Yang pertama kali Nanda lakukan adalah duduk di kasur, dan mulai memijat pelipisnya yang mendadak pening. Dia mulai familiar dengan adegan ini. Tapi bukan berarti dia ingin adegan ini jadi kebiasaan dan terjadi berulang kali. Ia menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri.
"Kok bisa? Kenapa kok Salsa bisa begitu? Emangnya habis ngapain? Tapi Salsa nggak apa-apa beneran, kan?" rentetan pertanyaan itu tidak bisa Nanda bendung.
"Mas, tenang. Pelan-pelan. Salsa ndak papa. Sekarang lagi istirahat, ditemani Romo," Ibu menjawab perlahan. "Tadi Ibu juga nggak tahu, tiba-tiba Salsa begitu setelah izin mau ke toilet. Ibu dipanggil sama abdi dalem yang masih muda-muda. Untungnya ada yang ngerti gimana menanganinya. Setelah itu Ibu langsung minta pulang diantar Pak Aji. Romo nyusul setelah Ibu udah di rumah,"
Nanda bisa merasakan kepalanya makin pening. Abdi Dalem? Berarti kejadiannya di—
"Kejadiannya nggak waktu prosesi, kan?"
"Oh, nggak, kok, Mas. Udah selesai kok acaranya. Ibu nggak ngerti gimana caranya ngadepin Salsa yang lagi panik begitu," Ibu menjelaskan. "Tapi Mas... kamu pernah cerita kalau bapaknya Salsa yang bermasalah. Ini... Salsa...," Ibu tidak melanjutkan kalimatnya. Namun Nanda bisa mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
Nanda mengusak rambutnya gusar. "Salsa nggak selalu begitu. Cuma kalau lagi tertekan banget aja,"
"Apa bedanya sama bapaknya—"
"Beda," potong Nanda, tegas. Ia memejamkan mata, berusaha menghalau nyeri di dadanya. Dia tidak seharusnya memotong ucapan Ibu begini. "Ngapunten, Bu."
"Ndak papa, Mas. Ibu yang nggak ngerti," Ibu masih menjawab sabar. "Tapi kalau Mas cerita dari awal, Ibu kan bisa lebih hati-hati. Ibu pikir dari kemarin kamu nelpon karena kamu kangen aja sama istrimu."
Ya... itu juga tidak salah.
"Ibu minta Salsa nginap lagi sehari di Solo, tapi dia nggak mau. Tetap mau balik ke Malang habis Subuh sesuai jadwal diantar Pak Aji," Ibu melanjutkan. "Nggak bisa, to, Mas, kamu bujuk dia biar sehari di Solo lagi? Ibu masih khawatir kalau ninggal dia sendirian. Apa Ibu temenin pulang ke Malang aja, ya?"
Nanda menghembuskan napas kasar. Kalau mengingat sifat Salsa yang benci merepotkan orang lain itu, dia akan bersikukuh menolak ditemani Ibu. Tapi sebelum itu, dia juga harus tahu penyebab kenapa istrinya sampai seperti ini. Kalau saja Nanda tidak sejauh ini, dia pasti sudah memesan tiket pulang sekarang juga seperti kejadian di Bali saat itu. Masalahnya, selain karena kontrak, mencari tiket di masa high season seperti ini malah akan membuatnya terdampar ke bandara satu ke bandara lainnya. Dan itu justru akan semakin buang-buang waktu.
"Mas telepon Salsa, nggih, Bu. Nanti biar Salsa yang ngomong sendiri sama Ibu. Apapun keputusan Salsa, jangan dipaksa. Menantu Ibu itu perempuan kuat, kok."
Ibu mendecak tak suka. "Sekuat-kuatnya perempuan itu Mas, memang kodratnya dilindungi dan diayomi. Jangan sampai kamu menggampangkan ya, hanya karena Salsa nggak pernah nuntut."
Nanda paham itu. Dia tidak pernah sekalipun menganggap Salsa remeh. "Nggih. Mas mau telepon Salsa dulu, nggih, Bu. Makasih udah ngabarin Mas."
"Iya, Mas. Kamu juga jangan terlalu kepikiran. Istrimu sekarang udah nggak apa-apa, kok. Nanti kalau kamu udah pulang, mampir Solo ya, Mas. Romo sama Ibu mau tanya tentang ini."
Nanda menggumam pasrah. Setelah mengucap salam dan menutup telepon, ia mengatur napasnya, berusaha menenangkan diri. Tangannya sedikit gemetar. Ia buru-buru meneguk air putih yang tersedia di kamarnya. Menghadapi Salsa yang seperti ini dengan jarak mereka yang terlalu jauh, Nanda butuh ketenangan ekstra.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit Plan
RomanceTidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk menikah. Mereka pikir, berbekal cinta saja sudah cukup. Mereka pikir, berbekal kedewasaan sudah cukup...