19. Mantan Catrin?

32 13 33
                                    

Seiring berjalannya waktu, hubungan kami berdua terasa semakin renggang.  Chatting yang dulu menjadi rutinitas kami, kini terasa sepi dan jarang terjadi.  Entah apa yang terjadi, baik aku maupun Catrin seperti kehilangan keinginan untuk saling mengabari.  Kami berdua seakan terjebak dalam kesibukan masing-masing, dan perlahan-lahan, komunikasi kami pun memudar.

Akhirnya, setelah sekian lama terdiam, aku memberanikan diri untuk menyapa Catrin lewat pesan.  Rasa rindu dan keinginan untuk kembali terhubung dengannya mengalahkan rasa takutku.  Aku tidak ingin hubungan kami menjadi asing,  aku ingin tetap menjaga ikatan batin yang pernah kami rajut.

  Aku tidak ingin hubungan kami menjadi asing,  aku ingin tetap menjaga ikatan batin yang pernah kami rajut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




"Husein," sapa Ervan, suara khasnya terdengar ramah di telingaku.

"Oii," sahutku singkat. Aku dan Ervan memang tak begitu akrab, hanya sebatas rekan kerja yang jarang ngobrol.

"Eeh, elu mau kopi gak? Nih, gw beliin buat elu," tawar Ervan, membuatku sedikit terkejut.

"Seriusan nih?" tanyaku ragu, tak percaya dengan tawarannya.

"Iya, beneran lah. Kita kan rekan kerja ya kali," jawab Ervan sambil tersenyum.

"Anjay, makasih loh Van," kataku, merasa sedikit terharu dengan kebaikannya.

"Van? Vantek?" Ervan mengerutkan kening, bingung dengan panggilan yang disingkat, Husen.

"Gak lah, singkatan namamu. Ervan sama dengan Van," jelasku sambil terkekeh.

Ervan pun terdengar suara dari mulutnya teerkekeh.

"Ehh, jam setengah sepuluh nanti kita mulai pemotretan ya," cetusku sambil menghirup kopi dari Ervan.

"Aman, gw sarapan dulu bentar," jawab Ervan. Ia pun mengambil sarapan yang sudah dibelinya sebelum ke studio, dan membawanya ke dekat Husen yang sedang duduk sendirian.

"Husen, kamu pernah gak rindu sama mantanmu?" tanya Ervan spontan, membuat Husen sedikit terkejut.

"Engga pernah, gak punya haha," jawab Husen sambil tertawa, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Seriusan lah Husen, wajar gak sih kalau gw kangen sama mantan gw? Kami sudah asing selama 4 tahun, namun beberapa minggu lalu aku melihatnya di kota ini. Aku kangen dia," ujar Ervan, suaranya terdengar sedikit sendu.

Sesi curhat pun dimulai antara aku dan Husen.

"Kenapa gak balikan aja?" tanyaku, berharap bisa memberikan saran untuk mereka.

"Gak bisa Husen, kami udah asing banget. Lagian dia engga mau kembali. Aku cuma bisa melihat IG nya doang," jawab Ervan, raut wajahnya tampak sedikit sedih.

"Ehh, spil dong IG nya," ucapku penasaran.

Tanpa rasa ragu, Ervan menunjukkan IG Catrin, orang yang Husen kenal. Husen terdiam sejenak, matanya terbelalak kaget.

"Catrin?," ucaoku, mulutku tidak bisa menahan untuk mengeluarkan nama Catrin. Husen, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ia, dia.  Kenapa? Kamu kenal dia?" tanya Ervan, heran dengan reaksi Husen.

"Kenal, tapi kenal gitu aja," aku menelan ludahku.

"Dia mantan aku yang masih selalu aku ingat," ujar Ervan.

"Catrin mantanmu ya? Kamu masih sayang samanya?"

"Masih, tapi takdir berkata lain, ya sudahlah."

***

Pagi ini, aku harus segera bergegas ke sekolah, Kak, karena aku punya urusan penting yang harus diselesaikan. Aku ingin mengurus surat pindahnya, dan aku tidak ingin terlambat.

"Alaka, kamu jangan kemana-mana ya, kamu di rumah aja," ujarku, mengingatkan adikku sekali lagi. Kondisi Alangkah yang belum sembuh total membuatku khawatir.

"Ia, Kak. Eh, tapi ngomong-ngomong, Kakak mau kemana?" tanya Alaka penasaran.

"Mau ke sekolah kamu, mau ngurus surat pindah. Yaudah, Kakak pergi dulu. Ingat, kamu harus istirahat di rumah aja, oke?" kataku sambil mengelus rambutnya lembut.

Aku pun langsung bergegas menuju sekolah, meninggalkan Alangkah yang masih terbaring lemah di ranjang. 

Aku terpaksa memilih rawat jalan, Alaka meskipun sebenarnya lebih nyaman dirawat di rumah sakit. Keadaan ekonomi dan keuangan tabunganku yang sudah menipis membuatku harus berhemat. Terlebih lagi, uang semester yang harus segera dibayarkan semakin menekan. Aku berharap dengan rawat jalan.

Sesampainya di sekolah dasar Alaka, aku langsung menuju ruang kepala sekolah.  Aku tidak ingin membuang waktu dan segera mengurus surat pindah adikku. 

"Kenapa Alaka mau pindah? Padahal Alaka itu anak yang pintar," puji kepsek Alaka.

"Mau gimana lagi buk, soalnya juga engga ada yang ngurus Alaka selain saya, mangkanya saya mau bawa Alaka ke kosan saya. Kalau Alaka di sini ia pasti tinggal sendiri, terlebih lagi saya kan kerja jadi tidak bisa tiap hari pulang menjenguk Alaka. Makanya saya mau bawa dia," jelasku.

"Loh, emang orang tua kalian kemana?" mengerutkan kening heran mendengar penjelasan Catrin.

"Ada kok buk, cuma perannya aja yang gak ada buat Alaka."

"Oh, ia ia saya mengerti."

Kepala sekolah kemudian mempersiapkan surat pindah Alaka dengan cermat. Dia mengambil formulir yang diperlukan, mencatat informasi yang relevan, dan memastikan semua persyaratan terpenuhi. Dengan cermat dan teliti, kepala sekolah menuliskan surat pindah Alaka dengan rapi dan jelas, mencantumkan alasan pindah dan detail lain yang diperlukan. Setelah selesai, kepala sekolah memberikan surat pindah tersebut kepada Catrin.

Setelah selesai mengurus surat pindah Alaka di sekolah, sebelum pulang, aku memutuskan untuk singgah sebentar ke toko roti untuk membelikan beberapa roti untuk Alaka.

Kedatangan di toko roti disambut dengan aroma harum roti yang baru matang. Aku melihat berbagai macam roti yang menggoda di rak-rak toko. Dengan hati yang hangat, aku memilih beberapa roti favorit Alaka, termasuk roti cokelat dan roti keju yang pasti akan membuatnya senang.

Setelah memilih roti yang diinginkan, aku membungkusnya dengan rapi dan membayar di kasir.

Tok ... Tok ...

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, namun karena kepalaku masih terasa pusing, aku tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Aku hanya bisa membiarkannya dan bertanya-tanya mengapa Catrin belum pulang.

"Kok Kak Catrin lama pulangnya ya," ucapku pelan.

Suara pintu terus-menerus diketuk, namun aku tidak bisa berbuat banyak karena kondisiku yang tidak memungkinkan untuk bangkit.

"Mas, apa anakmu lagi keluar?" tanya seorang wanita muda di samping Parleo, papanya Catrin.

"Gak tau, dasar anak sialan, sudahlah kita ke hotel saja," ungkap Parleo dengan rasa kesal.

Akhirnya, suara ketukan pintu reda dan mereka pergi dari situ.

An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang