Chapter 28: A Good Daughter, A Good Son

636 82 16
                                    



Seharusnya, Nanda akan kembali ke Malang empat hari lagi. Tetapi berhubung semua urusannya di Solo sudah selesai, dia bisa segera pulang dan menikmati wajah kaget istrinya atas kejutannya ini. Ya, Nanda memang berencana tidak memberitahu Salsa tentang kepulangannya besok. Rencananya, besok Ibulah yang akan berangkat dulu ke Malang. Tapi ternyata, Tuhan ingin ia segera pulang sehingga memudahkan semua jalannya menyelesaikan masalah di Solo.

Memang tidak semua sudah selesai, masih ada beberapa PR yang harus Nanda tuntaskan. Namun setidaknya, dia tidak perlu berkeliaran di kantor Romo yang tidak menunjukkan hawa bersahabat untuknya itu. Ia sayangnya akan harus selalu berinteraksi dengan Pakdhe Hermawan, Om Hadi, dan Mas Rendra—mengingat mereka adalah keluarga langsung dari Romo. Apalagi Nanda memutuskan untuk mempertahankan kepemilikan saham di perusahaan. Biarlah, toh kepemilikan terkuat sekarang ada di tangan Pakdhe Hermawan dan Om Hadi.

Pakdhe Hermawan pun sepertinya sudah menyerah dan tidak bisa mengusik Nanda karena Nanda adalah saksi kunci perbuatan bejat anaknya. Budhe Lastri sendiri masih sesekali mampir ke butik—menurut pengakuan Ibu—seolah tak pernah ada apa-apa di balik ini semua. Nanda hanya bisa mendecak sinis atas kepercayaan diri dan tebal muka yang dimiliki budenya itu. Mungkin Budhe Lastri tidak mengira bahwa sebenarnya Nanda telah menceritakan perkara butik pada Ibu, karena Ibu masih menerima saja kedatangan Budhe seperti biasa.

Nanda sudah tersenyum-senyum membayangkan mata istrinya yang terbelalak begitu melihatnya. Senyum semringahnya, dan bagaimana setiap lekuk wajahnya mengerut senang. Lalu tawa melengkingnya, kalimat protes dan merajuknya, lalu pelukan hangatnya. Ia membayangkan bagaimana ia akan kerepotan memeluk erat Salsa karena perut istrinya yang semakin membesar. Ia membayangkan bagaimana telapak tangannya mengusap perut itu, lalu merasakan gerakan-gerakan lembut dari dalam sana. Nanda membayangkan itu semua sampai-sampai kepalanya seperti akan meledak dan riuh dengan suara serta pendar cahaya pesta kembang api.

Nanda memasukkan baju terakhir yang akan dibawanya pulang ke dalam duffel bag yang dibawakan istrinya untuknya beberapa waktu lalu.

Ah. Pulang.

Tak lama setelah bersiul-siul riang, ia mendengar suara getar ponsel yang diletakkan jauh dari tempatnya duduk. Raihan menelpon.

Nanda sedikit panik melihat nama itu. Kepalanya yang tadi ribut dengan suara pesta kembang api, mendadak berubah menjadi hujan petir. Khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada istrinya.

"Halo?"

"Mas?"

Oh? Suara Salsa? Jam segini? Seharusnya dia di kantor, kan?

"Adek? Kok pakai HP Raihan? Salah bawa?" tebak Nanda, geli.

Salsa tak menjawab beberapa detik. "Mas...,"

Senyum Nanda langsung lenyap. Ia sudah menduga bahwa yang akan didengarnya bukan sesuatu yang menyenangkan.

"Dalem, Sayang? Kenapa, Sayang?"

Ia mendengar Salsa menarik dan membuang napas sampai tiga kali di ujung sana. Nanda menanti dengan sabar. Paham betul bahwa istrinya tidak bisa didesak ketika sedang berusaha menarik fokusnya kembali. "Bapak seda."

Nanda membayangkan pesta kembang api di kepalanya, berharap kejutan yang ia berikan pada Salsa akan membuat istrinya itu senang—dan tentu akan menular pada Nanda. Namun siapa sangka, justru dialah yang mendapatkan kejutan.

Petir dan hujan itu nyata adanya di kepala Nanda.


***

No Exit PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang