15.5

28 5 4
                                    

***

"Kemana anda mau pergi, Pak Efendi?" Rangga mengikuti langkah dari Efendi yang berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu sekolah.

Deretan piala terpampang di sana, ditata rapi dengan lemari kaca. Terdapat sebuah kursi lembut, jumlahnya tiga, panjang. Seorang Pak Tua duduk, tampak tegang. Wajah dia garang, muka berkerut, mata tajam, kumisnya lembab. Kendati demikian dilihat dari postur tubuh, ia nampak tak nyaman. Kaki gemetaran, keringat bercucuran, kepala menunduk.

"Pak Anton?" tanya Rangga lirih tatkala menyadari sosok satpam duduk di sana. "Jangan bilang dia—"

"Binggo!" Putus Efendi tersenyum. "dia boleh jadi mengetahui sesuatu, tentang malam hari, pada 31 maret s/d 1 April."

Detektif itu berjalan mendekati, duduk di salah satu kursi, tepat di depan Anton. Sementara remaja dengan rambut acak-acakan itu menoleh ke sana-sini, seolah bimbang, namun. Ia menguatkan tekad, menghela napas, pada akhirnya ia duduk, berdampingan dengan Efendi.

Tak mau membuang waktu, sesi penyelidikan dimulai oleh Efendi. Suasana menjadi tegang, kerutan di dahi Anton semakin terlihat, ia kini kian gelisah bagaikan seekor hewan lemah yang masuk ke kandang singa.

"Langsung ke topik saja." Efendi merogoh saku, menaruh sebuah senjata pembunuhan oleh korban Randika Rizki. Sebuah paku berlumuran darah, tampak terbungkus oleh plastik. "palu ini, berasal dari gudang sekolah, kan?"

Diam Pak Anton memakan waktu. Diselimuti perasaan cemas, ia menganggukan kepala. "B-benar, itu barang dari gudang sekolah. Gudangnya dekat dengan ruangan OSIS."

"Sudah kuduga. Randika Rizki, meninggal sebab benturan kuat oleh palu ini. Pertanyaan saya hanya satu. Siapa atau murid yang masuk di gudang pada 1 April?" tanya Efendi penuh tekanan.

"Saya tidak tahu."

Efendi menggelengkan kepala, bersedekap. Senyuman tak bisa ditahan. "Saya butuh kejujuran anda. Secara wajar segala yang berkaitan dengan ruangan, gudang, apalagi keamanan jatuh pada tangan anda. Itu artinya anda memegang kunci segala ruangan di sekolah ini. Baik itu ruang OSIS, ruang kelas, dan tentu gudang. Benar bukan, Pak Anton?"

Anton mengeram, rahangnya mengeras. Ia membisu. Ia merasa ditekan oleh udara berat dari Efendi dan tatapan tajamnya. Jelas ia tak nyaman.

"Terlebih, setiap malam hari. Bukankah anda berpatroli di sekolah, berkeliaran untuk menjaga keamanan? Heina Natalia meninggal pada satu hari sebelum kejadian kebakaran, pukul 01.00 malam. Dugaan serta analogi paling masuk akal sebagai berikut.

"Pertama, pelaku dan korban melakukan pertemuan. Lalu pelaku boleh jadi melakukan aksi, membunuh Heina Natalia. Tempat pembunuhan masih kalang kabut—dalam proses penyelidikan. Setelah menjadi mayat, pelaku menyembunyikan mayat korban. Dan menurut saya tempat paling memungkinan adalah, gudang dekat ruang OSIS. Tempat palu ini berasal. Teori ini diperkuat oleh kesaksian, Nak Rangga yang bilang bahwa Heina sempat keluyuran dan tak kembali ke rumah."

Ruangan itu mendadak hening. Ketegangan terasa nyata, menyelimuti setiap sudut. Hanya suara napas yang tertahan, dan detak jantung yang berdetak kencang, menghiasi suasana. Mata Anton terpaku pada meja, menunduk.

"Yang kedua," lanjut Efendi memotong kesunyian yang ada. "korban bisa saja memang dibunuh pukul 01.00 malam, tapi perbedaan terletak di tempat. Yaitu Heina dibunuh di sekolah ini."

Sejenak, Rangga merasakan emosi menaik. Ia menggigit bibir, bila saja ia punya kesabaran setipis tisu katakanlah seperti Rahma. Maka jelas ia akan memukul meja, melampiaskan emosi. Maksudnya hati seorang kakak mana yang rela mendengar segala kejadian kematian adikknya? Terlebih di depan muka sendiri.

"Namun. Baik kemungkinan kedua, dan pertama. Kita bisa tarik kesimpulan bahwa. Pada malam hari, di sekolah ini. Pukul 01.00 malam, terjadi insiden menyimpang. Bisa jadi pembunuhan, bisa jadi pemindahan mayat." Efendi menghentikan perkataan, menatap dingin Anton. "bagaimana menurut anda?"

Anton mendengus, berkata dengan nada emosi. "Maksud anda, saya patut dicurigai?"

"Jangan buat saya mengatakan demikian. Kutanya sekali lagi, apa yang anda lihat pada malam hari?"

Perasaan takut merogoti hati security tersebut. Dengan kaku, ia akhirnya mengangkat wajah, menatap Efendi dalam. "Saya—"

"Ia tak bersalah, tuan detektif." Sebuah suara berat memutus pengakuan dari Anton. Pria tua berjas hitam muncul, perawakannya muda, ia tinggi, rambutnya lurus rapi—namun beberapa orang tahu bahwa itu sekedar wig. Ia tersenyum ramah bagaikan menyambut tamu terhormat.

"Pak Kepsek si botak—eh maksud saya, Pak Agung."

Rangga yang pertama kali bersuara. Kabar mengenai Kepsek botak Sudah merajalela. Sial, perkataan Rahma beberapa hari lalu yang bilang hendak meliputi berita tentang kebotakan kepsek kembali terngiang, ia hampir saja menyebut botak, secara langsung.

"Ya, Nak Rangga. Membolos pelajaran adalah ide buruk, itu mencoreng nama baik SMA Taruna Negara."

"Maaf, pak."

Agung kembali menatap ke arah Efendi. "Teori anda memang menarik, detektif memang tidak bisa diremehkan." Angung menghela sebelum melanjutkan, sementara Efendi terkekeh atas pujian tersebut.

"Biar saya perjelas lagi, Pak Anton tidak menahu apapun! Memang berpatroli adalah tugas dia, namun bukan berarti dia tahu hingga mendetail, kan? Terlebih jam batas patroli sampai jam 11 malam. Saya tidak sekejam itu memberikan shif hingga malam hari, takut bisa menyita waktu dengan keluarganya."

"Oke-oke. Kuanggap begitu saja," kata Efendi menganggukan kepala. "kuubah pertanyaanku, lantas bagaimana dengan CCTV?"

"CCTV ada masalah dengan itu?"

"Yup. Anehnya atau hanya kebetulan, bukankah CCTV seluruh sekolah rusak?"

"Apa yang ingin anda katakan? CCTV memang rusak, seseorang merusak kabel coaxialnya. Itu sudah terjadi seminggu sebelum kajadian."

"Ok, kalau begitu saya ubah lagi pertanyaan saya." Efendi menanggapi. "Sudah sekitar beberapa minggu setelah kasus kebakaran terjadi, apa pihak sekolah hanya diam tanpa ada upaya untuk memperbaiki? Atau upaya meningkatkan keamanan? Atau malah kalian kekurangan dana?"

"Sebentar." Merasa tersinggung, nada suara Agung berubah. "Anda sedang mencari kesaksian atau mencoba mencari kesalahan sekolah?"

Masih dengan sikap tenang, Efendi tersenyum. Sedikit mengejek."Satu hal lagi. Apa serius tidak ada satu orang pun yang memberikan kunci OSIS dan Gudang ke salah satu murid?"

Kali ini Anton yang menimpal. "Tolonglah! Itu tidak mungkin, saya tidak memberikannya. Kalau masalah ruang OSIS, kenapa tidak tanya saya bocah-bocah itu!"

"Anda malah menyalahkan murid-murid sekarang."

"Cukup!" tegas Agung. "pak Efendi. Menurutku anda sudah keterlaluan, anda mencoba membuat kami seolah bersalah. Kami ini korban."

Efendi hanya tertawa kecil. "Korban, ya? Bukankah korban adalah Randika dan Heina Natalia? Kenapa kalian sangat tidak mau mengakui kesalahan? Dan fakta menarik lagi, kenapa kalian bilang bahwa ini adalah kasus korsleting listrik tanpa adanya penyelidikan terlebih dahulu?"

Hening. Ruangan mendadak terasa sunyi, hanya terdengar detak jantung yang semakin cepat. Gemerisik angin di luar jendela terdengar jelas, menambah atmosfer mencekam. Tegangan di ruangan itu kian terasa, menciptakan aura penuh misteri dan kewaspadaan.

"Sebenarnya, apa yang kalian pihak sekolah coba sembunyikan?" tanya Efendi tegas.

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang