Sampai hari keenam, mereka masih ada di Solo. Nanda menepati janjinya, menerima tamu dari perusahaan sesuai waktu yang dia katakan sore itu di hari ketiga. Salsa tidak tahu detail perbincangan mereka di ruang kerja Romo, yang jelas sepulang tamu-tamu itu, Nanda jadi tidak tersenyum sama sekali sampai mereka tidur. Salsa ingin sekali membantu, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa dan menyediakan apapun yang dibutuhkan Nanda.
Hari keempat, Nanda harus ke kantor Romo yang terletak tak jauh dari pabrik di Semarang. Selama ini memang Romo selalu pulang-pergi dari Solo ke Semarang diantar jemput oleh Pak Aji. Sebenarnya Pak Aji adalah sopir rumah yang ditugaskan untuk melayani Ibu, tapi entah sejak kapan, Pak Aji berganti menjadi sopir pribadi Romo. Ibu sendiri memilih naik taksi online atau bahkan naik motor diantar jemput oleh Mbak Erna, ART rumah yang masih muda. Hari kelima dan keenam, masih saja sama. Salsa tidak berani bertanya karena setiap pulang, Nanda mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Salsa jadi merasa asing dengan Nanda versi yang sekarang. Sama sekali berbeda dengan Nanda yang selama ini dikenalnya. Binar di kedua matanya meredup. Senyum tengil abadinya itu tiba-tiba saja berganti menjadi wajah ditekuk nyaris muram.
Hari keenam, dan rencana awal mereka, harusnya besok mereka sudah kembali ke Malang. Tapi sampai malam di hari keenam ini, Salsa tidak menemukan gelagat Nanda akan pulang besok. Atau maunya bagaimana? Apakah Salsa harus tetap tinggal di sini, atau dia harus pulang sendiri tanpa suami?
***
"Di sini aja lah, Mbak. Kan ada Bu Pur dan Mbak Erna yang nemenin. Pak Aji juga stand by karena Masmu nyetir sendiri ke kantor. Ibu juga, setelah proyek pesanan ini selesai, udah nggak begitu sibuk lagi. Ngapain pulang ke Malang, di sana juga sendirian, to? Raihan juga belum mulai kuliah."
Satu lagi alasan Salsa harus kembali ke Malang adalah Bapak dan Raihan akan segera pindahan ke rumah baru. Raihan memang sudah dinyatakan lulus dan dia akan sibuk dengan ujian masuk universitas, karena itu akan lebih leluasa jika adiknya itu segera pindah.
"Ada jadwal kontrol ke dokter besok, Bu," jawab Salsa. "Dik Raihan juga mulai ikut tes bulan depan. Jadi saya nemenin Bu Yati membersihkan rumah."
"Di Solo juga ada dokter kandungan, Mbak. Lagipula, ngapain Bu Yati ditemani, kan bisa bersih-bersih sama putranya? Kamu lagi hamil lho, Mbak. Jangan terlalu capek."
"Kan harus ngantor juga, Bu."
Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Masih terlihat tak setuju.
"Ibu ngelarang-larang Salsa begitu kayak Ibu sendiri nggak sibuk aja," lerai Nanda, setengah meledek.
"Kamu emangnya nggak khawatir sama istrimu, Mas?" sindir Ibu. Nanda tersenyum pahit. Lelaki itu melirik Salsa, seperti mengirimkan permohonan maaf lewat pandangan matanya. Salsa mengangguk-angguk paham sambil tersenyum kecil.
"Nggak pa-pa, Bu. Kan nanti Mas bisa nyusul kalau sudah beres."
Ibu langsung terdiam, masih tampak tidak puas karena tak satupun menyetujui pendapatnya di meja ini. Di sisi lain, Ibu juga mengerti bahwa Nanda tidak bisa menemani Salsa kembali ke Malang.
"Kantor gimana, Mas?" tanya Ibu, mengalihkan topik.
Nanda mengangkat kedua bahu. "Masih Mas pelajari. Mas kan sama sekali nggak ngerti gimana perusahaan Romo."
"Karena kamu dari dulu nggak mau ikut ke sana."
"Dulu Mas mengamati dari luar aja udah amburadul begitu, ternyata bener kan, setelah Mas terjun keadaannya lebih parah dari dugaan Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit Plan
RomanceTidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk menikah. Mereka pikir, berbekal cinta saja sudah cukup. Mereka pikir, berbekal kedewasaan sudah cukup...