Chapter 21: Old Face

642 67 11
                                    



You know what sucks about being in Long Distance Marriage? Limited physical intimacy.

Nanda tidak tahu kalau ternyata dia bisa se-ketergantungan ini pada Salsa. Padahal harusnya dia bisa biasa saja kan, toh dia menghabiskan usia menjomblo lebih lama daripada menikah. Namun nyatanya, terbangun dengan ranjang kosong di sisinya mampu membuat perasaan Nanda memburuk dalam hitungan detik. Padahal lagi di kamarnya sendiri? Kamar yang dia tempati sejak kecil sampai remaja?! Rasanya, setelah ada Salsa, kamar ini terasa aneh kalau hanya diisi dia seorang. Tanpa ada tangan Salsa yang bisa ia gapai. Tanpa ada bahu Salsa yang bisa ia gunakan untuk bersandar. Tanpa ada wajah cantik Salsa dengan senyum dikulumnya seperti menahan diri agar tidak tertawa lebar—gengsi karena tidak ingin begitu mudahnya jatuh pada cuap-cuap tengil Nanda—yang menyegarkan matanya.

The things you do to this man, Salsabila Puspita.

Nanda bukannya tidak pernah pusing memikirkan pekerjaannya. Tapi setiap melihat Salsa, semua masalah-masalah yang memusingkannya itu seperti terkikis sedikit demi sedikit. Lalu bayangkan sekarang, dengan semua masalah bertubi yang menghantam kepalanya, dan tidak ada Salsa di sisinya.

Lemah banget laki-laki yang dulu nggak mau deket-deket sama perempuan ini. Nanda mengusap wajahnya sambil tersenyum kecut.

Nanda mau tidak mau jadi bersimpati pada Ibu. Membayangkan wanita yang melahirkannya itu kini berusaha bangkit seorang diri, tanpa suami yang selama ini membersamainya. Walaupun Romo dan Ibu sama-sama bekerja, tapi mereka selalu punya waktu berduaan. Sesederhana sarapan bersama, atau Romo mengantar Ibu ke butik kalau sedang tidak terburu. Lalu sekarang, Ibu harus menjalani aktivitas dan hidupnya tanpa momen-momen itu sampai akhir hayatnya? Nanda tidak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Ibu saat ini.


***


"Nggak pusing kan, Nda, baca laporan keuangan bulan ini?" tanya Mbak Lita di seberang layar tabletnya. Nanda terkekeh kecil.

"Pusing. Lumayan." Nanda mengaku jujur.

"Belum musim wisuda, Nda. Biasanya musim wisuda kan studio bakal rame. Meski, ya, kalau boleh jujur, tetep nggak ada apa-apanya dibanding uang job dua kali motret dari kamu," Mbak Lita mengedikkan bahu. "Kan emang kamu yang paling famous di HB. Kamu yang fee-nya paling gede. Karena kamu membatasi job, apalagi sekarang kondisinya begini, ya... maklumi aja kalau agak seret untuk enam bulan ke depan."

Nanda mengangguk-angguk. "Almas sama Raul? Masih dua job paket yang di Jepang sama Korea itu aja?"

Mbak Lita mengangguk. "Kemarin sempat meeting sama klien, dia mau ambil paket lengkap sama prewed di Sydney, tapi dia cocoknya sama hasil punya kamu atau Kenzo. Kamu nggak bisa, Kenzo juga udah nggak di HB lagi per bulan depan. Jadi batal, deh."

"Nggak bisa diusahakan lagi, Mbak? Sayang banget lho itu, paket lengkap sama video juga, kan?"

"Iya. Katanya sih dia mau pertimbangkan yang video aja. Kalau foto, mungkin cari vendor lain."

"Nikahnya di mana emang?"

"Shangrila Surabaya."

"Wow. Lumayan itu."

"I know."

"Kalau Ghazi?"

"Ghazi lumayan padat, sih. Bulan depan dia ke Singapore sama Jepang. Juni dia ke Paris. Terus ke Maldives. Selebihnya foto wedding di sini-sini aja."

No Exit PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang