INTI klub Jurnalis hari ini mengadakan rapat. Ketua Divisi perbidang hadir, duduk melingkar layaknya konferensi meja bundar. Suasana serius mengitari. Rahma dan Rangga duduk berdampingan, menjadi salah satu anggota tanpa jabatan yang ikut serta dalam rapat.
"Jadi ada apa, pak ketua?" tanya seorang gadis berkacamata dengan rambut hitam panjang. Namanya Fransiska atau kerap disebut Siska, ketua Divisi dokumentasi.
"Lagi asik-asik aku main game, kau telepon. bum! Kalah aku dibuatnya." Lelaki berambut rapi itu berseru marah, sebut dia Angga selaku ketua Divisi publikasi.
Perempuan cebol layaknya bocah SD mengangkat tangan. "Anu bisa segera mulai rapat? Aku ingin bergegas pulang dan tidur." Ella mengeluh, menguap sebagai tanda mengantuk, ia berjabatan sebagai Divisi pemasaran.
Hendra duduk dengan kaki menyilang, mata menuju ke salah satu kursi. Kosong. "Alin, tak datang, ya? Divisi reporter kosong ... kita tak bisa mulai tanpa dia."
"Anu ..." Rahma kali ini ikut nimbrung, berkata, "aku bagian reporter, jadi bisa dimulai."
"Kenapa tak kau saja yang memulai, Rahma? Aku mengumpulkan mereka bukankah karena ulahmu?" ujar Hendra ketus.
Semua menatap Rahma yang tertawa datar. Singkat cerita ia menceritakan kekonyolan dan taruhan yang dia buat dengan ketua OSIS. Tak perlu diragukan lagi semua dibuat terkejut.
"Jadi maksudmu." Siska menyela membenarkan posisi kacamata. "kita wajib menyelesaikan kasus kebakaran kalau mau klub bisa bertahan?"
Meski dipenuhi oleh perasaan bersalah atas tindakan sewenang-wenang yang ia buat. Rahma tertawa canggung, menganggukan kepala sembari membentuk huruf V di tangan.
Hening. Belum ada lagi yang angkat mulut untuk bicara. Sebelum akhirnya semua tergelak. Suara tawa langsung pecah memenuhi ruangan. Semua ngakak tujuh turunan kecuali Rahma, Rangga, dan Hendra.
"Lihat juniormu, Dra!" seru Angga masih tertawa bahkan sampai menepuk-nepuk meja. "nyali-nya besar banget sampai berani bicara seperti itu dengan Gray."
Semua ketua perbidang tertawa, kecuali Hendra seorang. Ia menghela wajah masih serius. Dulu pernah ada anggota seperti Rahma, memiliki ambisi dan tekad yang tinggi. "Aku jadi ingat, Kak Nia."
Ketika nama itu terlontarkan, situasi tawa sejenak menjadi hening. Semua menundukan kepala, mengingat masa-masa buruk itu. "mendiang, tepatnya." benah si Angga.
Perubahan suasana begitu mendadak baik Rangga dan Rahma mengerutkan kening, kebingungan dengan yang terjadi.
"Kak Nia itu ketua kami dulu." Paham reaksi bingung para junior Ella menjelaskan. "dulu saat dibawah pimpinan Kak Nia klub jurnalis itu sangat terkenal, tidak seperti sekarang, kami punya pengaruh sangat kuat bagi sekolah dan kami memegang otoritas tertinggi daripada klub-klub lain. Sebab kami punya segala informasi, kami pun menyelesaikan banyak hal-hal yang diluar kemampuan. Seperti tawuran, skandal murid, bahkan skandal guru pun, kasus suap-menyuap bisa bebas kami pecahkan."
Angga sebagai ketua bagian publikasi angkat suara. "Tapi sekarang kami tak bisa sebebas dulu."
"Kenapa?" tanya Rahma dan Rangga secara bersamaan.
Tidak ada jawaban. Lagi-lagi ruangan lengang untuk beberapa detik, suara putaran kipas menjadi latar belakang, mengisi kesunyian.
Merasa memiliki tanggung jawab Hendra sebagai ketua angkat suara, "Itu karena Kak Nia dibunuh seseorang!"
Rangga mengernyitkan dahi tak percaya, Rahma disisi lain terpaku, matanya terbuka lebar. "Dibunuh!?" seru lelaki itu. "Kok bisa?"
Ruangan menjadi hening. Baik Hendra maupun tiap divisi saling bertatapan, seolah ada beban berat yang mereka bawa bersama. Ketegangan semakin terasa, dan Rahma serta Rangga merasakan atmosfer yang mencekam. Tidak ada yang berani berbicara lebih jauh tentang pembunuhan itu.
"Kalian lebih baik jauhi kasus ini," ucap para senior secara serentak. "Kami semua menolak untuk meliputi berita ini."
"hah?"
Hendra akhirnya memecah keheningan. "Baiklah, rapat ini kita akhiri sampai di sini. Terima kasih semua sudah datang."
"Aku setuju." Angga mengangguk. "terima kasih kembali."
"Terima kasih."
Angga, Ella, dan Siska berdiri, mengikuti instruksi Hendra tanpa berkata-kata. Mereka mengemasi barang-barang mereka dengan cepat. Rahma dan Rangga masih terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja mereka dengar.
Saat yang lain mulai keluar dari ruangan, Hendra menghampiri Rahma dan Rangga. "Kalian berdua, ikut aku sebentar," ujarnya dengan suara rendah. Tanpa protes, mereka mengikuti Hendra ke sudut ruangan yang lebih sepi.
"Ada sesuatu yang harus kalian tahu," kata Hendra dengan serius. "Ini demi kebaikan kalian. Jauhi kasus ini!"
"Tapi bagaimana dengan kondisi klub? Jika begini terus kita bisa bubar—"
"Bubar lebih baik daripada menambahkan korban," teriak Hendra sebelum akhirnya ia menutup mulut. "Maaf aku tak berniat buruk. Tapi nasib nyawa dan klub jelas beda ... sangat disayangkan, tapi kami menolak untuk menginjak kaki di kasus Pembunuhan apapun! Ini terakhir kalinya. Aku tak ingin ada korban lagi seperti Kak Nia."
Rangga dan Rahma saling memandang dengan berat hati mereka menganggukan kepala.
"Bagus. Pilihan pintar." Hendra tersenyum. "Sekarang, pulanglah dan jangan pikirkan kasus ini lagi."
Selesai bicara Hendra pergi keluar. Ruangan kian sepi meninggalkan Rangga dan Rahma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Investigasi Edan Rahma
Novela JuvenilRuangan OSIS terbakar, ditemukan dua korban tak bernyawa. Pihak sekolah bilang disebabkan oleh korsleting listrik, namun beberapa bukti mengarah menuju kejadian pembunuhan. ❓ Siapakah pelaku di balik insiden kebakaran ini? Apa motifnya ? ❓ * .Orang...