kasihan padanya harus menyaksikan pertengkaran yang seharusnya tidak ia saksikan.

Tidak ada bumbu di dapur, bumbu-bumbu juga sudah habis. Akhirnya, siang itu aku memesan makanan untuk kami berdua.

Melihat Alaka makan, aku merasa kasihan padanya karena harus menanggung semua ini sendirian. Aku tidak berani menanyakan apa pun ke Alaka, karena aku tahu dia pasti trauma melihat kejadian ini.

"Utuh, tapi berantakan. Ada, tapi hilang peran. Nyata, namun menyakitkan."

"Tidak ada ruang di keluarga ini untukku bercerita, untukku mengeluh, untukku mengungkapkan kesahku, atau bahkan sekedar bercanda. Mereka hanya tahu menyalahkan satu sama lain, dan adu bacot, dengan ego tinggi tanpa memikirkan anak-anaknya. Keluarga macam apa ini," dalam hatiku, aku bertanya-tanya. Aku sendiri tidak tahu, yang katanya rumah justru membuat luka.

Namun, yang paling kasihan adalah Alaka. Ia tidak mendapatkan peran orang tua yang seharusnya. Bagaimana selama ini kehidupan Alaka dirumah, yang isinya penuh dengan makian dan kekerasan ini? Bahkan dalam lingkungan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan keamanan, Alaka malah harus bertahan dalam suasana yang penuh dengan ketidakadilan dan kekerasan.

"Setan," aku hanya bisa mengupat dalam hati, aku tidak mau Alaka mendengar kata kata kotor yang keluar dari mulutku.

An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang