Chapter 23: Into Pieces

800 64 11
                                    



cw: child abuse


Nanda nyaris tidak pernah meninggikan suaranya pada Salsa, bahkan ketika marah. Tapi dibentak—walaupun lewat telepon—seperti barusan... jangan salahkan Salsa kalau yang langsung terbayang di kepalanya adalah wajah Bapak.

Dulu, Salsa pernah terlambat pulang sekolah karena masih menyelesaikan dekorasi kelas dalam rangkaian acara Agustusan. Saat itu, Salsa baru tiba di rumah setelah Magrib. Di rumah itu, yang memilihi ponsel hanya dia. Bapak dan Raihan yang masih kecil tentu tidak punya alat tersebut. Mana dia sangka, sesampainya di rumah, dia harus menghadapi amukan Bapak.

Awalnya Salsa dan Bapak berdebat sewajarnya. Salsa menganggap Bapak marah-marah tidak jelas seperti biasa. Toh, Bapak marah bukan karena khawatir pada Salsa, tapi karena Salsa meninggalkan Raihan yang belum mandi dan makan sampai malam. Salsa ikut marah karena pekerjaan itu bisa dilakukan Bapak, tidak harus menunggu Salsa. Entah karena memang dia sedang lelah, atau egonya yang baru beranjak remaja membuatnya mudah memberontak, Salsa tidak mau kalah dari perdebatan itu. Mungkin Bapak menganggap ucapan Salsa kelewatan, hal pertama yang dilakukan laki-laki itu setelah Salsa menyelesaikan kalimatnya adalah melempar gelas alumunium ke wajah Salsa. Tak berhenti di situ, Bapak mendorong kepala Salsa dan menjedotkannya ke pintu kayu beberapa kali.

Salsa hanya ingat dia menangis dan berteriak-teriak minta ampun. Matanya panas. Kepalanya berkunang-kunang hebat. Dia tidak tahu berapa lama ia terduduk di lantai dengan sekujur tubuh yang gemetar. Sayup-sayup, ia mendengar pintu depan dibanting. Bapak pergi begitu saja. Begitu Salsa mulai sadar, yang terbersit di kepalanya adalah Raihan. Apakah adiknya itu baik-baik saja? Atau dia mengalami perlakuan serupa? Bagaimana kalau Raihan melihat yang dilakukan Bapak?

Untungnya, saat itu Raihan sedang di kamar mandi setelah dipaksa Salsa untuk mandi sendiri. Begitu adiknya itu keluar kamar mandi dengan wajah ketakutan—tampaknya mendengar keributan di luar kamar mandi—Salsa langsung memeluknya. Dan meminta maaf berkali-kali.

Hingga Salsa dewasa, dia tidak pernah lupa bagaimana wajah penuh amarah Bapak kala itu. Bapak juga tidak pernah minta maaf atau merasa bersalah. Justru semakin hari, semakin mudah naik amarahnya setiap berinteraksi dengan Salsa. Sejak itu pula, Salsa memilih diam setiap amarah Bapak tampak akan kelewatan batas. Salsa bertekad dia tidak akan tinggal di bawah atap yang sama dengan Bapak begitu dia punya kemampuan untuk pergi dari rumah.

Entah karena Bapak merasa bersalah karena kejadian itu, atau karena Bapak melihat Raihan sebagai anak yang masih kecil, lelaki itu tidak pernah menyakiti Raihan terlalu keras. Mereka memang pernah berdebat, tapi tidak separah ketika bersama Salsa. Sampai akhirnya ketika Bapak mendorong Raihan hingga bahunya cedera kala itu. Salsa bisa merasakan atmosfer yang berbeda antara Bapak dan Raihan. Adiknya itu seperti terpaksa karena dia tak punya pilihan, sementara Bapak tampaknya mulai menyadari tubuhnya yang makin lemah walau masih tersisa tenaga ekstra ketika marah.

Mendengar Nanda membentaknya seperti barusan, tangan Salsa langsung gemetar. Ia buru-buru memutus sambungan telepon, lalu memblokir nomor suaminya itu. Kalau Bapak yang mewariskan darah di tubuhnya saja bisa bersikap seperti itu pada Salsa, apalagi orang baru dan asing seperti suaminya?

On top of that, he chose to be with someone from the past.

Salsa berusaha meraih oksigen banyak-banyak. Dadanya sesak. Matanya panas. Punggungnya seperti remuk, sementara perutnya terasa tak nyaman dan berat. Oh iya. Dia sedang hamil. Salsa bisa merasakan dunianya berputar-putar sampai ia merasa kehilangan bumi untuk dipijak. Suaranya tertahan di tenggorokan, tak sanggup untuk sekedar merintih untuk mengaduh, apalagi untuk berteriak.

No Exit PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang