Sembari menunggu Nanda yang sedang mandi, Salsa memilih menyibukkan diri dengan merebus air dan menyiapkan nasi goreng yang dibawa Nanda di piring. Melihat nasi goreng yang sudah tidak panas itu, Salsa jadi makin merasa bersalah. Dia menimbang-nimbang, perlu dia hangatkan nasi itu atau dia biarkan begitu apa adanya.
Perempuan itu menghela napas panjang. Salsa yakin matanya pasti memerah karena dia baru saja menangis meski sedikit. Ia lalu mencuci wajahnya di wastafel dapur. What a scene.
"Kok cuci muka di situ?" suara Nanda mengagetkan Salsa. Nada bicaranya kini sedikit melunak. Sepertinya benar, memang salah Salsa yang memilih mengkonfrontasi sang suami di situasi yang kurang tepat.
"Biar nggak ngantuk," jawab Salsa sekenanya. Masih belum berani membalikkan badan.
"Adek ngantuk?"
Adek.
Salsa mau tidak mau sedikit trenyuh mendengar panggilan itu lagi. Ia perlahan memberanikan diri menatap sang suami. Nanda sudah berdiri tepat di depan meja makan, di depan nasi yang sudah ia siapkan di piring. Namun lelaki itu memilih menatapnya, menunggunya memberi jawaban. Salsa lagi-lagi trenyuh dibuatnya.
Salsa menggelengkan kepala, tersenyum lemah. "Nggak kok. Dingin aja,"
Nanda mencibir kecil. "Bohong. Orang tadi marah-marah gitu sama Mas, dingin dari mananya?"
Trenyuh Salsa langsung lenyap.
"Mas mau minum apa? Aku manasin air. Teh? Kopi?" Salsa memilih bertanya, tidak ingin membahas kejadian sepuluh menit lalu.
"Air putih dingin aja, boleh nggak?"
Terus ngapain Salsa merebus air barusan?!
"Ya boleh, lah, Mas. Ya udah, aku bikin kopi—"
"Jangan, Dek. Kamu tuh kalau minum kopi jam segini selalu jadi sulit tidur. Nggak usah, minum yang lain aja."
Salsa menghirup udara banyak-banyak. Jujur, sebenarnya dia pun tidak terlalu suka kopi. Di kosnya dulu hanya tersedia teh bandul dengan setoples kecil gula untuk dia minum sesekali kalau ingin.
Berbeda dengan Nanda yang bahkan punya setoples gula jawa batok di nakas kamar. Bayangkan. Di kamar! Pertama kali Salsa melihatnya, dia sangat kaget. Dia pikir Nanda salah meletakkannya—agak mustahil mengingat suaminya itu sangat rapi menata barangnya—tapi ternyata lelaki itu memang sengaja menaruhnya di situ. Alasannya? Karena dia doyan ngemil gula jawa. Kalau ingat bagaimana gigi Nanda masih cemerlang dengan kebiasaan anehnya itu, Salsa jadi mempertanyakan kembali keadilan di dunia ini. Sementara itu, Salsa yang giginya cenderung sensitif harus benar-benar menjaga kesehatan giginya dengan tidak pernah absen gosok gigi sebelum tidur—itupun Salsa harus rela merogoh kocek agak dalam demi membeli sikat gigi yang bulunya lembut.
Tapi karena Salsa tidak ingin suaminya mati muda karena diabetes, dia berhasil bernegosiasi dan mengosongkan setengahnya, disimpan untuk jatah dua bulan depan. Untungnya Nanda setuju saja meski Salsa akhirnya harus mendengar gerutuan manja sang suami seharian.
"Ya udah, air putih juga kalau gitu," Salsa mengiyakan titah Nanda. Lagipula dia cuma merebus air, tidak perlu memasak aneh-aneh. Begini saja dia seharusnya bersyukur, bukannya mengeluh, kan?
"Makan di ruang tengah aja, yuk. Mau nggak, Sayang?" Nanda meraih piring berisi nasi goreng beserta satu sendok makan. Barusan itu kalimatnya berupa pertanyaan, tapi toh lelaki itu sudah berjalan menuju sofa ruang tengah sambil membawa makanannya. Salsa lagi-lagi hanya bisa menghirup oksigen banyak-banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit Plan
RomansaTidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk menikah. Mereka pikir, berbekal cinta saja sudah cukup. Mereka pikir, berbekal kedewasaan sudah cukup...