Nyatanya, bertemu dengan Alea membuat Salsa salah tingkah. Aura perempuan yang pernah jadi masa lalu suaminya ini sangat kuat dan mendominasi. Padahal bertemu dengan klien manapun, Salsa tidak pernah secanggung ini. Salsa yang memang sejak awal tidak terlalu percaya diri, akhirnya jadi semakin meringkuk salah tingkah di samping Nanda.
"Halo."
Alea menyapa terlebih dahulu, memasang senyum karir. Salsa mengangguk, membalas dengan senyum kaku.
"Halo, Mbak," Salsa mengulurkan tangan. "Salsa."
Alea menatap tangan yang terulur itu untuk beberapa detik, lalu pandangannya naik ke wajah Nanda dan Salsa bergantian. "Nice name. Alea." perempuan itu membalas jabat tangan Salsa.
"Nama Mbak juga bagus," jawab Salsa, kikuk. Alea tersenyum palsu. Mempersilahkan Nanda dan Salsa duduk.
"You bring your wife, I'm surprised." kata Alea, seolah Salsa sedang tidak bersama mereka. "Sakit lo bikin jalan lo harus dituntun, kah, sampai harus bawa istri?"
Salsa terdiam. Tidak menyangka bahwa beginilah cara bicara Alea pada Nanda. Dari pertemuan singkat mereka dulu, Alea tampak manis ketika berbicara dengan Kenzo. Masih dengan aura tak terjamahnya itu, tapi setidaknya ia menggunakan kata-kata yang ramah. Tapi sekarang?
Nanda yang sudah terbiasa dengan perlakuan Alea memilih untuk abai. Ia malah menoleh ke arah Salsa. "Mau minum apa, Sayang?"
Alea langsung mendengus mendengar suara Nanda yang lembut pada Salsa. Sementara Salsa semakin salah tingkah, memandang Alea dan Nanda bergantian.
"Teh hangat aja, nggak pa-pa." jawabnya, pelan. Nanda tersenyum dan mengangguk.
"Mau makan, nggak?"
Salsa menggeleng, masih melirik Alea. "Nggak. Ad—aku masih kenyang."
"Ya udah." gumam Nanda. Ia lalu menoleh ke arah Alea kali ini. Senyumnya memudar. "Jadi gimana? Kamu masih mau bahas saham lagi? Stance aku nggak berubah,"
Alea memutar bola mata. "Lo tuh kalau goblok jangan dibawa di depan istri, dong. Gue yang malu."
Salsa menahan napas.
"Gini ya, Pak Ananda Yang Terhormat—" Alea meneruskan dengan nada mencemooh. "Lo nggak harus terjun ke perusahaan dan tetap bisa memiliki saham warisan bokap lo itu. Paling lo cuma dipanggil kalau RUPS—"
"Itu aku juga ngerti—"
"Kalo gitu pertahanin!" seru Alea, emosi. "Lo tuh sadar nggak sih, kalau lo mengizinkan mereka untuk injak-injak lo? Dengan lo masih stay sama mereka, itu artinya lo nunjukin kalau lo masih punya suara. Kalau lo nggak takut sama mereka—terlepas dari perbuatan bokap lo. Gue tahu lo nggak cari kekayaan sampai tujuh turunan, tapi please lah, pikirin harga diri lo. Harga diri bokap-nyokap lo. Kalau dari cerita kalian, perusahaan ini juga pendirinya bokap lo sama kakak iparnya itu kan? Pak Hermawan?"
Nanda mendesah kecil. Tak menjawab.
"Porsi saham lo emang di bawah porsi Pak Hermawan dan Rendra kalau digabung. Apalagi om lo sama sepupu-sepupu lo yang lain juga di pihak sana. But you staying will make their blood boil. Itu balas dendam terbaik yang bisa lo kasih buat mereka."
"Siapa sih yang mau balas dendam, Al, Ya Tuhan...." ujar Nanda, lelah. "Kayaknya aku udah berkali-kali bilang kalau aku cuma mau hidup tenang sama istriku, sama Ibuku, sama keluargaku. Ketemu mereka bakal bikin lebih capek."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit Plan
RomanceTidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk menikah. Mereka pikir, berbekal cinta saja sudah cukup. Mereka pikir, berbekal kedewasaan sudah cukup...