Tolol!
Nanda merutuk dalam hati sepanjang perjalanan menuju kantor. Umpatan itu dia tujukan untuk dirinya sendiri.
Terhitung sebulan sejak status mereka telah menjadi suami-istri, Nanda merasa bahwa dia jadi sulit sekali berpikir lurus. Setiap melihat Salsa, rasanya cuma mau memeluknya seharian. Setiap melihat Salsa, rasanya seperti gatal-gatal kalau kulit mereka tidak bersentuhan. Gila dia ini, sudah masuk tahap obsesif kalau dibiarkan begini terus. Mungkin awalnya lucu setiap melihat reaksi karyawan lainnya yang bervariasi setiap Nanda memeluk Salsa, mulai tersenyum geli sampai pura-pura muntah (Kenzo terutama, memang dasat karyawan kurang ajar!). Tapi kalau keterusan ya... itu artinya dia sudah masuk ranah tidak profesional juga, kan?
Aduh! Mau bagaimana lagi. Kalau sudah menyangkut Salsa, otaknya seperti dipelintir—if that's even possible.
Lagipula, ingat kan, Nanda ini sampai sempat mempertanyakan orientasi seksualnya sendiri pasca hancurnya hubungannya dengan Alea? Sampai-sampai dia berada di titik merasa tidak butuh perempuan.
Ha. What a joke.
Buktinya setelah tahu rasanya bagaimana bersentuhan dengan perempuan spesial, perempuan yang Nanda rasanya mampu mempertaruhkan nyawanya untuk pujaan hatinya itu, ya... dia jadi begini. Pokoknya cuma mau dekat Salsa. Tidak melihat Salsa sedetik saja rasanya dia sudah kangen. Jangankan sedetik, dia satu ruangan dengan Salsa saja rasanya dia kangen. Kok bisa, ya?
"Ibu kemarin telpon, Mas," suasana hening dalam mobil itu pecah karena suara Salsa. "Katanya bulan depan ada acara di Keraton? Apa sih namanya..., Jumenengan apa ya?"
"Oh, peringatan naik tahta Sultan," Nanda membelokkan mobil ke jalan di mana kantor mereka berada. Bersyukur karena ternyata istrinya ini tidak marah karena tingkah kekanakannya tadi. "Sebenarnya keluarga Mas nggak wajib datang, kan bukan trah inti. Tapi kadang-kadang masih diundang karena Romo lumayan dekat. Cuma, sejak punya Hati Bersambut, Mas jarang datang. Sering clash jadwalnya,"
Salsa manggut-manggut. "Kata Ibu, kalau Mas Nanda nggak bisa, aku aja yang pulang ke Solo. Bulan depan Mas ada jadwal ke Eropa, ya?"
Tubuh Nanda menegak seketika.
Tidak, Nanda bukannya benci mengenalkan Salsa dengan keluarga besarnya. Dia akan oke-oke saja kalau ada dia yang mendampingi. Tapi Salsa... sendirian? Menghadapi keluarga besarnya yang kadang tidak bisa terkontrol itu? Gila. Sama saja bunuh diri.
Di acara pernikahan mereka kemarin saja masih untung Salsa disibukkan dengan rentetan acaranya, tidak sempat ngobrol lama dengan keluarga besar selain beberapa orang saja. Itupun masih sebatas percakapan wajar—malah banyak yang bersimpati pada Salsa karena dia harus duduk di kursi roda.
"Aduh itu kapan ya, Love?" Nanda jadi agak panik, sedikit. "Kalau sempat nanti Mas ikut deh,"
"Mau... bolak-balik Indo-Europe? Yakin? Desember kan udah masuk winter, Mas. Pasti cuacanya nggak menentu. Nanti Mas malah sakit,"
"Nggak apa-apa. Biar kamu nggak awkward sendirian," Nanda mengedikkan bahunya, mencoba terlihat santai.
"Kan sama Ibu dan Romo, Mas,"
Nanda melirik Salsa sekilas. Senyum kecil tersungging di bibirnya. "Mas seneng lihat Adek akur sama Ibu dan Romo,"
Salsa mengerutkan dahi. "Emangnya Mas berharap Adek nggak akur?"
"Bukan gitu, Sayang," Nanda tertawa kecil. "Romo kan orangnya agak kaku gitu. Ibu juga, sebenernya nggak gampang welcome sama orang lain. Tapi sama Adek rasanya gampang banget. Mas seneng aja,"
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit Plan
RomanceTidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk menikah. Mereka pikir, berbekal cinta saja sudah cukup. Mereka pikir, berbekal kedewasaan sudah cukup...