Chapter 07: News From 10.000KM Away

704 76 0
                                    




So, the honeymoon stage is actually real.

Nanda tidak tahu dia pernah dengar atau melihatnya di mana. Yang jelas, setiap ada orang yang ingin buru-buru pulang setelah menikah, pasti langsung diledek, "ciyeee yang masih fase bulan madu!". Nanda never knew how and what it was. But now he does.

Dulu setiap dia selesai memotret klien, biasanya dia akan extend sehari=dua hari seorang diri. Terutama ketika dia ke Bali. Hanya untuk berjalan-jalan di pantai dekat hotel ia menginap, atau menikmati seafood bakar, atau memotret kehidupan masyarakat pada umumnya baik di jalanan, lokasi wisata, ataupun di pasar-pasar. Setiap dia punya waktu sendirian seperti ini, dia jadi teringat masa-masa dia backpacker dulu. Melepas penat agar bisa kembali fokus dengan target dan pekerjaannya.

Tapi sejak menikah, semua jadi beda. Jangankan extend, kalau bisa malah dia ingin segera ke bandara begitu job-nya rampung. Jangankan merasa rileks berjalan seorang diri, dia malah membayangkan bagaimana ekspresi istrinya setiap dia makan seafood bakar dengan sambal matah dan nasi panas. Bagaimana ekspresi istrinya ketika kaki-kaki mereka bersentuhan dengan pasir putih dan wajah mereka ditempa angin sepoi-sepoi di kala senja. Bagaimana ekspresi istrinya setiap melihat jalan macet dengan motor=motor dan bule yang kemampuan menyetirnya sangat payah. Bagaimana ekspresi istrinya setiap mereka akan memejamkan mata untuk tidur, dan membuka mata pertama kali di pagi hari. Apalagi melihat pasangan Eric dan Pat—klien yang sesi prewedding-nya sempat tertunda karena kecelakaan Salsa—yang tidak canggung menunjukkan kemesraan mereka sebab usia hubungan mereka yang sudah menginjak tahun keenam.

Bekerja sebagai perekam momen romantis pasangan membuat Nanda melihat hubungan antara dua manusia dari banyak sisi yang berbeda. Dulu Nanda pikir pasangan-pasangan ini bertahan karena cinta, atau setuju menjalin sebuah hubungan karena cinta. Namun kenyataannya tidak semua seperti itu. Eric dan Pat, adalah salah satu dari pasangan yang memulai dan bertahan karena cinta. Setidaknya, itulah yang dua orang itu ceritakan pada Nanda di sesi pemotretan mereka.

"Lucu sih, Mas. Selama di Belanda nggak pernah ketemu. Ketemunya di reunian anak-anak PPI Belanda di Jakarta. Awalnya sama-sama iseng karena sama-sama baru putus, kok ternyata cocok. Keterusan sampai orang tua juga ikut cocok," Eric tergelak menceritakan kisah mereka saat makan siang di tengah sesi pemotretan. Pat yang duduk di sampingnya ikut tertawa sembari memainkan ujung kaos polo yang dikenakan Eric. Siang itu konsepnya memang kasual saja, karena sesi dengan gaun formal akan dilakukan nanti saat sunset. Nanda mengulas senyum, mengaduk iced vanilla latte miliknya. "Mas Nanda juga baru nikah, kan? Ceritanya gimana tuh Mas, sama istrinya?"

Mengalirlah cerita Nanda pada dua orang di depannya itu. Hanya garis besar saja yang ia sampaikan, tapi sudah cukup membuat Nanda makin kangen.

"Wah, apa nggak bosen tuh, Mas? Di kantor ketemu, di rumah juga ketemu? Aku bayangin ketemu Eric tiap hari begitu kayaknya bisa gila," canda Pat yang disambut wajah manyun Eric. "Ngambekan gini orangnya, tuh, tuh... lihat deh, Mas!" Pat menyenggol lengan Eric dengan lengannya. Eric langsung meringis. Nanda hanya bisa tertawa.

"Yang ada malah Pak Nanda ini nggak bisa lepas dari istrinya," lapor Raia yang saat itu bertugas menemani Nanda sebagai make up artist. Nanda menggaruk pelipisnya yang tak gatal, sementara Eric dan Pat berseru, "oooooh!" dengan nada menggoda.

Gimana bisa lepas kalau memang isi otaknya ini dipenuhi dengan wajah Salsa? Apalagi setelah telepon mereka malam itu. Mendengar suara manja Salsa dan deru napasnya yang Nanda kenal betul apa artinya sejak mereka menikah. Nanda rasanya mau gila. Sangking gilanya dia sudah nyaris memesan tiket pesawat untuk pulang saat itu juga.

No Exit PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang