17. Hidup untuk Alaka

56 18 43
                                    

Yang boleh ngerasain semua ini cuma aku. Alaka jangan.

Menanggung beban sendiri yang cukup berat dalam keadaannya begini, aku rasa aku lebih baik mati.

Tin tin tin!

Suara klakson mobil bergema, memecah kesunyian.  Seorang lelaki, yang wajahnya asing bagiku, keluar dari mobil. Sosoknya tinggi dan tegap, terbungkus kemeja putih yang tampak rapi.  Aku tak mengenalnya, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku sedikit gugup.

Mamaku, yang baru saja keluar dari rumah, langsung menghampiri lelaki itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya, dan aku bisa merasakan kehangatan dalam tatapannya.  Mereka berbisik sesuatu, dan aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.  Seolah-olah dunia di sekitarku memudar, hanya tersisa suara detak jantungku yang berdebar kencang.

Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan beriringan, meninggalkan aku sendiri di halaman rumah.  Aku tak tahu ke mana mereka akan pergi, namun rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur aduk dalam hatiku.  Aku hanya bisa berdiri terpaku,  menyaksikan punggung mereka yang semakin menjauh,  hingga akhirnya menghilang di balik rimbunnya pepohonan di ujung jalan.

Aku memutuskan untuk membiarkan mereka pergi.  Mungkin ini adalah urusan mereka, dan aku tak perlu ikut campur.

Hidupku sudah capek, beban pikiranku sudah banyak. Aku tidak mau menambah hal-hal yang seharusnya aku pikirkan.

"Astaga editanku," aku baru teringat pekerjaanku.

Tangan-tanganku bergerak cepat, meraih laptopku yang tergeletak di meja.  Aku butuh segera menyelesaikan pekerjaan ini.  Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi hidungku,  mengusir sedikit kantuk yang mulai menggerogoti pikiranku.  Seteguk kopi hangat menyapa tenggorokanku,  memberikan sedikit energi untuk memulai kembali.

Di ruang tamu,  aku duduk di sofa kesukaanku,  laptop terentang di atas meja kecil.  Kursor berkedip-kedip di layar,  menunggu sentuhanku untuk memulai proses editing naskah.  Kata demi kata,  kalimat demi kalimat,  aku telusuri,  mencari kesalahan dan kekurangan.

Bagaimanapun,  aku harus menyelesaikannya juga. Karena aku telah berjanji kepada Kak Citra yang harus ditepati. 

***

"Alaka, Al," aku masuk ke dalam kamar untuk membangunkan anak kecil itu. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 lewat, Alaka masih saja terlelap dibungkus dengan selimut Hello Kitty kesayangannya itu.

"Dek, bangun. Udah jam 06.00 lewat, loh. Ini kamu harus siap-siap ke sekolah," ucapku.

"Al," sekali lagi aku membangunkannya, berharap ia mendengarkanku.

Tidak ada sahutan dan tidak ada reaksi apa pun dari Alaka. Hari ini aku sendiri yang membukakan selimut itu. Di balik selimut yang menutupi tubuhnya, badan Alaka begitu panas. Wajahnya pucat, menjelaskan Alaka sakit.

"Astaga, Alaka," aku terkejut panik mendapati adikku panas tinggi.

"Kamu sakit ya," aku pun kucar-kacir buat mengambil kompresan. Sialnya, tidak ku temukan kompresan itu. Akhirnya, aku hanya bisa mengompres pakai kain dan air dingin sebagai bentuk penyelamatan sementara.

"Yaampun dek."

Bagaimanapun juga, Alaka harus segera dibawa ke rumah sakit.  Demamnya yang tinggi, jika dibiarkan, akan semakin memburuk.  Risiko komplikasi akan meningkat,  dan itu bukan sesuatu yang ingin ku hadapi.

Sesampainya di rumah sakit, dokter memeriksa Alaka dengan saksama.  Wajahnya serius,  mencerminkan keprihatinan.  "Alaka harus dirawat inap,"  ujarnya,  suaranya tegas.  "Demamnya tinggi,  dan di sini dia bisa mendapatkan perawatan khusus yang dibutuhkannya."

Aku terdiam sejenak,  mencoba mencerna kalimat dokter itu.  Bagaimana aku bisa membantahnya?  Demi Alaka,  apa pun akan aku lakukan.  Aku tak ingin melihatnya menderita.

"Baiklah,  Dokter,"  kataku,  suara  ku  bergetar  sedikit.  "Saya setuju dengan saran Anda."

Namun,  seiring dengan rasa lega karena Alaka akan mendapatkan perawatan terbaik,  sebuah pertanyaan muncul di benakku.  Bagaimana aku bisa membayar biaya rumah sakit ini?  Pikiran itu menghantuiku,  menyerbu ketenangan yang baru saja kurasakan.

Aku mencoba menepisnya.  "Jangan dipikirkan dulu,"  gumamku dalam hati.  "Fokuslah pada Alaka.  Dia yang terpenting sekarang."

An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang