Dua hari sebelum proses ta'aruf, William bersiap diri dengan mencari tahu apa saja yang dilakukan saat proses ta'aruf. Dia menghabiskan waktu di kamarnya setelah pulang kerja, membaca berbagai artikel dan buku tentang ta'aruf. Sesekali, dia berbicara sendiri, mencoba memahami dan mempersiapkan diri secara mental.
"Baik, William, lo harus tenang. Ta'aruf itu proses yang sakral dan penting. Fokus pada kejujuran dan kesungguhan," ucap William pada dirinya sendiri sambil membolak-balik halaman buku.
Dia berhenti sejenak, menatap ke luar jendela, lalu melanjutkan, "Oke, aku harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Aisyah dan juga Umi nya. Pertanyaan tentang visi hidup, tentang masa depan, tentang bagaimana aku melihat peran keluarga dalam hidupku."
William menghela napas panjang. "Aisyah dan Umi nya pasti ingin tahu Bagaimana aku membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, Aku harus jujur dan terbuka tentang itu."
Dia bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruangan. "Aku juga harus siap menjelaskan tentang nilai-nilai yang kupegang. Tentang apa yang aku anggap penting dalam sebuah hubungan. Bagaimana aku melihat peran suami dan istri dalam keluarga."
William tersenyum, merasa lebih tenang. "Aku juga harus siap berbicara tentang impianku. Tentang apa yang ingin kucapai dalam hidup ini, dan bagaimana aku berharap Aisyah bisa menjadi bagian dari perjalanan itu."
Dia menulis beberapa poin penting yang mungkin ditanyakan Aisyah. "Lebih baik aku siapkan ini. Jangan sampai ada yang terlewat. Oke, William, kamu bisa melakukannya. Ini adalah langkah penting dalam hidupmu, jadi jalani dengan hati yang tulus."
Dengan keyakinan yang semakin kuat, William melanjutkan persiapannya, memastikan bahwa dia siap menjawab pertanyaan dari Aisyah dengan sebaik mungkin.
Hari ta'aruf pun tiba. William berbicara kepada kedua orang tuanya terlebih dahulu sebelum berangkat ke rumah Aisyah.
"Will, kamu sudah siap?" tanya bapaknya dengan nada penuh dukungan.
"InsyaAllah sudah, Pak," jawab William, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Apapun pertanyaan yang ditanyakan ke kamu nanti, jawab dengan jujur ya, Will," tambah ibunya sambil tersenyum lembut, memberikan ketenangan.
"Iya, Bu. Doain ya bu, pak," ucap William.
"Pasti," jawab kedua orang tuanya.
Mereka pun berangkat menuju rumah Aisyah. Perjalanan ditempuh dalam suasana yang tenang, dengan doa yang mengalir dari hati masing-masing anggota keluarga. Setibanya di rumah Aisyah, mereka disambut hangat oleh keluarga Aisyah.
"Selamat datang, nak William," sambut umi Aisyah dengan senyuman lebar yang tertutupi cadar.
"Terima kasih, Umi," jawab William, membalas senyumannya dengan ramah.
Setelah berbasa-basi sejenak, mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu. Ruang tamu sudah tertata rapi dan nyaman, menambah suasana akrab dalam pertemuan tersebut. Di sana, kedua keluarga duduk bersama, memberikan suasana yang mendukung proses ta'aruf.
Aisyah muncul dari dapur dengan membawa teh dan kue, kemudian duduk di samping orang tuanya.
"Silakan, Will, dicicipi tehnya," kata Aisyah dengan sopan.
"Terima kasih, Aisyah," jawab William sambil mengambil secangkir teh.
Setelah beberapa menit berbasa-basi, tibalah saatnya bagi William dan Aisyah untuk memulai proses ta'aruf.
Umi Aisyah membuka percakapan dengan pertanyaan pertama, "William, menurut kamu apakah hukum pernikahan di dalam Islam?"
William menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Menurut pemahamanku, Umi, hukum pernikahan dalam Islam itu bisa berbeda-beda tergantung pada kondisi individu. Secara umum, pernikahan adalah sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, karena pernikahan merupakan jalan untuk menjaga kesucian diri dan memelihara akhlak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar cita cita
Novela JuvenilIni kisah tentang seorang anak SMK yang ingin mengejar cita-cita nya sebagai programmer dan CEO sekaligus founder di Perusahaan yang ia bikin.