18. Mari kita buat rumah baru

46 24 120
                                    

Beberapa perawat masuk ke dalam ruangan Alaka untuk mengecek infus dan memberikan obat untuk sore nanti. Aku bertanya,

"Bagaimana keadaan adik saya, Sus?" Aku berharap Alaka. "Sedikit memilih, Alaka harus banyak beristirahat. Oh iya, untuk biaya perawatan bisa dibayar ke kasir," ujar perawat tersebut sambil meninggalkan kamar kami.
Aku pergi ke rooftop rumah sakit, bingung bagaimana aku bisa membayar biaya perawatan adikku. Uang yang kumiliki tidak mencukupi.

Di atas rooftop, aku merenung sendirian. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku putuskan untuk menghubungi ibuku. Aku harap ibuku akan mengangkat teleponku, bagaimana mungkin seorang ibu tega mendengar kabar anaknya yang sakit.

Aku mencoba menelepon ibuku beberapa kali, namun tidak ada balasan. Bahkan teleponku tidak diangkat.

"Ayolah," pikirku sambil mencoba menelepon ibuku lagi.

"Alaka, kamu di sini sebentar ya. Kakak mau keluar sebentar," ujarku berpamitan.

"Kakak mau kemana?"

"Kamar mandi," aku buru buru langsung ke luar.

"Kamar mandi? Bukannya kamar mandi di sebelah sana," di belakang samping ranjang sebelahku.

Aku pergi ke rooftop rumah sakit, bingung bagaimana aku bisa membayar biaya perawatan adikku. Uang yang kumiliki tidak mencukupi.

Di atas rooftop, aku merenung sendirian. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku putuskan untuk menghubungi ibuku. Aku harap ibuku akan mengangkat teleponku, bagaimana mungkin seorang ibu tega mendengar kabar anaknya yang sakit.

Aku mencoba menelepon ibuku beberapa kali, namun tidak ada balasan. Bahkan teleponku tidak diangkat.

"Cih, sama saja," teleponku tidak diangkat diabaikan begitu saja.

Namun sama saja tidak ada jawaban darinya.

"Hufft," aku menarik napas dalam-dalam, hembusan napasku terbawa angin sepoi-sepoi yang melintas.  Udara terasa dingin di paru-paruku, menusuk hingga ke tulang, seperti menusuk hatiku yang tengah dipenuhi keputusasaan.

"Baiklah, jalan satu-satunya adalah membongkar celenganku sendiri," ujarku lirih, suara serakku bergema di ruangan kosong ini.

Detik itu juga, aku langsung beranjak dari tempat dudukku, melangkah gontai menuju pintu.  Langkahku berat, seakan terbebani oleh beban yang tak tertanggungkan.  Aku keluar dari ruangan itu, meninggalkan suasana sunyi yang mencekam.

Rumah ini, rumah yang dulu dipenuhi tawa dan keceriaan, kini terasa begitu sepi.  Sepi seperti kuburan, sunyi seperti padang pasir.  Tak ada suara, tak ada tawa, tak ada tangis, hanya ada keheningan yang mencekam.

Dinding-dinding rumah ini seakan berbisik, menceritakan kisah sedih tentang masa lalu yang indah.  Kisah tentang keluarga yang bahagia, tentang canda tawa yang tak pernah berhenti, tentang kasih sayang yang begitu hangat.  Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.

Rumah ini bagaikan mayat hidup, kosong dan hampa.  Hanya sisa-sisa kenangan yang masih tertinggal di setiap sudut ruangan. 

***

"Kak, aku beban ya buat kakak?" tanya Alaka, suaranya lirih, matanya berkaca-kaca.

"Beban apa kamu ngomong gitu? Kamu ngomong apaan sih?" tanya Catrin, suaranya lembut, matanya menatap Alaka dengan penuh rasa iba.

Alaka menunduk, jari-jarinya menggenggam kuat selimut. "Gara-gara Alaka, kakak jadi punya tanggungan seperti ini. Kakak harus kerja keras, kakak harus ngurus Alaka, kakak..."

Catrin mendekati Alaka, memegang bahunya. "Aih, berhenti ngomong gitu! Kakak bukan seperti orang tua sialan itu yang membiarkan kamu harus sendiri. Kakak nggak pernah ngerasa terbebani, malah kakak senang bisa ngurus kamu."

Alaka mendongak, matanya masih berkaca-kaca. "Kakak..."

"Udah sekarang kamu istirahat dulu ya di sini. Nanti kakak bikinin susu hangat, ya?" kata Catrin, menatap Alaka dengan penuh kasih sayang.

Alaka mengangguk pelan, air matanya menetes perlahan. Catrin tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa sedihnya. Ia tahu, luka di hati Alaka masih begitu dalam. Luka yang disebabkan oleh orang tua mereka yang tak bertanggung jawab.

Catrin berjanji pada dirinya sendiri, ia akan selalu ada untuk Alaka. Ia akan menjadi kakak, sahabat, dan orang tua bagi Alaka. Ia akan melindungi Alaka dari segala bahaya, dan ia akan memastikan Alaka mendapatkan kebahagiaan yang pantas ia dapatkan.

"Kakak selalu ada buat kamu, Alaka. Selalu," kata Catrin, sambil mengelus rambut Alaka.

"Kak..." jawab Alaka, menatap Catrin dengan mata berkaca-kaca.

Catrin mencium kening Alaka. "Tidur ya, sayang."

Catrin keluar dari kamar, meninggalkan Alaka yang tertidur lelap di ranjang. Ia menatap punggung Alaka yang tertidur, hatinya dipenuhi rasa sayang dan tanggung jawab.

An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang