5

24 6 9
                                    

"JADI ada urusan apa memanggilku di hari libur seperti ini?" tanya Hendra menatap kedua juniornya. Saat ini mereka berada di sebuah cafe, berlokasi di dekat sekolah.

"Ini terkait berita, kak. Tapi sebelum itu mari pesan sesuatu!" sergah Rahma tersenyum gembira. Netra coklat itu terus memandang beberapa menu di buku.

Seorang pelayan wanita datang, mengenakan baju hitam berpadu dengan putih. Menunduk dengan sopan, ia bertanya, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya pesan Espresso, sama roti bakar satu!" ujar Rahma. "Bagaimana dengan kalian?"

Rangga mengangkat tangan, berkata, "Saya teh hangat saja."

"Satu white coffee," pesan dari Hendra.

Semua pesanan telah dicatat, pelayan itu menganggukan kepala sopan. "Dimengerti, mohon tunggu sebentar."

Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit, pelayan kembali lagi. Membawa pesanan. Pesanan kini telah tertata rapi di meja.

Hening seketika. Hendra mulai ambil suara sebagaimana orang yang diundang tanpa alasan. "Apa pembahasaan kalian?"

Dua junior saling menatap, menganggukan kepala. Sudah waktu untuk menjelaskan. Pertama Rahma dulu angkat mulut. "Ini tentang kasus kebakaran kemarin. Saya dan Rangga sudah melakukan beberapa investigasi. Saya rasa ini bisa jadi berita menarik. Pertanyaanku apa kakak mengizinkan kami mempublish berita seperti ini?"

Belum ada jawaban. Hendra kentara tak nyaman seketika membahas kasus kebakaran. Terlihat dari wajah. Alih-alih, ia menyeruput kopi pesanannya. "Boleh, tapi ..." Hendra menekankan dan berhasil membuat senyuman Rahma pudar saat itu juga. "Kamu cuma perlu menulis insiden kebakaran, dan penemuan dua mayat. Cukup itu saja. Jangan masuk ke kasus lebih dalam."

"Itu artinya pekerjaan kami telah selesai?" Rangga kali ini bicara menatap polos.

Hendra menganggukan kepala. "Yup. Berakhir. Jangan lakukan hal konyol seperti mencari pelaku atau apa, itu bukan hak kita. Paham?"

ia sadar bahwa kejadian kebakaran menarik banyak perhatian murid. Tak sedikit muncul detektif dadakan, mencoba menyelesaikan kasus. Hendra paham sikap Rahma yang ambius oleh sebab itu ia melarang untuk menjajah lebih jauh kasus yang ada.

"Lagipula itu bahaya."

Rangga ingin berkata, tapi dipotong oleh Rahma terlebih dahulu. "Maaf menyela, kak. Tapi kurasa klub tetap bubar, sebab aku sudah buat konsekuensi dengan pak ketos."

"Maksud?"

"Rahma, dia kemarin." Kali ini Rangga melanjutkan. "Bertaruh dan menantang ketua OSIS kurang lebih dia bilang kita bakal menemukan pelaku, kalau tidak menemukan, maka klub boleh dibubarkan."

Mendelik. Kopi Hendra menjadi asin. Tercengang akan keputusan pintar tersebut. Ia terbatuk, nyaris saja menumpahkan minuman di mulut. "uhuk, uhuk ... apa itu serius? Kamu bilang begitu Rahma!?" seruan dari Hendra tak bisa ditahan lagi.

Sementara si gadis cuma cengengesan, garuk-garuk kepala. "Maaf, khilaf. Hehehe."

Astaga! Ingin sekali Hendra menangis dan bersujud minta maaf ke pak Ketos atas tindakan berlian dari si gadis. Ia tahu Ketua OSIS si Gray tak suka omong kosong, bila mengatakan 'bubarkan' maka ia serius akan membubarkan. Itu berarti ia akan anggap serius.

"Rahma, Rahma. Kenapa kau bicara seperti itu!?"

"Habis si Gray, pak Ketos sendiri yang mulai. Dia fitnah kita bakar sekolah."

Hendra menghela napas, memijat pelipis. "Kayaknya kita perlu adakan rapat, besok."

***

Hasil penyelidikan telah membuahkan hasil Para petugas kembali ke tempat masing-masing. Sementara Ridwan masih merenung diantara meja dan kursi, tak puas akan hasil yang didapatkan.

Ia menatap segelintir barang yang besar kemungkinan jadi bukti; ponsel yang remuk, jerigen 5 liter yang kemungkinan digunakan pelaku untuk membawa bensin, palu penuh darah, serta dompet berisi identitas korban.

Dua korban itu bernama; Randika Putra dan Heina Natalia. Semua bukti terbungkus rapi oleh plastik steril.

Ridwan menghela napas, meski telah mendapatkan beberapa barang di TKP sampai saat ini belum ada spekulasi apapun. Masih kalang kabut.

"Bekerja sepenuh hati memang bagus, tapi jangan terlalu memaksakan diri." ujar sebuah suara membuat Ridwan langsung terlonjak hampir terjungkal.

"P-pak Efendi toh ..." Ridwan berusaha mengatur nafasnya yang tersengkal sembari menatap pria ramping nan kekar di hadapannya itu. "Belum pulang?"

"Salah" Efendi duduk di hadapan Ridwan. "Saya baru datang."

Ridwan menghela nafas, "Jangan bilang anda datang ke TKP lagi?"

Efendi menganggukkan kepala."itu benar! Saya memang baru saja kembali ke tempat TKP."

"Jadi apa yang anda dapatkan?"

Efendi tersenyum"Bukan sesuatu yang penting," ujarnya. "tapi aku menemukan sesuatu yang menarik, jadi..."

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang