Mereka tiba di Malang ketika waktu Zuhur nyaris habis. Nanda awalnya berniat menggendong Salsa turun, tapi ternyata punggungnya sudah terlalu lelah. Salsa terbangun ketika Nanda baru melingkarkan lengan istrinya di lehernya, dan dia meringis ngilu karena nyeri di punggung bagian bawah..
"Mas?" Salsa membuka mata, masih setengah tak sadar. Ia menurunkan tangannya dari leher Nanda, lalu mengusap wajahnya agar kesadarannya bangkit sepenuhnya.
"Udah sampai, Dek," Nanda ganti mengusap rambut Salsa yang sedikit berantakan.
"Mas barusan mau gendong aku?"
Nanda masih meringis. "Iya. Tapi umur emang nggak menipu," Nanda menjawab asal, mengedikkan bahu.
Salsa mendengus kecil, menepuk lengan Nanda dengan telapak tangannya yang dibalas dengan kekehan geli sang suami.
"You okay?" tanya Nanda, lembut, sembari membelai pelan tangan Salsa yang masih memar. Ia membubuhkan ciuman-ciuman kecil di tangan itu.
"Nggak apa-apa," jawab Salsa, singkat.
Nanda menatap lekat-lekat kedua mata Salsa, berusaha mencari kejujuran dari jawaban tersebut. Ia tersenyum begitu meyakini bahwa istrinya benar-benar berkata jujur.
"Ayo turun. Salat dulu. Nanti barangnya kita turunin abis salat," Nanda menjawil pipi Salsa yang tampak lebih menggembung karena bangun tidur. Salsa mengangguk-angguk, menuruti perintah suaminya.
Masih terlalu lelah karena perjalanan barusan, mereka memutuskan memesan makanan secara online setelah menyelesaikan kewajiban dan membereskan barang-barang bawaan. Nanda sendiri malah memilih langsung mencuci mobil sambil menunggu makanan mereka datang. Sementara Salsa membereskan barang bawaan dan merapikannya di dalam rumah.
Mereka baru sempat makan setelah selesai salat Asar. Menikmati dua porsi soto ayam yang sudah mulai dingin. Mereka bisa saja memanaskan makanan berkuah kuning itu, tapi terlalu malas menyalakan kompor. Mereka tampaknya benar-benar lapar karena meski tidak dalam kondisi ideal, toh soto itu langsung mereka makan dengan lahap.
"Nanti malam mau makan apa?" tanya Nanda di sela makan siang mereka yang terlambat. Salsa melenguh pendek.
"Kita lagi makan masa udah mikirin nanti makan apa?"
Nanda menyunggingkan senyum geli. "Ya nggak apa-apa. Biar Adek ada tenaga habis nangis."
Salsa langsung melirik galak. Sementara Nanda membalasnya dengan cengiran usilnya yang khas itu.
"Udah ngabarin Ibu kalau udah sampai?" tanya Nanda, menyeka ujung bibir Salsa yang basah dengan kuah soto.
"Sampun. Udah ngabarin Raihan juga," jawab Salsa. Nanda mendehem kecil.
"Raihan bilang apa?"
Salsa mengangkat kedua bahunya. "Kayak biasanya. Nggih, Gitu."
Nanda mengangguk-angguk. Ganti Salsa yang mendehem.
"Tadi... Mas bilang apa?"
Nanda menuntaskan dua suap sotonya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Salsa. "Mas bilang, kamu udah pernah serangan panik bahkan sebelum nikah. Keluarga Madiun juga nggak ada yang tahu, ya?"
Salsa menggeleng lemah. Nanda mendesah kecil.
"Kamu takut cerita sama mereka?"
Salsa menelan ludahnya, merasakan kerongkongannya mendadak seperti tersumbat duri. "Lebih ke... aku nggak yakin mereka bakal peduli, sih, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit Plan
Storie d'amoreTidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk menikah. Mereka pikir, berbekal cinta saja sudah cukup. Mereka pikir, berbekal kedewasaan sudah cukup...