13. Pergi yang jauh

37 13 105
                                    

"Tau gak," kalimat pertama yang aku dengar keluar dari mulut Maya, sekaligus kalimat pembukaan untuk berbuat dosa alias menggibah.

"Apaan?" tanyaku, duduk di samping bangku Maya. Melihat raut wajah Maya membuatku semakin penasaran mengenai apa yang manusia serba tahu ini. Kalau ingin mengetahui masalah pergibahan terbaru dan terhot, tanyakan saja pada Maya - dijamin tidak akan mengecewakan.

"Katanya si Ervan pulang, dan tau gak dia sekarang sudah menjadi model ya?"

"Ervan? Ervan Danaran?" tanyaku, berusaha meyakinkan pikiranku sendiri.

"Iya, Catrin, mantanmu lebih tepatnya."

"Kok bisa? Mau ngapain dia ke mari lagi?" Aku mengerutkan kening, semakin penasaran dengan apa yang akan Ervan lakukan di sini.

"Aku dengar, dia ke mari itu karena ada job di sini selama dua bulan atau berapa gitu. Cielah, Cat, kamu pasti kangenkan sama Ervan," celotehku mengejek Catrin.

"Ih, apaan sih kamu ini? Udah gak ada hubungan apa-apa aku sama dia, bahkan aku sudah melupakannya."

"Hleh, masa' baru satu hari, satu minggu, satu jam aja aku temenan sama kamu, Cat, apa susahnya bilang? Padahal kan emang kamu kangen sama dia."

"Ih, udahlah, gak usah bahas dia lagi. Mending kita ngide buat ujian ini."

"Halah, malas banget aku. Kamu aja deh yang serahkan jawabannya ke Tuhan, benar salah gak penting, modal bismillah aja, Cat," celotehku.

***

Suasana di luar gelap, bintang bintang bersinar di langit bersama dengan cahaya bulan menyinari bumi sebagai pengganti matahari, udara tenang dan sejuk, dan lampu lampu jalan menyala, orang orang yang mulai beristirahat setelah hari yang panjang tetapi tidak denganku, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk memikirkan riuh kepala.

Aku duduk di tepi tempat tidur, lututku ditekuk erat ke dada. Tubuhku sedikit bungkuk, seolah-olah beban pikiranku membuatku meringkuk. Pandanganku kosong, tertuju pada titik tak tentu di hadapanmu. Pikiranku berkecamuk, dipenuhi oleh bayangan Ervan. Sebuah perasaan berat menyelimuti hatiku, seolah-olah sebuah batu besar menindih dadaju. "Tidak mungkin ia kembali kemari," gumamku pelan, suara itu teredam oleh kesedihan yang membayangi.

Aku merasa hampa, seolah-olah ada ruang kosong di dalam diriku yang dulu dipenuhi oleh Ervan. Kehadirannya terasa begitu nyata, namun tak terjangkau. Keinginan untuk bertemu kembali dengannya terasa begitu kuat, namun kenyataan pahit menghalangi.

Setelah 4 tahun semenjak aku dan Ervan putus, aku menonaktifkan semua media sosialku, hanya WhatsApp yang masih aktif, bahkan Instagramku saja sudah ku nonaktifkan.

Sekarang, saat aku berpikir, "Apakah aku harus kembali?" Rasanya berat jika aku harus melihat Ervan sudah memiliki pasangan baru.

Setelah berdebat panjang dengan pikiran sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk mengaktifkan kembali akun tersebut. Setelah 4 tahun absen, aku kembali ke dunia media sosial.

Orang pertama yang menchat aku

"Kamu lucu," membaca pesan Ervan yang itu aku tersenyum sendiri.

Namun aku tidak ingin dia kembali serindu apa pun aku dengannya.
Aku ingin dia pergi, pergi yang jauh.
Tidak ada kata balikan untuk dia yang sudah meninggalkan.

***

Pagi itu, Husein dan timnya tiba tepat waktu di lokasi pemotretan. Tak berapa lama, Ervan, model untuk sesi kali ini, juga sudah sampai. Tanpa basa-basi, mereka langsung memulai sesi pemotretan pertama.

Suasana kebersamaan dan kerja sama tim terasa begitu kental di antara mereka. Husein juga memberikan arahan kepada Ervan, sementara Jova dan anggota tim lainnya dengan sigap menyiapkan peralatan dan menjaga kualitas pencahayaan.

"Husein, bagaimana dengan pose ini?" tanya Ervan, mencoba berpose dengan gaya yang diarahkan oleh Husein.

"Hmm, coba sedikit ke kiri lagi, dan angkat dagumu sedikit. Bagus, itulah posenya!" jelas Husein, memandu Ervan untuk mendapatkan pose terbaik.

Selain itu, Jova bekerja keras untuk menstabilkan kamera dan memastikan pencahayaan yang sempurna. Lampu tambahan diposisikan dengan hati-hati untuk memberikan efek yang diinginkan oleh Husein.

"Jova, bisa kamu merendahkan sedikit cahaya di sebelah kanan? Ya, seperti itu. Bagus, pertahankan posisinya," arahkan Husein kepada Jova untuk menyesuaikan pencahayaan.

Waktu pemotretan berlangsung sekitar enam jam, dimulai dari pagi hingga sore. Selama periode itu, Husein dan timnya fokus untuk mendapatkan hasil foto terbaik dengan menjaga setiap detail dan ekspresi dari Ervan. Setiap momen di sesi pemotretan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menciptakan karya yang memukau.

Dalam pemotretan, Husein memberikan arahan secara terperinci kepada Ervan mengenai pose yang diinginkan. Dia memandu Ervan untuk mengatur posenya, mulai dari ekspresi wajah hingga penempatan tubuh agar sesuai dengan visi fotografi Husein. Selain itu, Jova dan timnya mengatur pencahayaan dan stabilisasi kamera agar hasil foto menjadi lebih menonjol dan dramatis. Dengan kerjasama yang baik antara Husein, Ervan, dan timnya, mereka berhasil menciptakan sesi pemotretan yang sukses dan menghasilkan foto-foto yang memukau.

"Akhirnya selesai," ujar Husen.

An eternity (SEBAGIAN PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang