2

50 11 17
                                    

BILA terjadi kebakaran orang waras manapun pasti akan menjerit histeris, lari sana-sini untuk menyelamatkan diri, beberapa mendokumentasi kegiatan, untuk murid kurang akhlak boleh jadi menyempatkan waktu dan perhatian untuk bolos sekolah. Murid dengan kepedulian tinggi akan mengambil ember, menyiram api agar tak menyebar seantero sekolah. Yang sayang nyawa memutuskan kabur. Sementara para guru dengan cepat menelpon pemadam kebakaran. Belum genap satu menit, sekolah kian ricuh.

Tapi lain halnya dengan gadis bersurai coklat sebahu itu. Alih-alih menunjukan sikap takut, ia justru keaseman, senang bukan main. Netra mata yang coklat berbinar.

“Rangga, Rangga, Rangga, Rangga, Rangga …” Gadis itu terus berbicara, bagaimanapun tak ada jawaban dari sosok di samping.

Orang bernama Rangga sudah mematung, terpesona akan keindahan api yang menyebar hingga setengah SMA.

“Rangga, Rangga, Rangga—”

“Asem. Apaan?!”

“lihat! Lihat! Lihat! Sekolah kita kebakaran!”

“Tahu! Kenapa kau malah senang!?” Tak habis pikir ia pun menjerit. Sungguh aneh gadis itu.

“Bisa buat berita soalnya,” ucap si gadis tersenyum.

“Kau isip ganja gak ajak-ajak atau gimana, sih?”

“Ah. Rangga ini, gak usah malu-malu.”

“Astaga naga, apalagi sekarang?”

“Ini rencanamu, kan? Bakar Sekolah biar kita ada ide buat berita. Kamu selamatkan klub Jurnalis.”

Rangga menghela, memegang kepala si gadis. Mungkin saking gemesnya meremas kepala dan menjerit histeris. “Aku tahu kau gila! Tapi gak gini juga. Orang kurang waras mana yang bakar Sekolah demi bikin berita?”

Rahma terkekeh, melompat-lompat dan berseru untuk masuk di tengah kobaran api. Rangga menggeleng masih sayang nyawa. Disisi lain Rahma ngotot bilang demi klub jurnalis, demi berita, demi berita, demi berita. demi berita, demi berita, demi berita, demi berita, demi berita, demi berita—

“Oke aku paham. Muak aku dengar kata ‘berita’ dari mulut kau!” menyerah ia berseru.

Rasa senang menjalar di hati. Si gadis tak berhenti tersenyum. “Ayo ambil foto, siapkan kamera … tu, wa, ga. Bergegas kawan!”

Dan demikian Rahma masuk dalam kobaran api. Dengan semangat.

“Orang sinting!” Gerutu Rangga sebelum memasuki sekolah.

***
“Ehem …” Sebelum memulai video Rahma menyiapkan diri.

“Sudah siap?” tanya Rangga dijawab oleh anggukan. “Oke … satu, dua, tiga!”

“Halo kembali lagi dengan saya, Rahma selaku anggota klub Jurnalis. Berita kali ini adalah insiden paling luar biasa, insiden yang menggemparkan seluruh sekolah. Sungguh jelas tak akan ada satupun orang bisa menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Penasaran apa? Yup. Seperti yang kalian bisa lihat, kebakaran!!”

Rahma tak berhenti di satu tempat, terus berjalan di koridor. Menerobos barisan manusia, melewati lapangan upacara, masuk lebih dalam.  Sejejeran ruangan hangus. Kelas, lab, perpustakaan, paling parah di ruangan OSIS.

“Mari kita lihat kawan-kawan! Api masih membakar segalanya! Asap mengepul dimanapun… uhuk! uhuk! Tak berhenti disitu saja. Lihat ruangan biadab itu, ruangan Pak Ketos. Hangus melopong! HAHAHAHA! Mampus kalian! Itu ganjaran sebab main-main ama klub kami. HAHAHAHA … uhuk! uhuk—”

“Oke-oke. Cukup!” Sudah tak kuat lagi. Lelaki berambut acak-acakan itu mematikan video. “jangan bawa-bawa OSIS napa? bisa kena lagi kita.”

Tak ada respon dari si gadis. Wajah bersemu merah. Napas tersenggal-senggal. “Uhuk, uhuk.”

“Lo gak papa-papa?” tanya Rangga mulai khawatir. Ia memegang tangan si gadis, siap bilamana ia tepar.

“Aman,” jawab Rahma. “coba lihat hasilnya.”

Video itu dipermainkan. Terlihat jelas seorang gadis bersurai coklat tampak seperti orang gila, berlari dalam kebakaran sembari berseru ria. “Oke, sip. Bagus,” komentar dari si pelaku.

“Udah puas? Ayo buruang pergi! Api sudah makin menyebar. Bisa mati tolol kita nanti.”

Kondisi napas mereka semakin bahaya. Bila terus dilanjut tak heran bila salah satu dari mereka bakal pingsan. Dilihat dari gerak-gerik Rahma berkemungkinan pingsan, sebab ia menghabiskan banyak waktu untuk lari.

“Bisa jalan?” tanya Rangga dijawab dengan gelengan kepala. Sebagai bantuan Rangga hendak membotong si gadis, berjalan keluar.

***
Sesampainya di luar. Mereka berdua disambut oleh kedatangan ambulan, dan tim pemadam kebakaran. Keduanya diinterogasi ditanya itu-ini. Fakta memang mengatakan bahwa mereka adalah murid terakhir yang keluar—padahal tidak. Justru dua orang itu sendiri yang seenak jidat kembali masuk.

“Kami aman-aman aja kok, hehehe.” Begitu kata mereka secara bersamaan. Pamadam dan para tim medis menganggukan kepala memberikan dua insan itu jalan.

Rangga menyisi, beristirahat di pohon sekolah, dekat parkir, itu adalah jarak paling jauh dari TKP kebakaran.

“Huh! Gila ya kamu. Hampir aja kita mati gosong.”

“Cuma hampir. Yang penting nggak”

            “Terserah lo! Capek lama-lama urusan sama orang kurang waras.”

            “Hehehe.” tawa mengejek dari Rahma. “Kamu tahu. Orang waras gak bakal pikir dia waras, sebab—”

“Bagus!” ucapan dua insan itu terputus. Muncul kehadiran sosok orang ketiga. Ia tinggi, matanya garang, kulit sawo matang, rambut ala korea, Korsa OSIS warna merah dipakai, menyelimuti tubuh. Orang sering sebut ia…

“Pak ketos! Ngapain kamu di sini?” tanya Rangga tersentak. Pupil mata terbuka lebar. Ia kudu istighfar sebab kedatangan ketua OSIS tak ada baiknya. Paling-paling kena pelanggaran atau paling parah kena gorok kalau buat skandal.

“Emang aku gak boleh jalan-jalan di halaman sekolah? Kalian sendiri ngapain sembunyi di tempat sepi seperti ini? Mau grasak-grusuk? Mau mesum?”

“Gak usah basa-basi!” Rahma memutus. Ia tersenyum penuh kemenangan. “kau kudu pikirkan lagi tentang pembubaran klub jurnalis! Sebab kita ada berita menarik. Sekolah kebakaran. Ini sudah lebih dari cukup.”

Sejenak suansan berubah menjadi serius. Hembusan angin membelai rambut. Sementara tatapan si ketua OSIS makin tajam. “Jadi gitu cara main kalian? Jangan bilang sekolah bisa kebakaran itu ulah kalian, biar ada berita minggu ini?”

“Enak saja nuduh kami! Dengar ya, memang kami kurang informasi dan minim bahan. Tapi mana ada orang kelainan jiwa yang bakar sekolah demi berita!” seru Rangga kesal.

Rangga sangat yakin akan ucapanya, disisi lain ia malah sebelas dua belas percaya bila Rahma bisa jadi lakukan hal itu. Obsesinya tentang berita tak ada obat.

“Aku tidak percaya. Ini pasti akal-akalan kalian. Aku akan bicarakan ini ke Kepsek, sekalian biar klub Jurnalis hilang total!”

Ketua OSIS berjalan menjauh, ia serius dengan ucapan itu.

“Gini aja. Kita buktiin kalau itu bukan ulah kami …” usul Rahma.

Si ketos berhenti berjalan. “Caranya?”

“Aku—salah! Maksudnya satu klub Jurnalis akan nyelesain kasus ini. Kami cari alasan dari kebakaran ini dan buat jadi berita, kalau kami berhasil maka klub kami harus masih utuh. Kalau gagal? Bubarin atau mau kau hanguskan pun terserah.”

Ketua OSIS tak menjawab sekedar tersenyum mendengar perkataan tegas dari Rahma. “Ku ingat kata-kata itu. Waktu paling lambat satu sampai dua bulan, buktikan bahwa kalian bisa selesaikan kasus ini. Kalau gagal, maaf-maaf klub kalian bubar.

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang